KPU Abaikan Pemilu Jujur dan Transparan

Rekapitulasi nasional di Komisi Pemilihan Umum (KPU) diwarnai aksi walk out setelah Prabowo Subianto di Rumah Polonia menyampaikan penolakan proses Pilpres dan menarik diri dari proses rekapitulasi suara yang penuh kecurangan, Selasa (22/7). Saksi dari kubu Prabowo menyerahkan surat yang dibungkus dalam map bermotif batik.

Rekapitulasi nasional di Komisi Pemilihan Umum (KPU) diwarnai aksi walk out setelah Prabowo Subianto di Rumah Polonia menyampaikan penolakan proses Pilpres dan menarik diri dari proses rekapitulasi suara yang penuh kecurangan, Selasa (22/7). Saksi dari kubu Prabowo menyerahkan surat yang dibungkus dalam map bermotif batik.

Jakarta, Bhirawa
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor menyayangkan sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berpatok pada waktu dalam merekapitulasi suara nasional, sehingga mengabaikan dugaan kecurangan yang diungkap kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Menurutnya, sikap KPU itu justru akan membuat proses penetapan presiden dan wakil presiden ketujuh Indonesia semakin lama. “Sangat disayangkan, waktu menjadi dewa bagi KPU, jadi kaku. KPU berpatokan pada waktu, bukan substansi dari election yang jujur dan transparan,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (22/7).
Mundurnya saksi Prabowo-Hatta dari rapat pleno rekapitulasi suara nasional, kata dia, menunjukkan perlawanan terhadap sikap KPU yang dinilai tidak adil tersebut. “Itu menunjukkan keberatan yang cukup berat. Itu sebuah perlawanan akan hasil pemilu yang mengindikasikan kecurangan. Secara legitimasi, pengesahan rekapitulasi suara tidak bisa dikatakan layak,” tuturnya.
Firman mengungkapkan, KPU seharusnya menunggu hingga berbagai persoalan selesai sebelum menetapkan hasil rekapitulasi suara nasional. Termasuk menjalankan rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menggelar pemungutan suara ulang di berbagai daerah karena diduga terjadi kecurangan.
Misalnya di DKI Jakarta yang terdapat 5.802 TPS bermasalah. “Prosesnya akan panjang. Keberatan disampaikan secara prosedural, harus diselesaikan secara prosedural. Jangan dibiarkan, karena akan berkepanjangan,” terangnya.
Dia menambahkan, bukan tidak mungkin keputusan KPU akan dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Selama kubu Prabowo-Hatta menyodorkan bukti valid terkait kecurangan dalam pilpres 9 Juli lalu, MK akan menindaklanjuti. “Berkaca dari kasus pilkada, beberapa bisa dibatalkan. Prinsipnya, sejauh berdasarkan fakta dan meyakinkan. Tim Prabowo-Hatta harus bisa meyakinkan MK dengan data yang dimiliki,” pungkasnya.
Untuk diketahui, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menolak seluruh pelaksanaan Pilpres 2014. Prabowo menilai, pelaksanaan Pilpres 2014 cacat hukum. “Kami Prabowo-Hatta sebagai pengemban suara rakyat akan menggunakan hak konstitusi kami. Kami menolak pelaksanaan Pilpres 2014 yang cacat hukum. Dengan demikian, kami menarik diri dari proses yang sedang berlangsung,” kata Prabowo di Rumah Polonia, Jakarta Timur.
Setelah rapat dengan seluruh Tim Prabowo-Hatta, Prabowo mengatakan, pihaknya menemukan beberapa hal yang memperlihatkan cacatnya proses Pilpres 2014, hingga menghilangkan hak demokrasi rakyat.
Pertama, Prabowo mengatakan, proses Pilpres 2014 bermasalah, tidak demokratis dan bertentangan dengan UUD 1945. KPU tidak adil dan terbuka. “Banyak aturan main yang dibuat justru dilanggar sendiri oleh KPU,” ungkapnya. Kedua, lanjut Prabowo, rekomendasi Bawaslu terkait segala kelalaian di berbagai wilayah diabaikan oleh KPU.
Ketiga, ditemukan tindak pidana pemilu yang melibatkan penyelenggara pemilu dan pihak asing sehingga pemilu tidak jujur dan adil. Keempat, KPU selalu mengalihkan masalah ke MK, seolah-olah keberatan Tim Prabowo-Hatta hanya bisa diselesaikan di MK. Terakhir, lanjutnya, telah terjadi kecurangan yang masif, terstruktur dan sistematis.
Saat Prabowo berpidato, hadir Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Akbar Tanjung, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, mantan Panglima TNI Djoko Santoso, Ketua Umum PBB MS Kaban.
Tim kuasa hukum Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Jack Yanda, menegaskan bahwa Prabowo – Hatta tidak mengundurkan diri dari Pilpres 2014, melainkan menarik diri dari proses rekapitulasi suara yang penuh kecurangan. “Prabowo-Hatta tidak mengundurkan diri, kami menarik diri. Karena dalam proses rekapitulasi ini, saksi kita komplain tidak pernah digubris sama KPU. Oleh karena itu Prabowo melihat kita tidak sepaham,” ujar Jack saat ditemui di MNC Plaza.
Komplain tersebut salah satunya adalah KPU tidak menjalankan rekomendasi Bawaslu untuk dilakukanya pemungutan suara ulang (PSU) disejumlah daerah yang dinilai telah terjadi kecurangan.
“5.802 TPS bermasalah di DKI, sementara yang diulang hanya 13 TPS saja. Kata Prabowo, kalau saya ikut permainan kalian, sama saja saya korban yang dipaksakan menerima,” tuturnya.
Oleh karenanya, Prabowo mengambil tindakan untuk menarik diri agar KPU dan Bawaslu menyelesaikan persoalan di antara mereka. Namun jika KPU tetap memutuskan hasil rekapitulasi suara hari ini, sambung Jack, maka tidak sah. Sebab, dalam Pasal 158 Undang-Undang Pilpres disebutkan jika kedua kandidat harus menghadiri proses rekapitulasi tersebut. “Buat apa hadir? KPU tidak sah karena Prabowo-Hatta tidak hadir,” katanya.
KPU  rencananya akan mengumumkan hasil rekapitulasi Pilpres pada pukul 16.00 kemarin. Hanya saja, beberapa kejadian seperti aksi walk out saksi pasangan nomor urut satu Prabowo-Hatta dan munculnya banyak interupsi membuat pengumuman ditunda.
“Kami menjadwalkan ulang yang semula penetapan pada pukul 16.00, menjadi pukul 20.00,” ucap Ketua KPU Husni Kamil Manik di Gedung KPU Jalan Imam Bonjol kemarin sore.
Rapat rekapitulasi hasil penghitungan suara telah rampung untuk 33 provinsi dan luar negeri. Hasilnya, Jokowi-JK unggul dengan perolehan 70.997.833 suara atau 53,15 persen.
Berdasarkan data rapat rekapitulasi, KPU telah merekap data 130 perwakikan luar negeri. Pasangan Prabowo-Hatta di luar negeri memperoleh 313.600 suara (46.26 persen). Sementara itu, pasangan Jokowi-JK, memperoleh 364.257 suara (53,74 persen). Jika diakumulasi perolehan suara di 33 provinsi dan 130 perwakilan luar negeri, Jokowi-JK unggul dengan perolehan 70.997.833 suara atau 53,15 persen. Sedangkan rivalnya, Prabowo-Hatta mendapat 62.576.444 suara atau 46,85 persen. Partisipasi pemilih secara keseluruhan sebesar 69,58 persen dengan total pengguna hak pilih 134.953.967 orang. Perolehan suara tersebut akan ditetapkan dan disahkan oleh KPU pukul 20.00.

Kecurangan Tingkat Elit
Kubu Prabowo- Hatta menemukan sejumlah kecurangan. Salah satunya di Papua. Terdapat 14 kabupaten yang tidak menggelar pemungutan suara. “Itu menunjukan kecurangan bukan level TPS, tapi elit-elit yang bisa menghitung jumlah penduduk dan DPT yang bisa diakali. Untuk memanipulasi suara butuh kekuatan politik besar, bukan tingkat RT,” ujar pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ziyad Falahi.
Menurutnya, sikap KPU yang tidak menindaklanjuti dugaan kecurangan dengan tidak menjalankan rekomendasi Bawaslu perlu dipertanyakan. Masyarakat harus semakin ketat mengawasi kinerja KPU. “KPU sebagai lembaga yang netral dipertanyakan. Kinerja KPU harus diawasi, apalagi nanti ada pilkada serentak. Semua elemen masyarakat harus mengontrol,” katanya.
Ziyad mengatakan, sikap KPU yang terkesan cuek dengan dugaan kecurangan yang diungkap kubu Prabowo-Hatta akan berdampak besar ke depannya. “Kalau manipulasi suara terus terjadi, ini kejahatan, kriminal besar oleh otoritas besar,” ungkapnya.
Dia menambahkan, menunda pengesahan hasil rekapitulasi suara nasional lebih baik ketimbang memaksakan kondisi yang menimbulkan polemik. Jika kubu Prabowo-Hatta akhirnya memperkarakan ke MK, itu dinilainya sebagai langkah tepat. “Kalau KPU menunda pengesahan, itu lebih bijak daripada terjadi polemik. Tujuan ke MK bukan untuk menang, tetapi untuk mempertanyakan netralitas KPU,” terangnya.
Ketua Tim Perjuangan Merah Putih untuk Kebenaran dan Keadilan, Yunus Yosfia selain kejanggalan di Papua, menurutnya ada hacker di Bareskrim pusat yang sudah dilaporkan ke Bawaslu. “Hackernya dari Korea dan Tiongkok. Ada sekitar empat juta suara yang dimanipulasi,” katanya. Yunus meminta masyarakat menerima keputusan ini. “Kami telah menarik diri dari proses ini karena semua ini terlalu masif,” katanya. [ira.cty.gat.okz]

Tags: