Kreasi Tarian Maung Sangcang di Pagoda Tian Ti

Ketiga penari, Nindy, Fitri Ika dan Ghea seusai menarikan “Tarian Maung Sangcang” di Pagoda Tian Ti bibir Pantai Kenjeran, Surabaya Rabu, (15/7)

Menggiring kita pada Zaman Padepokan Maung Bodas Era Kejayaan Prabu Siliwangi

Surabaya, Bhirawa.
Lampu dinyalakan, tujuh bambu berisi sesobek kain dan minyak tanah mulai dibakar, nuansa Pagoda Tian Ti yang berada di bibir Pantai Kenjeran, Surabaya Rabu, (15/7) seakan menggiring kita pada zaman padepokan Maung Bodas, ke era kejayaan Prabu Siliwangi, Raja Padjajaran.

Irama musik khas Jawa Barat terdengar dari soundportable yang mengiringi gerak, tiga penari yakni Nindy, Fitri Ika dan Ghea. Enerjik, penuh semangat dan pemberani seperti harimau.

Melengkapi karakter Maung Bodas, kostum bercorak kuning dan hitam melekat pada tubuh penari. Tidak ketinggalan setengah tubuh penari dicat bercorak harimau. Layaknya manusia yang mempunyai ajian pamacana.

Kreasi tari Maung Sangcang ini sengaja dibuat untuk menyelesaikan tugas akhir Nadela Rimanda Putri, mahasiswi Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan Pendidikan Sendratari, angkatan 2016, Universitas Negeri Surabaya (Unesa).

Menurut Nadela, tari yang berjudul Maung Sangcang ini menceritakan karakter tokoh dan watak rakyat yang memiliki ilmu, atau karomah Pamacan di persinggahan Prajurit Maung Bodas Prabu Siliwangi.

“Maung artinya macan atau harimau, dikutip dari Prabu Siliwangi yang mempunyai pasukan gaib yang disebut Maung Bodas. Dan Sancang adalah Hutan, dalam kisahnya Maung Bodas hidup di hutan Sangcang. Disana mendirikan padepokan untuk rakyat sekitar hutan,’’ kata Nadela.

Ia juga menyampaikan tarian ini sengaja dipilih, selain latar belakang cerita yang menarik. Mengenai perjuangan dan kesetiaan prajurit, meski mereka bukan golongan manusia. Pada Prabu Siliwangi.

Sajian tugas akhir yang berdurasi sektar 3 menit, memiliki proses panjang. Dalam menentukan koreografi. Sebab dalam tarian segala unsur melebur jadi satu, gerak, mimik juga kostum. Untuk menjiwai peran yang dibawakan.

Ada pun proses latihan dilakukan sejak Januari 2020. Seminggu tiga kali, di halaman kampus Unesa, dibawakan oleh tujuh penari.

Sampai pada April, saat pandemi Covid-19 masuk dan membuat Kota Surabaya menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), guna mengurangi penyebaran Covid-19.

“Kampus ditutup, tidak boleh ada kegiatan apa pun. Mencari tempat latihan sangat sulit. Para penari pun memilih dirumah selama sebulan libur latihan,” terangnya.

Sampai pada Mei, Nadela memutuskan menganti ke tujuh penari dengan penari baru. Sebab sebagian penari pulang ke daerah asal dan belum bisa kembali ke Surabaya.

Untuk memudahkan latihan, ia mencari penari yang tinggal di Surabaya. Latihan pun dilaksanakan di Balai RW Menanggal.

Karena masa pandemi, pertunjukan yang harusnya dipentaskan, terpaksa ditampilkan melalui daring. Demi menjaga penyebaran Covid-19 yang belum berakhir.

“Sekarang penyajian pertunjukan tugas akhir sangat berbeda, tanpa penonton. Cukup melalui recording video dan menerapkan protokol kesehatan,” pungkasnya. [oki abdul sholeh/bhirawa]

Tags: