Kualitas Penyelenggara Pemilu Vs Pengaduan ke DKPP

Oleh :
Elsa Fifajanti
Wartawan Senior 

Ada tren kenaikan angka terkait sanksi yang telah dijatuhkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kepada penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) sejak 2014 hingga penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 lalu. Angka yang dilansir oleh DKPP pada 2014 lalu, disebutkan sebanyak 163 orang penyelenggara pemilu dari tingkat desa hingga provinsi telah dijatuhi sanksi. Data yang disampaikan oleh Jimly Asshiddique (Ketua DKPP 2012-2017) saat itu, dari 163 orang tersebut, 81 diantaranya dijatuhi sanksi pemecatan, dan 82 orang lainnya, diberi sanksi peringatan.
Angka itu muncul seusai penyelenggaran Pileg 2014 lalu. Mereka yang telah dijatuhi sanksi tersebut, telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Jumlah penyelenggara pemilu yang diberhentikan itu menunjukkan perkara yang diadukan ke DKPP bukan hanya sekadar didasari sakit hati atau kekecewaan peserta pemilu yang merasa dirugikan oleh penyelenggara. Tapi, memang ada pelanggaran yang dilakukan.
DKPP yang telah berganti wajah dari kepemimpinan Jimly Asshiddique ke Harjono, ternyata mendapatkan laporan pelanggaran etik penyelenggara yang lebih tinggi jumlahnya, saat Pilkada serentak 2018 yang baru lalu. Ida Budhiati, salah satu komisionernya mengungkapkan, dalam pilkada 2018 lalu, DKPP telah menerima 332 laporan pengaduan terkait pelaksaan Pilkada serentak 2018. Setelah diverifikasi, dari jumlah pengaduan yang masuk tersbeut 162 perkara dilanjutkan untuk disidangkan. Dari 162 perkara tersebut, 120 diantaranya sudah diputus, sedangkan yang 42 perkara masih dalam proses. Perkara yang masuk ke DKPP berasal hampir dari seluruh wilayah Indonesia.
Meski tidak semua perkara yang masuk ke DKPP bisa disidangkan, jumlah tersebut cukup ”wah”, mengingat jumlah penyelenggara pemilu tidak banyak dibanding ASN misalnya. Ida menjelaskan paling banyak aduan berkaitan dengan konflik internal di penyelenggara pemilu. Dari 162 perkara, 132 perkara tipologi pengaduannya berkaitan dengan problem konflik internal. Jadi antar komisioner atau antar komisoner dengan sekretariat.
Pengduan lainnya, berkaitan dengan isu pencalonan, baik syarat pencalonan dari partai politik atau dari jalur perseorangan. Pengadu tersebut ingin menguji Penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu apakah patuh pada prosedur kerja yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengadu minta akuntabilitas penyelenggara untuk memastikan keterpenuhan syarat calon. Misalnya yang spesifik berkaitan dengan bagaimana memahami syarat calon terkait dengan periodisasi, dua periode berturut-turut atau tidak berturut-turut.
Dari sisi kuantitas laporan yang masuk ke DKPP, tentu berkaitan erat dengan profesionalitas Penyelenggara Pemilu. Selain itu juga menyangkut integritas yang mtlak harus dimiliki. Tidak mudah menjadi seorang Penyelenggara Pemilu. Karena ada syarat yang cukup ketat yang telah diatur oleh Undang-undang. Misalnya, harus memiliki pengalaman menjadi Penyelenggara Pemilu, meski hanya di tingkat paling bawah, misalnya menjadi salah satu anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara)— di struktur Komisi Pemilihan Umum (KPU)— atau menjadi Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) —di struktur Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Namun demikian, dari data yang diperoleh, syarat ini seringkali tidak dipatuhi oleh lembaga KPU maupun Bawaslu saat menggelar uji kepatutan dan kelayakan, misalnya terdapat fakta yang cukup mencengangkan, di salah satu Kota di Jatim, Komisioner yang terpilih di Bawaslu Kota-nya adalah pegawai bank yang terkena pensiun dini dan sama sekali tidak memiliki pengalaman sebagai penyelenggara pemilu, ditambah lagi yang terpilih ini saat mengikuti ujian test tulis berbasis CAT (Computer Assisted Test) tentang kepemiluan berada di rangking terbawah, dan nilainya sebenarnya sangat tidak memenuhi batas minimal. Ini bisa diketahui karena hasil test CAT diumumkan terbuka rangkingnya usai diselenggarakannya test tersebut.
Demikian pula menyangkut integritas Penyelenggara Pemilu. Yang paling gres adalah mencermati proses seleksi yang baru saja berlangsung di seluruh Jatim untuk pengisian jabatan komisioner Bawaslu Kab Kota, sekitar Agustus 2018 lalu. Karena Bawaslu Kab Kota yang semula ad hoc , berubah menjadi lembaga permanen sesuai amanat UU 7/2017 seperti halnya KPU yang memang lembaga permanen sejak awal, menjadikan proses seleksi ini menjadi sesuatu yang seksi dan menarik untuk diamati.
Yang mencegangkan adalah didapatinya, salah satu komisioner Bawaslu di sebuah kabupaten yang dengan terang-terangan telah membuat surat perjanjian untuk mengawal dan menyukseskan perolehan suara dalam Pileg atas nama seorang mantan penguasa di negeri ini yang maju caleg dari satu partai di salah satu Dapil di Jatim. Dan Komisioner ini membuat pernyataan di atas kertas bermeterai yang cukup. Jika berintegritas dan profesional, surat pernyataan yang sangat memalukan dan beredar luas di media sosial itu mestinya tak perlu ada. Pertanyaannya, apakah Bawaslu di atasnya, dalam hal ini Bawaslu Jatim tidak mengetahui atau pura-pura tidak tahu. Jangan- jangan praktik seperti ini masih banyak lagi,
Masyarakat umumnya tidak begitu peduli dengan proses rekrutmen Penyelenggara Pemilu. Kalaulah ada yang peduli, bisa dipastikan adalah mereka yang memiliki kepentingan terkait proses Pemilu, bisa peserta Pemilu –caleg, parpol–, calon Kepala daerah serta calon Presiden. Karena posisi yang strategis, saat rekrutmen Penyelenggara Pemilu, ”pertempuran” sudah dimulai sejak dibentuknya tim seleksi.
Isu tak sedap dan nyanyian sumbang seringkali muncul di sela-sela proses rekrutmen Penyelenggara Pemilu. Siapa menitipkan siapa, siapa dititipkan pada siapa, dan tentu saja ploting bagi bendera politik identitas. Menjadi semakin runyam manakala ada isu transaksional yang sangat mencederai proses demokrasi itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, menjadi Penyelenggara Pemilu sangat kental dengan politik identitas yang disandang seseorang. Jika tidak memiliki unsur ini siap-siap saja dielimininasi, karena integritas dan profesionalitas menjadi nomor yang paling buntut. Apakah kondisi seperti ini akan terus berlangsung, lantas buat aturan yang ketat dituangkan dalam Undang-undang, bahkan ada petunjuk tekhnis segala, tentang perekrutan itu.
Untuk membuktikan suara sumbang dan berbagai isu di seputaran rekrutmen Penyelenggara Pemilu memang tidak mudah. Benang merah kotornya proses rekrutmen Penyelenggara Pemilu dan tahapan atau hasil Pemilu, manakala diketahui banyaknya pengaduan ke DKPP. Karena salah satu parameter integritas, mentalitas dan profesional Penyelenggara Pemilu bisa dilihat banyak tidaknya pengaduan ke DKPP.
Menurut Prof Jimly Asshiddiqie, Ketua DKPP di era pertama,saat etika sudah dilanggar, aturan hukum yang lain akan mudah pula dilanggar. Guru bangsa inipun pernah mengkritik keras proses rekrutmen Penyelenggara Pemilu.
Jimly di akhir masa jabatannya pada 2017 lalu pernah menyampaikan, proses rekrutmen Penyelenggara Pemilu, patut menjadi perhatian semua penyelenggara negara. Guru bangsa dan negarawan ini menyampaikan, sistem perekrutan dua lembaga ini harus diperbaiki dan diperketat. Saat Pileg dan Pilpres 2014 lalu ratusan komisioner KPU dan Bawaslu (serta Panwaslu) disidangkan di DKPP. Sudah saatnya lembaga ini diperkuat sebagai lembaga negara yang seutuhnya, dan menjadi tiang negara yang ke-4, Karena semua pejabat negara mulai Bupati/Walikota hingga Presiden serta anggota legislatif di semua tingkatan diproses melalui kedua lembaga ini. Dan yang paling memprihatinkan, kata Jimly jabatan KPU dan Bawaslu di semua tingkatan banyak yang menjadi incaran para pengangguran.
Keprihatinan lain saat ini adalah, ketika proses seleksi belum selesai sudah bisa diketahui siapa yang bakal menduduki kursi sebagai Penyelenggara Pemilu. Ploting dan bagi-bagi jabatanpun ternyata juga ada di lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap tegaknya hukum Pemilu ini. Artinya? Apakah semakin meningkat pengaduan ke DKPP? Kita simak saja.

———- *** ———–

Tags: