KPU di Tengah Ancaman People Power

Oleh :
Idhar
Direktur Pusat Studi Demokrasi Ekonomi dan Keadilan Sosial (PUSDEK)

Awas akan ada people power..! istilah ini kembali populer setelah dilontarkan oleh seorang politisi senior Amien Rais sekaligus Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional, dalam sebuah sesi wawancara pada saat acara Apel Siaga Umat 313 yang digelar untuk mencegah kecurangan pemilu di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. “Kalau nanti terjadi kecurangan, kita nggak akan ke MK (Mahkamah Konstitusi). Nggak ada gunanya, tapi kita people power, people power sah,” kata Amien, dikutip dari media online detik, Minggu (31/3).
Istilah people power sendiri merujuk adanya gerakan rakyat melalui aksi-aksi demonstrasi di jalanan yang menuntut presiden untuk mengundurkan diri, gerakan people power mengandaikan seluruh rakyat tumpah ruah dijalanan dan memaksa presiden untuk meletakkan jabatannya karena dinilai telah melanggar konstitusi atau melakukan penyimpangan. People power pernah terjadi di Philipina dengan jatuhnya presiden Ferdinand Marcos pada tahun 1986.
Ancaman akan adanya people power menarik berbagai pihak untuk menanggapi, karena dilontarkan menjelang pemilihan presiden yang semakin dekat, ancaman people power ibarat “seperti menuangkan minyak tanah dalam api” – semakin memanaskan kondisi masyarakat yang sudah terpolarisasi dalam dua kutub yang semakin ekstrim antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo.
Ragam tanggapan atas ide people power pun, mengambarkan dua kutub masyarakat yang semakin terpolarisasi tersebut, tanggapanpun muncul dari pucuk pimpinan negeri ini bapak Presiden Jokowi disela-sela kunjungannya di Kota Sorong Papua, menanggapi ancaman akan adanya people power mengatakan “Jangan menekan dengan cara menakut-nakuti rakyat, pemerintah!”, Senin (detik.com, 1/4/2019). Senada dengan presiden, Kyai Makruf Amien mengatakan tak perlu mengancam jika ada kecurangan pemilu, tetapi jika ada kecurangan di Pemilu 2019 agar diselesaikan sesuai mekanisme, bukan people power yang diungkapkan Amien Rais. Karena bila terjadi akan sulit untuk dipadamkan.
Sementara dikubu Prabowo, ide people power ditanggapi sebagai bentuk peringatan keras – ungkapan ini dilontarkan oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai ucapan Amien Rais soal penggunaan people power jika ada kecurangan pada pemilu merupakan bentuk peringatan keras. Lebih lanjut dikatakan bahwa “people power tidak melulu berarti adanya mobilisasi massa. Ia menyebut massa bisa bergerak sendiri jika melihat ada indikasi kecurangan pada Pemilu 2019”.
Lalu yang menjadi pertayaan adalah bagaimana seharusnya KPU harus bersikap terhadap ancaman people power jika ada kecurangan dalam pemilihan presiden.? Dari sinilah lembaga penyelenggara pemilu KPU diuji profesionalitasnya untuk menghadirkan pesta pemilihan presiden yang dapat diterima oleh pihak 01 maupun pihak 02.
Untuk menghadirkan pemilihan presiden yang mampu diterima oleh dua kubu, baik kubu 01 maupun 02 yakni dengan mengendepankan dua prinsip penyelenggaraan pemilu pertama prinsip akuntabilitas dan kedua prinsip keterbukaan sebagai tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum.
Pertama, pemilihan presiden merupakan agenda rutin lima tahunan yang diselenggarakan untuk mencari pemimpin lima tahun yang akan datang, karena salah satu ciri negara demokrasi yakni adaya pergantian pemimpin melalui mekanisme pemilu yang bersifat umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil atau yang dikenal dengan istilah pemilu Luber Jurdil. Esensi dari pemilu yakni pelembagaan tata cara rakyat untuk memilih calon pemimpinnya, agar tata cara rakyat untuk mendapatkan calon pemimpin terselengara dengan baik, maka prinsip akuntabilitas harus dijunjung sangat tinggi oleh KPU sebagai penyelenggara pesta mencari calon pemimpin (pemilu).
Akuntabilitas dirumuskan bahwa KPU dalam menyelenggarakan pemilihan umum segala tindak tanduknya dapat dipertangungjawabkan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, serta tidak bertentangan dengan kedua hal tersebut, dimana yang pertanggungjawaban yakni input, proses dan output yang dihasilkan, yang dirumuskan KPU dalam PKPU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2019. Pada pasal 3 ayat 1 tahapan pemilu terdiri atas a. sosialisasi; b. perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturanpelaksanaan penyelenggaraan Pemilu; c.pemutakhiran data Pemilih dan penyusunan daftar Pemilih; d. pendaftaran dan verifikasi Peserta Pemilu; e.penetapan Peserta Pemilu; f.penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; g. pencalonan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; h. masa kampanye Pemilu; i. masa tenang; j. pemungutan dan penghitungan suara; k. penetapan hasil Pemilu; dan l. pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Kedua, prinsip akuntabilitas akan terselenggara dengan baik, bila dibarengi dengan prinsip keterbukaan pada proses tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pemilu.
Akuntabilitas memang mensyarakatkan keterbukaan, karena akuntabilitas tanpa keterbukaan akan menghadirkan pemilu prosedural – administratif sebagaimana pengalaman penyelenggaraan pemilu dimasa orde baru, pemilu hanya sebagai sebagai ajang/media prosedur administratif untuk mengangkat kembali Soeharto sebagai presiden secara demokratis.
Akuntablitas disertai keterbukaan akan melahirkan kepercayaan rakyat karena KPU telah menyelenggarakan pemilu secara terbuka terhadap semua pihak, dan tentu saja akuntabilitas dan keterbukaan akan menjawab semua kritik terhadap kinerja KPU dalam menyelenggarakan pemilihan umum.

———– *** ———–

Rate this article!
Tags: