KPR Kabupaten Tuban Desak DPR RI Segera Sahkan RUU P-KS

Para aktifis perempuan dari Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) Tuban saat melakukan aksi di depan kantor DPRD Tuban.

Tuban, Bhirawa
Kekerasan dan pelecehan seksual terus terjadi di Indonesia, tidak terkecuali di ruang pendidikan. Sayangnya belum ada undang-undang (UU) yang secara spesifik menjadi landasan memberantas kejahatan ini.
Di Kabupaten Tuban, kelompok mahasiswa dan masayarakat yang mengatasnamakan Aliansi Gerakan Mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini menyuarakan regulasi baru untuk menghapus kekerasan seksual.
Mereka menuntut agar para wakil rakyat (DPR-RI) yang saat ini tengah membahas ini di Senayan segera pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Karena aturan ini dinilai dapat ikut mendorong pencegahan terjadinya kekerasan seksual dan sekaligus menimbulkan efek jera bagi pelaku.
Dalam aksinya, mereka memperagakan teatwerikan kekerasan yang terjadi kepada perempuan yang diperkosa oleh tetangganya. Namun, pelaku tidak mau tanggungjawab. Kendati demikian, aksi itu sempat tersendat, karena ada salah satu masa aksi yang memperankan sebagai aparat kepolisian di amanakan, dan tidak diperbolehkan ikut.
Sempat ada adu mulut, antara petugas dan masa demontrasi. Namun, aksi turun jalan tetap berjalam sampai akhir.
“Stop kekerasan seksual, sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan segerakan pengesahan RUU ini,”teriak Nuru Aini Kordinator lapangan di Area Gedung DPRD Kabupaten Tuban, Kamis (18/7/2019).
Menurutnya, empat tujuan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yaitu, mencegah tindak kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihakan korban, menindak pelaku, dan mewujudkan lingkungan yag bebas dari kekerasan seksual.
Dari data yang dihimpun Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) sepanjang Tahun 2017-2019, di Kabupaten Tuban ada sekitar 98 kasus. Meliputi , kekerasan di ranah privat contohnya, Kekerasan dalam Rumah Tangga KDRT, Kekerasan dalam Pacaran KDP dan Incest, kemudian perkosaan dalam perkawinan yaitu hubungan seksual dengan cara yang tidak diinginkan dan menyebabkan penderitaan terhadap isteri.
Penggunaan teknologi untuk menyebarkan konten-konten yang merusak reputasi korban merupakan kekerasan berbasis cyber. Kekerasan ini ditujukan untuk mengintimidasi atau meneror korban, dan sebagian besar dilakukan oleh mantan pasangan baik mantan suami maupun pacar. Jika korban menolak berhubungan seksual dengan pelaku atau korban tidak mau kembali berhubungan dengan pelaku.
Sementara hukum yang kerap digunakan untuk penanganan kasus-kasus seperti ini adalah UU Pornografi dan UU ITE, yang dalam penerapannya justru dapat mengkriminalkan korban. Dalam hal ini perempuan korban mengalami ketidaksetaraan di depan hukum, karena hukum yang tersedia lebih berpotensi menjerat korban dan mengimpunitas pelaku kekerasan.
“Pemerintah dan DPR RI perlu segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk menghentikan impunitas bagi pelaku kekerasan seksual dan Aparat Penegak Hukum perlu mengoptimalkan penggunaan Undang-Undang PKDRT, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan produk hukum lainnya,” katanya. (hud)

Tags: