Kritisi RUU Kesehatan

Di seluruh dunia urusan Kesehatan menjadi prioritas utama, di atas urusan pendidikan, dan kemakmuran ekonomi. Pasca pandemi, sarana dan prasarana Kesehatan terasa meningkat baik. Ditambah semangat “pulih lebih cepat bangkit lebih kuat,” mengalahkan segala ke-khawatir-an. Kini DPR ber-inisiatif menerbitkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Tetapi telah riuh kritisi, karena dianggap RUU bisa meng-kriminalisasi tenaga kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan Kesehatan.

Ketua Umum PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia), turut turun unjukrasa bersama komponen tenaga kesehatan, tenaga medis. Unjukrasa diikuti kalangan organisasi profesi. Yakni, PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia), IBI (Ikatan Bidan Indonesia), PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indoneisa), dan IAI (Ikatan Apoteker Indonesia). Juga diikuti mahasiswa program studi Kesehatan, Kedokteran, dan Farmasi. Yang “digugat” kalangan tenaga kesehatan, dan tenaga medis, adalah pasal 462.

Pada ayat (1), dinyatakan, “Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.” Bahkan pada ayat (2), dinyatakan jika menyebabkan kematian hukumannya menjadi paling lama 5 tahun. Sedangkan yang di-ingin-kan, tenaga kesehatan dan tenaga medis, tidak dapat dituntut pidana sepanjang menjalankan profesi sesuai standar.

Kritisi lebih riuh karena RUU Kesehatan juga menyebut tembakau, yang akan terasa di-setara-kan dengan barang haram. Sehingga RUU juga sangat dikhawatirkan akan “menghabisi” ekonomi pertanian kreatif, khususnya terhadap tanaman tembakau. Konon, dalam RUU disetarakan dengan menanam ganja (yang terlarang). Padahal sektor pertanian tembakau melibatkan 6,1 juta petani.

RUU Kesehatan pada pasal 154 ayat (3), menyatakan, Zat adiktif dapat berupa narkotika, psikotropika, minuman beralkohol, dan hasil tembakau. Mengesankan tembakau setara, dan sederajat dengan narkotika. Padahal fatwa tentang penggunaan hasil tembakau, ulama seluruh dunia sepakat dengan status “makruh,” bukan haram. Dianggap tidak bijak men-setara-kan tembakau dengan narkotika. Bahkan digolongkan kebohongan publik.

Karena kandungan zat, dan sifat zat dalam tembakau berbeda dengan narkotika. Begitu pula efek ketergantungan terhadap tembakau tidak menimbulkan “sakaw.” Juga tidak mudah menghapus pertanian ekonomi kreatif yang selama ratusan tahun telah melibatkan jutaan petani. Serta industri rokok yang melibatkan jutaan pekerja. Juga jutaan pedagang dan toko yang menjual tembakau, dan hasil industri tembakau.

Industri produk tembakau, juga menghasilkan CHT (Cukai Hasil Tembakau) sebesar Rp 232,5 trulyun. Yang dibagian ke daerah sebagai DBHCT (Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau) mencapai Rp 5,47 truilyun. Industri Hasil Tembakau (IHT) pada tahun 2022, ditaksir mencapai 3 milyar batang. Dengan jumlah tenaga kerja perusahaan rokok sebanyak 6 juta orang.

IHT (yang legal saja) juga memberi kontribusi penerimaan negara dari cukai yang mencapai rata-rata 10% dari total penerimaan perpajakan. Belum termasuk pajak rokok, PPN HT, dan PPh. Harus diakui, “ke-ekonoimi-an kreatif” IHT menjadi salahsatu tulang punggung perekonomian nasional. Tetapi berdasar catatan Kementerian Keuangan, pemerintah juga mengeluarkan anggaran cukup besar untuk bidang kesehatan dampak rokok.

Di seluruh dunia urusan Kesehatan menjadi prioritas utama, di atas urusan pendidikan, dan kemakmuran ekonomi. Di Indonesia, urusan kesehatan menjadi mandatory (kewajiban) pemerintah. Bahkan dijamin konstitusi, sebagai hak asasi warga negara. Tercantum dalam UUD pasal 28H ayat (1). Namun di seluruh dunia, tidak ada negara yang men-sejajar-kan tembakau dengan narkotika, dan psikotropika.

Sehingga RUU Kesehatan, wajib meng-akomodir berbagai kritisi. Tak terkecuali pandangan agama, dan pertimbangan multi ekonomi kreatif tembakau sebagai yang tertinggi di dunia.

——— 000 ———

Rate this article!
Kritisi RUU Kesehatan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: