Krisis Pragmatisme Mencoreng Wajah Pendidikan

23-ani-sri-rahayuOleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn)
Universitas Muhammadiyah Malang

Belakangan ini, kembali kasus ijazah palsu masih menjadi batu sandungan dalam proses kemajuan pendidikan di Indonesia. Kasus terbaru terungkap dari Universitas Brawijaya (UB). UB telah meluluskan mahasiswa S3 Fakultas Hukum (FH), Dr. M Rifqinizamy SH, LLM., yang diduga kuat telah memalsukan ijazah S2 nya dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Pihak pertama yang melapor sekaligus membuktikan kejanggalan ijazah S2 yang dimiliki Rifqi adalah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Malaysia. PPI menemukan data yang membuktikan jika Rifqi telah melakukan tindak pemalsuan ijazah. Seperti tidak adanya keterangan tahun kelulusan dalam pangkalan data perguruan tinggi Kemenristek-Dikti.
Data yang ada hanya menyebutkan bahwa Rifqi hanya tercatat sebagai dosen di Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Kalimantan Selatan. Dia juga lulus di kampus tersebut sabagai S1 pada tahun 2005 silam. Kemudian lulus S3 pada tahun 2013 lalu. Sedangkan lulus S2 tidak ada di data. Tak hanya itu bukti lain yang menguatkan bahwa Rifqi memalsukan ijazah S2nya adalah tidak ada indikasi pengesahan dari Atase Pendidikan Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur.
Data PPI Malaysia juga melampirkan hasil konfirmasi via email kepada Profesor Nazura Abdul Manap, guru besar yang juga dosen Rifqi saat kuliah di UKM. Menurut Nazura, Rifqi memang sempat kuliah di sana, namun diberhentikan. Rifqi sendiri bisa melanjutkan sekolah ke Malaysia berkat Beasiswa Luar Negeri dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional.  Nazura juga melihat ijazah yang dimiliki Rifqi tidak sama dengan ijazah UKM asli. Dia menjelaskan desain ijazah dan font tidak sama dengan UKM asli. Selain itu tandatangan Vice-Chancellor, Deaan dan Registrar juga dipalsukan.(klikapa.com 18/6).
Realitas yang dilakukan Dr. M Rifqinizamy SH, LLM., selaku dosen di Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Kalimantan Selatan tersebut tentu sebuah tamparan yang mencoreng wajah dunia pendidikan. Kaum terdidik di lingkungan akademik yang bernama perguruan tinggi, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kejujuran dan moralitas ilmiah yang semestinya dijunjung tinggi oleh civitas akademika, justru lahir manipulasi, kecurangan, dan pelanggaran. Kasus ini sangat mencoreng martabat pendidikan kita karena memperlihatkan penyimpangan dari tujuan pendidikan untuk melahirkan sumber daya manusia yang berkarakter, termasuk jujur.
Praktek pembajakan UUD 1945
Praktek memalsukan ijazah sampai saat ini masih menjadi batu sandungan dalam proses kemajuan pendidikan di Indonesia dan tragedi ijazah palsu dan memalsukan sebenarnya bukan ‘lagu’ baru, melainkan tragedi lama yang sudah menjadi bisnis dalam dunia pendidikan. Kasus yang santer diberitakan bukan lagi sekadar persoalan pelanggaran hukum, melainkan sudah mencederai hakikat pendidikan di Indonesia yang sedang membangun karakter. Tindakan memalsukan ijazah untuk memenuhi selera nafsu dan mencederai hakikat dan tatanan pendidikan kita. Itu merupakan bentuk nyata pembajakan UUD 1945.
Berikut kita simak ketegasan UUD 1945 (versi amendemen), Pasal 31 Ayat 3 yang menyebutkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.” Pasal 31 Ayat 5 UUD 1945 juga menyebutkan “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Penjabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Pasal 3 UU itu menyebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Pemerintah butuh terobosan-terobosan spektakuler sehingga kasus-kasus yang mencederai spirit UUD 1945 itu segera berakhir dan pendidikan nasional kita bersegera mencetak kader-kader unggul yang akan membawa perubahan mendasar untuk Indonesia masa depan. Penegakan tujuan pendidikan dalam UUD 1945 menjadi agenda serius bagi Kemendikbud.
Sejujurnya, melihat kasus-kasus di negeri ini, sebagai penulis sangat prihatin. Bukan hanya kasus pemalsuan ijazah saja yang merusak pendidikan kita, melainkan banyak kasus lain yang juga sangat serius, misalnya, banyaknya korupsi yang dilakukan kaum berdasi. Penegakan pendidikan karakter harus segera dijadikan kampanye besar-besaran di semua lembaga pendidikan dan perguruan tinggi. Pendidikan karakter akan menjadikan bangsa ini kembali bermartabat sesuai dengan spirit Pancasila dan UUD 1945.
Bobroknya mentalitas bangsa
Sebenarnya, belajar dari kasus pemalsuan ijazah yang dilakukan oleh Dr. M Rifqinizamy SH, LLM., jika disimpulkan tampaknya kencederungan prilaku menggampangkan segala cara untuk mencapai target atau tujuan sebagaimana yang ditujukkan oleh beberapa kasus yang muncul dihadapan kita akhir-akhir merupakan fakta keironian manusia modern yang menggambarkan suatu kencenderungan sikap mental dan perilaku menerabas yang bersifat pragmatis dalam kehidupan sebagian masyarakat kita. Gejala ini sebenarnya bukan hal baru, hanya perwujudannya yang semakin bervariasi sesuai dengan situasi sosial yang semakin kompleks.
Menurut Koentjaraningrat (1987:56), dalam bukunya Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan menyatakan bahwa gejala sosial yang satu ini telah lama berkembang setelah bangsa bangsa Indonesia memasuki era baru pasca kemerdekaan tahun 1945 sebagai akibat negatif dari revolusi. Masih menurut Koentjaraningrat  mentalitas menerabas dalah suatu mentalitas yang bernafsu untuk mencapai tujuan dengan secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan secara langkah demi langkah. Mentalitas ini merupakan jenis penyakit atau kerusakan mental yang meremehkan mutu atau kualitas dalam hidup.
Mentalitas menerabas itu, bukanlah perilaku kebetulan dalam kasus kekeliruhan atau keseleo, tetapi merupakan cerminan dan manifestasi dari alam pikiran dan sikap mental yang memandang hal-hal yang dilakukannya secara jalan pintas itu sebagai sesuatu yang baik dan benar, serta dianggap sebagai kelaziman umum. Orang menjadi gampang untuk menempuh jalan pintas demi tujuan yang ingin dicapai secara cepat dan untungnya besar.
Meminjam bahasa lain, gejala menerabas ini sering disebut sebagai sikap hidup perilaku pragmatis, yang bermuara pada pikiran pragmatisme. Orang ingin mencari sesuatu yang lebih bersifat kegunaan dan kepraktisan tanpa mempersoalkan baik atau buruk serta benar ataupun salah. Bahkan gejala pragmatisme ini makin dilengkapi dengan sebutan pragmatisme utilitarian, suatu alam pikiran dan perilaku yang didasarkan pada falsafah hidup, bahwa  yang benar dan baik itu adalah yang berguna secara praktis yang menggambarkan cara berpikir serba fungsional. Lebih berfokus lagi, yang berguna dari ukuran materi dan ekonomi, yang mudah diukur secara kuantitatif. Maka bertemulah akar pikiran pragmatisme dengan alam materialisme yang memuja materi, ekonomi, uang dan hal-hal yang bersifat fisik dan inderawi. Muncul pemujaan terhadap kepraktisan, kemudahan, kebendaan dan keagungan dunia.
Berada dalam suasana hidup yang serba pragmatis, tak ada lagi tempat untuk wacana metafisis yang mengungkit kesadaran terdalam dari makna dan jalan hidup diatas kebenaran hakiki. Hal-hal yang bersifat nilai, norma dan moral sebagaimana ditawarkan agama dipandang suatu kemewahan yang melangit. Tak ada moral atau etika yang tersandar sebagaimana diajarkan oleh agama-agama, kecuali moralitas situasional yang mengabdi pada tuntutan situasi dan kondisi yang berlaku sesuai tuntutan zaman.
Suatu keniscayaan dari persetuhan kita dengan dunia luar secara super cepat melalui pintu baru yang bernama globalisasi yang membuat bangsa ini dengan gampang dan leluasa “belajar” tentang kebudayaan asing yang ikut mengajarkan keserbagunaan budaya materi dan hidup serba tenang dan bebas tanpa ikatan-ikatan nilai dan norma sebagaimana yang selama ini menjadi acuan hidup kita sebagai bangsa beragama dan berfalsafah Pancasila.
Pendek kata, jika pragmatisme atau mentalitas menerabas itu merupakan hal yang cenderung berkembang saat ini dalam kehidupan masyarakat kita, secara situasional hal itu merupakan suatu hal yang tidak lepas dari kondisi umum kehidupan kemasyarakatn kita yang kini terstruktur oleh kebudayaan inderawi yang mengajarkan pola hidup yang berorientasi pada kepraktisan, kebendaan, kemudahan dan hal-hal instan yang lainnya tanpa perlu mendialogkan dan merujukan dengan hal-hal normatif yang mematok keharusan perilaku yang baik, yang benar, yang sakral, yang luhur dan mulia.
Demi kebaikan tatanan yang luhur dan mulia sebagai bangsa beragama dan berfalsafah pancasila, kita tentu tak menginginkan kebudayaan bangsa ini berjalan timpang, sehingga besar harapan dalam menyelesaikan kasus krisis pragmatisme yang marak terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, termasuk kasus Dr. M Rifqinizamy SH, LLM., yang memalsukan ijazahnya ini, butuh penyelesaian dari semua pihak. Kontrol dan penegakan hukum dari kementerian terkait. Mulai sekarang harus ada sistem permanen yang dibuat dan dijalankan untuk mengantisipasi praktik itu. Saat di sidang, para hakim sebaiknya memandang persoalan ini penting dan memberikan hukuman yang tegas dan adil.
Di kampus, para insan akademik sepatutnya terus menggembleng mahasiswa dan semua sivitas akademik untuk menjunjung kejujuran dalam proses belajar-mengajar yang seharusnya. Penting disadarkan bahwa kejujuran merupakan prinsip dasar yang tak bisa ditawar dan melandasi karakter sumber daya manusia. Para pengajar dan pejabat dekanat dan rektorat perlu menjadi teladan kejujuran. Singkirkan berbagai bentuk turunan dari ketidakjujuran, seperti manipulasi, plagiarisme, dan sejenisnya.
Semua tatanan ideal itu bakal berjalan lancar jika masyarakat juga aktif mendukung. Siapa pun yang menemukan gejala ijazah ilegal atau palsu diharapkan lebih perhatian dan mau melaporkan kepada pemerintah atau aparat penegak hukum. Ini adalah kepentingan kita bersama. Bagaimanapun upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan negara Indonesia ini didirikan hanya bisa dicapai dengan proses pendidikan yang benar, berkualitas, dan menjunjung nilai kejujuran. Tanpa semua usaha itu, yang harus dilakukan secara bersamaan dan bersinergi satu sama lain, kita bakal sulit membersihkan kepalsuan yang telanjur mencoreng wajah pendidikan kita. Mari, kita harumkan wajah pendidikan kita dengan menepis segala kemungkinan dari krisis pragmatisme yang sedang melanda negeri ini.

                                                                                                                   ———- *** ———–

Tags: