Krisis Pangan Mengancam, Siapkah Jatim Menghadapinya?

DPD Partai Golkar Jatim menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama dengan anggota Wantimpres Soekarwo di kantor DPD Partai Golkar Jatim, Selasa (21/6) malam. [Gegeh Bagus Setiadi]

2021, Produksi Beras Jatim Alami Penurunan 89,47 Ribu Ton
Surabaya, Bhirawa
Presiden Joko Widodo seringkali mewanti-wanti soal ancaman krisis pangan yang menghantui dunia dan Indonesia. Bahkan beberapa waktu lalu Jokowi menyebut ancaman kenaikan harga pangan akibat perang Rusia-Ukraina berisiko bagi Indonesia karena sudah merasakan dampaknya.
Merespon hal itu, DPD Partai Golkar Jatim menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama dengan anggota Wantimpres Dr H Soekarwo, SH, MHum dengan tema ‘Kesiapan Indonesia dan Jawa Timur Menghadapi Krisis Pangan Global’ di kantor DPD Partai Golkar Jatim, Selasa (21/6) malam.
Hadir dalam FGD tersebut, Parpol yang tergabung Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yaitu, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Ketua DPD Partai Golkar Jatim Sarmuji mengaku sengaja mengambil tema krisis pangan global karena fenomena tersebut sudah nyata di depan mata dialami berbagai negara di dunia baik negara maju, berkembang maupun negara miskin.
“Krisis pangan global ini persoalan yang sangat urgen dan emergency karena sudah dialami beberapa negara di dunia. Dan ke depan akan lebih sulit lagi dunia menghadapi tantangan ini sehingga Indonesia khususnya Jawa Timur harus mempersiapkan dengan baik,” kata anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI ini.
Ada beberapa penyebab terjadinya krisis pangan global. Sarmuji mencontohkan perubahan iklim sehingga di berbagai belahan dunia cuaca maupun musim sulit diprediksi. “Kita bersyukur karena Indonesia tahun ini musim penghujannya sangat panjang sehingga panen beras melimpah bisa swasembada dan tidak sampai import. Tetapi kedepannya bisa saja justru musim kemaraunya menjadi sangat panjang sehingga produksi pangan turun drastis. Jadi kita harus siap dan melakukan antisipasi,” harapnya.
Sementara itu anggota Wantimpres yang akrab disapa Pakde Karwo pun membenarkan kalau negara tetangga seperti Srilangka telah mengalami kelaparan akibat terjadi krisis pangan. Bahkan negara-negara Eropa juga mengalami hal serupa akibat adanya perang antara Rusia dan Ukraina yang berkepanjangan.
“Konflik perang berkepanjangan itu menyebabkan petani gandum di Rusia dan Ukrania tidak bisa menanam dan lahannya hancur. Negara-negara Eropa untuk memenuhi kebutuhan gandum biasanya disuplay dari kedua negara yang berperang tersebut, sehingga mereka juga mengalami krisis pangan,” beber mantan Gubernur Jatim dua periode ini.
Krisis pangan global, kata Pakde Karwo memang semakin nyata dan terasa setelah munculnya perang Rusia-Ukraina. Bahkan semakin melebar menjadi krisis energi akibat harga sumber energi semakin mahal karena sulit didapat. Padahal sebelumnya ancaman krisis pangan itu sudah diprediksi akan muncul akibat terjadinya perubahan iklim (climate change).
“Kalau kondisi pangan sulit, energi sulit maka larinya adalah menjadi tidak punya uang karena tidak ada transaksi (cas flow). Di Belgia dan Inggris warganya sampai demonstrasi karena harga kebutuhan pokok naik hingga 9 persen. Bahkan Fed Amerika sampai mengumumkan kenaikan suku bunga sebagai politik disponto untuk mengerem inflasi tapi tidak bisa,” beber Pakde Karwo.
Indonesia masih relatif aman karena ditolong daerah-daerah yang melimpah produksi pangan bukan hanya beras tetapi ada berupa sagu, jagung, cantel, ketela pohon dan lainnya yang bisa menjadi makanan pokok.
Kendati demikian, lanjut Pakde Karwo krisis pangan bukan otomatis bisa membuat nilai tambah petani (NTP) naik signifikan. Sebab mayoritas petani hanya buruh tani sehingga tidak ikut mendapatkan nilai tambah dari kenaikan harga pangan. “NTP itu kemampuan seseorang petani tentang nilai tukarnya terhadap pangan. Sehingga kebutuhan non pangan petani harusnya juga ikut dihitung, makanya NTP masih rendah di Indonesia,” dalihnya.
Ia mengakui salah satu cara meningkatkan NTP yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan menghapus subsidi pupuk diganti subsidi saprodi (sarana prasarana produksi) petani. Mengingat, subsidi pupuk itu sudah tidak relevan lagi karena petani bisa panen setahun tiga kali bukan hanya sekali seperti awal mula gagasan program subsidi pupuk.
“Jadi bibitnya itu harus bagus dan gratis serta hama dan penyakit tanaman menjadi tanggungjawab pemerintah. Sedangkan pupuknya biar mengikuti harga pasar. Pemerintah juga membantu hilirisasi melalui kelompok tani ssehingga ada pengolahan produk petani yang bisa menaikkan harga,” jelas Pakde Karwo.
“Kalau kelompok tani dibantu mesin hyrdrayer dan mesin pengilingan padi maka berasnya bisa naik menjadi beras premium dan harga jualnya otomatis ikut naik. Itulah yang menjadikan NTP petani naik,” imbuhnya.
Sementara itu, Kadis Pertanian dan Ketahanan Pangan Pemprov Jatim Hadi Sulistyo menambahkan bahwa produksi padi dan beras Jatim relatif terjaga dengan baik sehinggga masih menjadi penopang utama ketahanan pangan nasional.
Kendati demikian pihaknya juga setuju untuk waspada dan melakukan antisipasi krisis pangan. Mengingat, tahun 2021 lalu luas panen padi di Jatim mengalami penurunan 6,90 ribu hektar (0,39%) jika dibanding tahun 2020 yakni sebesar 1.754 juta hektar menjadi 1.747 juta hektar. Sedangkan produksi padi di Jatim, lanjut Hadi juga mengalami penurunan sebesar 154,95 ribu ton GKG (1,56%) dibanding tahun 2020 sebesar 9,944 juta ton GKG menjadi 9,789 juta ton GKG.
“Produksi beras Jatim juga mengalami penurunan sebanyak 89,47 ribu ton (1,56%) dibandingkan produksi beras tahun 2020 sebesar 5,742 juta ton menjadi 5,653 juta ton tahun 2021 lalu,” jelas Hadi.
Upaya yang terus dilakukan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jatim, lanjut Hadi adalah dengan melakukan inovasi dan diversikasi pangan. “Selain inovasi, kita juga membuat diversifikasi pangan sehingga makanan pokok bukan hanya beras,” pungkasnya. [geh.wwn]

Tags: