Kritik sebagai Bentuk Partisipasi

Oleh
Frida Kusumastuti
Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Suatu pagi menjelang siang, lewat segerombol orang bergerak dalam pawai demonstrasi melintasi depan rumah penulis. Sebenarnya bukan segerombolan, melainkan massa yang cukup besar. Mereka membawa spanduk bertuliskan tuntutan, dan juga beberapa kendaraan pick up yang ditumpangi sound system untuk orasi. Menghabiskan jalanan karena memang hanya itu satu-satunya akses jalan menuju lokasi yang sedang dituju untuk menyerahkan selembar kertas berisikan daftar tuntutan. Kejadiannya tidak begitu lama. Tidak lebih dari 30 menit saja, dan tidak ada anarkhi. Penulis masuk dalam kerumunan, menemukan salah satu “tokoh” demi mendapatkan informasi, apakah demonstrasi ini sebagai upaya pertama/awal? Tenyata tidak. Sebelumnya sudah ada upaya secara kelembagaan. Namun, aktor yang membela kepentingan penduduk “kalah diplomasi”. Terjadi ketidak setaraan kompetensi dalam upaya tindakan komunikatif. Akhirnya menggunakan “people power.”

Sebelum pandemi covi19, kejadian serupa sering kita temui sebuah demonstrasi. Baik secara langsung maupun melalui pemberitaan media massa dan media sosial. Bahkan pada saat pandemi juga mungkin kita temui dalam skala lebih kecil dengan frekwensi rendah. Namun, intinya sama yaitu demonstrasi, kritik terbuka, dan harapan adanya perhatian lebih dari pihak yang dituju. Penulis memiliki pendapat pribadi tentang fenomena tersebut yang ditulis dalam artikel kali ini.

Mengapa Mesti Demonstrasi?

Penulis mencoba mengintepretasi. Terlepas dari kepentingan tersembunyi (karena hanya yang punya kepentingan dan Tuhannya yang tahu pasti), demonstrasi yang biasanya berupa tuntutan, sering muncul melalui proses sebuah kritik akan suatu keadaan. Dimana kritik yang dimaksud dianggap kurang mendapatkan perhatian. Mengapa kurangnya perhatian itu membuat masyarakat tergerak demonstrasi? Karena pihak yang dikritik dan kurang memperhatikan itu punya kuasa yang tidak tersentuh oleh pendekatan yang biasa saja. Harus melalui cara yang lebih memiliki power. Nampak, semakin besar jumlah sang demonstran, maka menunjukkan semakin besar kekuasaan yang tak mempan oleh kritik.

Bukankah juga ditemukan, mereka yang ikut demonstrasi itu beberapa malah tidak mengerti apa yang sedang diperjuangkan? Ya, faktanya begitu. Demonstrasi dalam hal ini memang bertujuan untuk menunjukkan power diplomasi dari sisi kuantitas. Itu bagian dari semacam propaganda yang menakut-nakuti. Tapi jangan lupa, bahwa selalu ada sekelompok yang menjadi think thank yang memiliki kepentingan jelas dan paham sekali dengan apa yang sedang diperjuangkan. Jumlah massa hanyalah tools yang digunakan untuk mencapai tujuan. Dan teknik propaganda seperti ini, beberapa berhasil. Kelemahan dalam satu kekuasaan, diatasi dengan kekuatan dari sisi jumlah aktor atau partisipan. Semacam itu.

Beberapa orang berpendapat, mengapa sih harus demonstrasi? Mengapa tidak disampaikan saja dengan baik-baik melalui diskusi? Pertanyaan ini sudah terjawab, pertama bahwa tidak semua aktor memiliki kompetensi komunikasi diadik melalui meja perundingan dan diplomasi. Sementara sang aktor menilai kondisinya memerlukan perubahan segera. Kedua, kekuasaan yang dituntut/dikritik dirasa lebih powerfull alias tidak seimbang untuk head to head. Ketiga, karena tidak ada akses yang dibuka untuk menggunakan jalur konvensional (tidak ada sistem untuk menyampaikan aspirasi, misalnya). Keempat, ketidak percayaan pada aktor yang sesuai jalur konvensional (sesuai sistem).

Kritik vs Solusi

Demonstrasi juga acapkali dianggap suatu kegaduhan tanpa solusi. Kadang dianggap sebagai kritik tanpa solusi. Dan pada akhirnya orang menjadi sinis pada aktor-aktor demonstran dan kritikus. Anggapan itu bisa benar dan juga bisa salah. Benar karena memang ada demonstrasi yang menimbulkan kegaduhan. Kebisingan orasi dan bunyi-bunyian, menghambat kelancaran jalanan, bahkan mobilitas dan perilaku massa yang anarkhis. Namun juga salah jika setiap kritik harus memberi solusi karena solusi hanya bisa diberikan oleh mereka yang memiliki kompetensi dan keahlian.

Kita yang hanya mengamati aktivitas demonstrasi, tentu berharap semua demonstrasi dilakukan secara tertib dan tidak mengganggu aktvitas masyarakat sehari-hari. Mengapa? Karena kita menjadi pengamat saja. Itu juga boleh. Menjadi pengamatpun tidak harus memberi solusi bagaimana supaya demonstrasi bisa berjalan tertib serta tidak mengganggu aktivitas sehari-hari, bukan? Ucapan, “Boleh demo, tapi harus tertib,” katanya. Namun pengamat yang paham akan psikologi sosial akan memiliki cara pandang yang berbeda dengan yang hanya ingin segalanya aman bagi dirinya.

Sekelompok orang yang sering mengritik tanpa solusi juga dipandang sinis oleh sebagian orang yang biasa memberi solusi. Bahkan oleh orang yang sebenarnya juga tidak pernah memberi solusi pun untuk kehidupan masyarakat. Namun, orang yang paham tentang apa itu partisipasi, akan paham bahwa bentuk partisipasi juga ada tingkatan-tingkatannya. Pada sistem demokrasi, tingkat terendah dalam partisipasi akan lebih baik daripada yang tidak berpartisipasi.

Memberi kritik adalah salah satu bentuk partisipasi. Memberi solusi juga bentuk partisipasi. Memberi kritik sekaligus memberi solusi juga partisipasi. Tingkatan partisipasi tentu saja akan tergantung dari banyak faktor. Diantaranya kepakaran, akses, dan atribusi. Penulis menamakan tiga faktor itu sebagai “tri tunggal”. Seseorang bisa saja pakar, namun tidak memiliki akses dan atribusi. Orang lain bisa saja bukan pakar, namun memiliki akses dan atribusi. Atau anda pakar, memiliki akses, namun hanya memiliki atribusi eksternal. Kombinasi “tri tunggal” akan menempatkan kita pada bentuk dan tingkatan partisipasi kita.

Nah dengan mencoba mengurai pemahaman tentang fenomena demonstrasi dengan segala kritiknya, setiap orang akan memiliki gambaran ideal tentang demonstrasi dan posisi kritik. Namun, juga penulis harapkan memiliki respon inklusif terhadap perbedaan peran sebagai anggota masyarakat. Setiap orang memiliki ukuran sepatu yang berbeda, namun ketika kaki digunakan untuk melangkah bagi kepentingan bersama itu jauh lebih baik daripada berlomba mengatakan ukuran sepatunya lebih baik daripada yang lain. Haruslah diakui, gap kepakaran dan kompetensi warga di Indonesia menjadi salah satu isu penerapan demokrasi. Jadi apapun partisipasi kita, semua luar biasa.

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: