Krisis Air dan Mismanajemen SDA

(Ancaman kekeringan di Jatim)

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Saat ini persoalan aktual dan faktual yang sedang dihadapi masyarakat dan sudah menjadi siklus tahunan adalah masalah kekeringan dan krisis air. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan bencana (BNPB) 2018 misalnya, krisis air dan kekeringan sudah melanda 11 propinsi di Indonesia, 111 kabupaten/kota, 888 kecamatan , dan 4.053 desa. Akibat kekeringan tersebut telah menyebabkan 4,87 juta jiwa kesulitan air bersih. Akibat kekeringan tersebut resiko gagal panen akibat kekeringan tersebut mencapai 11,77 juta ha di 28 propinsi setiap tahunnya. Sekarang siklus tahunan itu, kini datang kembali di tahun 2019 ini. Seperti siklus tahunan, sebagian besar wilayah Indonesia berpotensi dilanda kekeringan atau krisis air. Menurut prakiraan BMKG mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Puncak musim kemarau diprakirakan terjadi Juli-Agustus 2019. Daerah-daerah yang selama ini “langganan” kekeringan dan krisis air diantaranya adalah Provinsi NTT, Bali, Jawa Timur, DIY, dan Jawa Barat, karena itu perlu diwaspadai dan pemerintah daerah perlu untuk lebih waspada dengan potensi kemarau panjang ini (Koran Tempo, 25/6/2019). Musim kemarau tahun ini berpotensi akan lebih panjang dibanding sebelumnya.
Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu yang menjadi “langganan” kisis air dan kekeringan berdasarkan data Dinas pertanian Jawa Timur, tahun 2018 lalu, terdapat 19 kabupaten yang krisis air dan kekeringan. Krisis air dan kekeringan ini tentu saja mengancam lahan pertanian petani. Secara nasional, saat ini sudah 25.000 hektar sawah mengalami kekeringan. Bahkan Badan Penanggungan Bencana Daerah Jatim menyebut, Provinsi Jatim merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi bencana kekeringan yang tinggi. Dari 38 kabupaten kota, ada 24 kabupaten yang berpotensi kekeringan dan krisis air bersih, yakni 180 kecamatan dan 556 desa. Salah satu kabupaten yang sering menjadi “langganan” kekeringan dan krisis air bersih dan terparah terkena dampak kekeringan adalah kabupaten termiskin di Jatim, Sampang. Tahun 20117 ada 42 yang terkena bencana kekeringan, pada tahun 2018 meningkat jumlahnya menjadi 67 desa. Disusul kabupaten tuban dengan 52 desa, dan kemudian Kabupaten Ngawi, Pacitan, dan Lamongan dengan rerata 45 desa. Tentu saja kondisi ini akan menghancam produktivitas dan ketahanan pangan nasional kita. Apalagi Jawa Timur, menjadi salah satu lumbung padi di Indonesia, juga akan terancam.
Fakta terakhir menyebutkan, saat ini kekeringan sudah mulai meluas ke beberapa daerah lainnya, dampak cukup merata sampai ke tingkat kecamatan. Kondisi ini tentu saja akan mengancam gagal panen bagi para petani. Efek dominonya kehidupan masyarakat petani semakin terpuruk dan akan menaikkan angka kemiskinan di pedesaan. Banyak petani yang enggan untuk menanam padi, karena langkanya air atau sarana irigasi yang tidak memadai. Tidak hanya sektor pertanian dan masyarakat petani yang terancam kehidupannya karena krisis air ini. Masyarakat secara umumpun terancam, terutama di daerah-daerah yang kering. Saat ini masyarakat di daerah-daerah kering kesulitan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, baik untuk kebutuhan mandi, cuci, masak, dan buang air besar, maupun yang lebih penting lagi untuk kebutuhan makan dan minum. Sebagian besar dari mereka harus berjalan kilometer dan antre untuk mendapatkan air bersih. Itupun tidak menjamin akan mendapatkan jatah air yang benar-benar bersih untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari.
Tidak sedikit dari masyarakat yang terkena krisis air bersih, mereka mengkonsumsi air apa adanya dan ala kadarnya. Konsumsi air mereka, pasti jauh dari kelayakan dari segi kesehatan (hygenity). Karena itu, ancaman penyakitpun akan muncul. Dan kelompok masyarakat yang paling rentan terkena penyakit akibat mengkonsumsi air tidak layak pakai adalah kelompok masyarakat miskin. Makan ala kadarnya, akibat harga beras melambung, ditambah air minumnya yang tidak layak konsumsi.
Karena itu, mendesak kepada pemerintah Propinsi Jawa Timur dan lainnya agar sejak sedini mungkin untuk menyiapkan kebijakan dan tindakan antisipatif agar kekeringan dan krisis air tidak berdampak lebih buruk dan meluas. Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, tindakan pemerintah dearah dalam menangani bencana kekeringan laiknya pemadam kebakaran. Cara dan langkah-langkah instan yang kurang memberikan solusi komprehensif. Seharusnya pemerintah propinsi, kabupaten/kota dapat memahami pola berulang atas bencana kekeringan ini. sehingga dapat menyiapkan kebijakan yang komprehensif sehingga diharapkan dapat meminimalisir dampak buruk kekeringan tahunan ini.
Mismanajemen SDA.
Menganalisis akar persoalan kekeringan dan krisis air yang melanda berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Jatim ini, setidaknya ada dua penyebabnya kekeringan dan krisis air yang, Pertama, karena faktor alam, dan kedua karena faktor mismanagemen Sumber Daya Air (SDA). Faktor alam sudah jelas, kita tidak bisa mengelak. Namun faktor alam yang relatif cukup teratur terjadi setiap tahun sebagaimana diprediksi oleh BMKG, sebenarnya bisa diantisipasi oleh pemerintah propinsi, tapi mengapa “kejadian tahunan” ini tidak mampu diantisipasi?. Perubahan iklim yang sebenarnya bisa diprediksi ini tidak diantisipasi oleh pemerintah. Untuk menjawab soal yang kedua, bisa dianalisis dengan menggunakan faktor yang kedua, yakni mismanagemen SDA. Lemahnya manajemen sumber daya air memberi sumbangan cukup besar terhadap adanya kekeringan dan krisis air yang melanda berbagai daerah.
Akibat buruknya manajemen air, masyarakat terpaksa harus menanggung derita berupa kekeringan saat musim kemarau dan banjir saat musim penghujan. Padahal, masalah yang rutin terjadi ini, dapat diantisipasi dan dihindari dengan manajemen air yang baik. Persoalaan pengelolaan air bukan hanya sekedar persoalan ketersediaan air, akan tetapi juga masalah akses dan harga air yang sangat tidak adil. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah kumuh, atau di daerah pedesaan harus membayar lebih mahal dan sulit mendapatkan air bersih, dibandingkan mereka yang tinggal di daerah pemukiman.
Secara faktual dan seiring dengan perkembangan industrialisasi yang begitu pesat, muncul perlakuan yang tidak adil. Industri cukup banyak memanfaatkan sumber daya air, tapi minim upaya pemulihan, justru banyak mencemari air. Munculnya dampak limbah industri yang begitu akut terhadap pencemaran air dan dampak eklogisnya menunjukkan akan hal tersebut. Pada saat yang sama masih sangat minim partisipasi industri dalam upaya pemulihan (recovery) kondisi lingkungan dan sumber-sumber daya air baru.
Akibat ulah industry-industri besar yang mengeksploitasi SDA tanpa kendali dan menjadikan SDA sebagai komoditas, selain merusak lingkungan ekosistem, juga kehidupan sosial-masyarakat. Selain itu, akibat monopoli industri besar tersebut, masyarakat sangat sulit untuk mendapatkan akses air bersih dengan gratis atau setidaknya murah dan terjangkau untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hanya orang-orang berkantong tebal yang bisa mengakses dan mendapatkan air bersih dalam jumlah yang tak terbatas.
Paradigma pembangunan, terutama terkait dengan manajemen pengelolaan sumber daya air ini, harus lebih mengedepan aspek “memanfaatkan, menjaga dan melestarikan”. Persoalan pemanfaat air tidak hanya untuk kebutuhan generasi saat ini, tapi juga untuk generasi yang akan dating. Karena itu, Pelestarian fungsi air dengan pemanfaatan air yang menjamin kepentingan generasi sekarang dan generasi akan datang merupakan paradigma yang digariskan oleh pembangunan berkelanjutan (sustainable-development). Paradigma pembangunan yang berkelanjutan ini harus menjadi kerangka dan titik tolak dalam manajemen pengelolaan sumber daya air ini yang lebih baik dan berkeadilan.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: