Krisis Sosial di Negara Hukum

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum FH Unmuh Surabaya, Penulis buku (2011) : Hukum dan Keadilan Masyarakat

Socrates menyatakan bahwa esensi dari hukum itu adalah keadilan. Tidak ada hukum tanpa keadilan. Hukum berfungsi melayani kebutuhan keadilan dalam masyarakat. Hukum menunjuk pasa suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita-cita hidup bersama, yakni keadilan. sedangkan Plato mengatakan suatu tatanan sosial masyarakat akan terbangun jika muncul partisipasi semua orang dalam gagasan keadilan. Dan kehadiran negara di tengah kehidupan masyarakat salah tugasnya adalah mengahadirkan keadilan. Sehingga ruhnya kehidupan manusia, termasuk dalam masalah penegakan hukum di tengah masyarakat – adalah masalah keadilan.
Sebagai negara hukum (rechtstaat), Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada persoalan hukum dan keadilan masyarakat yang sangat serius. Hukum dan keadilan masyarakat seolah seperti dua kutub yang terpisah, tidak saling mendekat. Kondisi ini tentu saja berseberangan dengan dasar filosofis dari hukum itu sendiri, di mana, hukum dilahirkan tidak sekedar untuk membuat tertib sosial (social order), tapi lebih dari itu, bagaimana hukum dilahirkan dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Krisis Sosial
Keadilan hukum bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin di negeri ini adalah sesuatu barang yang mahal. Keadilan hukum hanya di miliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses politik dan ekonomi saja. Sementara, masyarakat lemah atau miskin sangat sulit untuk mendapatkan akses keadilan hukum dan bahkan mereka kerapkali menjadi korban penegakan hukum yang tidak adil. Ambil contoh, kasus nenek Minah, kasus pencurian sandal jepit, kasus semangka Basar dan Kolil, kasus nenek Asyani, dan lain sebagainya. Orang miskin yang melakukan pelanggaran hukum diperlakukan dan diberi sanksi hukum yang “sama” dengan para penjahat kelas kakap (pencuri vs koruptor).
Namun jika hukum menimpa orang alit yang memiliki kuasa, baik kuasa politik, ekonomi, maupun harta, hukum sangat begitu tumpul, bahkan yang lebih parah hukum dijadikan “barang mainan” yang mudah dimainkan sesuai dengan kehendak dan kepentingannya. Sebaliknya, karena tak punya kuasa apapun, kaum papa sangat mudah terjerat hukum dan dimasukan penjara. Dalam perumpamaan yang lain, hukum laiknya pisau; tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. atas kondisi ini, Seorang filsuf Yunani pada abad 7 SM, Anarcharsis, mengatakan “Hukum itu adalah jaring laba­laba, ia hanya mampuuntuk menjaring orang­orang miskin, tetapi tidak mampu menjaring orang­orang kaya. Bahkan oleh orang­orang kaya, jaring laba­laba itu akan dirobek­robek olehnya”.
Gambaran atas kurang puasnya praktek penegakan hukum tersebut, setidaknya dapat direkam dari hasil survei yang dilakukan Indo Baromater pada September 2015 lalu.  Berdasarkan survei tersebut, hanya 44,8 persen responden yang menyatakan puas atas kinerja kepolisian. Angka lebih jeblok ditunjukkan kejaksaan, 37,7 persen. Sedangkan angka kepuasan terhadap lembaga kehakiman adalah 40,7 persen. Sebaliknya, responden justru puas atas kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mencapai 68,2 persen.
Secara sosiologis, praktek ketidakadilan hukum yang ditontonkan secara vulgar tersebut telah melahirkan merebaknya gejala apatisme dan krisis sosial di tengah masyarakat. kasus “main hakim” sendiri yang terjadi akhir-akhir ini adalah salah satu bentuk krisis dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum formal.  Masyarakat sangat mudah mencari lembaga peradilan di negeri ini, tapi sulit mencari keadilan. Bahkan muncul joke di masyarakat :  “lapor kehilangan kambing, maka akan kehilangan kerbau” sungguh-sungguh terjadi. Dalam bahasa yang lebih keras, Armada, mengatakan ranah hukum Indonesia kini terancam mendapat wajah baru, Penindas!. Betapa tidak, kasus-kasus sepele, yang menimpa kaum alit dengan kerugian yang tidak seberapa, para aparat penegak hukum begitu keras -melalui seperangkat hukumnya- memperlakukan mereka. Mereka adalah satu dari sekian korban “keganasan” sistem hukum yang karut marut di negeri ini yang menghamba pada formalisme (Armada, 2011:81)
Realitas penegakan hukum tersebut, semakin menunjukkan bahwa sistem dan praktek berhukum kita sedang ada masalah serius yang kemudian berakibat pada rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum. Gambaran ini yang di sebut Satjipto Rahardjo (2009) sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak hukum kita. Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan hukum kurang dapat dijelaskan dengan baik. Keadaan ini yang kurang disadari dalam hubungannya dengan kehidupan hukum di Indonesia. Praktik-praktik penegakkan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitmasi moral dan sosial sangat lemah.
Belenggu Legalistik-Positivistik
Hukum positif negara ini juga disebut sebagai hukum modern. Dan trade-mark hukum modern, bahwa hukum modern adalah sebuah konstitusi tertulis dan dibuat secara sengaja oleh manusia (purposive human action) (Trubek, 1972). Dan hukum modern ini identik dengan hukum negara. Sebelum muncul hukum modern, hukum diidentikan dengan keadilan, yang lahir, hidup, dan berkembang dalam sisitem sosial masyarakat. Keadilan diukur dengan standar nilai dan norma kemasyarakatan yang berlaku, bukan diukur dengan standar pasal-pasal dalam undang-undang yang sangat formalistik. Tetapi keadilan dengan ukuran sosiologis tersebut tidak lagi muncul dan dijumpai, sejak kemunculan hukum modern. Sehingga hadirnya hukum modern telah “morobohkan pengadilan” sebagaimana tempat dimana keadilan diberikan, dengan menjadikan pengadilan sebagai rumah untuk menerapakan undang-undang dan prosedur. Hukum modern tidak menghadirkan keadilan substansial, namun keadilan formal (Rahardjo, 2010:67-68).
Nihilnya ketidakadilan hukum dalam masyarakat merupakan wujud nyata ada yang bermasalah dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Dalam pandangan Ahmad Ali (2005), sistem hukum Indonesia sedang mengalami keterpurukan yang luar biasa.  Keterpurukan hukum tersebut salah satunya tak lepas dari praktik hukum kita yang lebih mengedepankan pendekatan legalistik-positivistik, pemahaman dan berhukum dari para aparat penegak hukum yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) belaka. Jika kita terbelenggu dengan pendekatan legalistik-positivistik tersebut, maka kita tidak akan pernah mampu menangkap hakikat kebenaran dan keadilan hukum
Akhirnya, mengutip seorang pengacara Amerika Serikat, Clarence Darrow (1857-1938), bahwa “Keadilan tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi dli ruang sidang; Keadilan itu datang dari luar ruang sidang pengadilan”. Keadilan di ruang sidang hanya bersifat formalistik, proseduralistik, dan berpotensi sarat manipulasi dan kolusi. Saatnya hadirkan keadilan yang lebih substantif yang didasarkan pada nurani dan moralitas kemanusiaan, bukan pada pasal-pasal yang kaku (rigid). Jadilah yuris yang progresif dan responsif terhadap nurani keadilan masyarakat.

                                                                             ————————- *** ————————-

Rate this article!
Tags: