Krisis Kerukunan Pluralisme

Jakarta sedang dilanda krisis kerukunan sosial dalam ke-bhineka-an. Aksi anti-pluralisme sering dikobarkan. Terutama isu ber-altar sentimen etnis dan keagamaan. Yang terbaru, spanduk anti (wayang) ditebarkan, sebagai budaya yang tidak sesuai dengan agama (Islam). Aksi anti-pluralisme, dapat dikategori gerakan radikalisme keagamaan. Nyata-nyata mengancam ketenteraman, keamanan dan perekonomian nasional.
Kegaduhan pilkada Jakarta, seolah menjadi momentum tumbuhnya aksi anti-pluralisme. Berbagai penyiaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, juga telah dimanfaatkan untuk propaganda berlabel dakwah. Padahal isinya, hanya olok-olok kelompok lain. Walau sebenarnya, “geng” radikalisme sulit berkembang di Indonesia, karena menjadi musuh sosial bersama. Namun perlu waspada, radikalisme yang eksklusif menyasar kelompok potensial pemuda.
Dengan memanfaatkan isu demokrasi dalam menjalankan keyakinan agama, kelompok radikal bisa bebas mengisi ruang publik. Organisasi “bawah-tanah” radikalisme berkembang, membonceng HAM. Radikalisme “memperoleh tempat” di berbagai kalangan, yang tidak paham keagamaan. Ber-simbiose dengan kelompok minoritas (fundamentalis) yang telah lama menunggu momentum pergerakan.
Dengan ciri eksklusif, gerakan radikalisme agama gampang dibedakan dengan gerakan dakwah ormas keagamaan lain. Yakni, tidak mau dikategorikan Muhammadiyah, sekaligus sangat anti-pati terhadap NU (Nahdlatul Ulama)! Bersyukur, hampir 100% rakyat Indonesia mengutuk cara dakwah fundamentalis. Bahkan rakyat secara komunitas berinisiatif membentengi diri dari penyusupan radikalisme.
Penolakan rakyat akan sangat bermanfat. Kalangan budayawan juga merespons sebagai warning penistaan budaya. Seluruh institusi (negara) telah siaga. Terutama BNPT, BIN serta Kepolisian. Namun seyogianya, kewaspadaan (tindakan tegas) tetap dalam koridor hukum. Aparat keamanan (dan ketertiban) tidak perlu “cengeng,” gampang menuduh dan menangkap. Karena dapat menimbulkan bias (alih isu) dan memicu kebencian publik terhadap aparat.
Sudah banyak gerakan ber-label dakwah keagamaan, malah menimbulkan konflik pada masyarakat. Termasuk gerakan salafy (seolah-olah dakwah), mesti dicermati. Meng-kafir-kan, menuduh bid’ah dan musyrik pada kelompok lain, walau se-agama. Begitu pula anti budaya wayang. Padahal wayang digunakan oleh generasi dakwah zaman pertengahan. Walisongo, menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwah.
Anti-wayang, nampaknya ditujukan pada etnis Jawa. Serta gerakan dakwah budaya lainnya. Antaralain dakwah melalui marhaban-an (pembacaan kisah hidup Nabi Muhammad SAW). Gerakan dakwah melalui media budaya, lazim dilakukan di seluruh Indonesia. Biasanya dilakukan oleh umat nahdliyin (NU). Maka spanduk anti-wayang, dan anti dakwah budaya, ditujukan untuk memecah kesatuan umat Islam.
Polisi mesti menemukan (dan menghukum) pelakunya sebagai penghasutan. Boleh jadi, spanduk anti-wayang (dan dakwah melalui budaya) dibuat oleh ekstrem kiri. Kelompk (kiri) ini bisa menyusup ke berbagai komunitas sosial. Bisa masuk ke kalangan buruh, tokoh parpol, intelektual, sampai birokrat. Komunitas profesi (dan asosiasi) bisa pula disusupi kelompok ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Misinya, tak lain menyulut kegaduhan.
Menimbulkan konflik internal umat beragama, niscaya sangat meresahkan. Bisa berujung tawur sosial. Seperti sering terjadi (antaralain di Sampang, Madura). Hal yang sama juga terjadi pada kelompok agama selain Islam. Sehingga sebaiknya, masyarakat tetap mengikuti dakwah ajaran yang paling umum dan biasa dilakukan selama ini.
Karena itu wajar apabila seluruh masyarakat menolak radikalisme. Juga anti-pati terhadap dakwah fundamentalisme. Mayoritas masyarakat muslim, menolak sweeping warung makan pada siang hari. Karena agama mentolerir penundaan puasa (diganti pada hari lain) untuk musafir (dalam perjalanan), dan orang sakit. Maka wajar, rakyat secara komunitas membentengi diri dari penyusupan gerakan dakwah radikal.
Jakarta sudah “lampu kuning” pluralisme, seiring pilkada. Daerah lain yang menyelenggarakan pilkada pada tahun (2017) ini patut mewaspadai gerakan radikal, kiri maupun kanan. Tokoh masyarakat mesti menjaga keutuhan sosial.

                                                                                                         ———– 000 ———–

Rate this article!
Tags: