Kualitas Sarana Pendidikan SD/MI di Jatim Rendah

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Mayoritas Ruang UKS dan Laboratorium Tak Layak
BAP S/M Jatim, Bhirawa
Ketuntasan program wajib belajar sembilan tahun di Jatim ternyata belum diiringi dengan ketersediaan fasilitas pendidikan  yang layak bagi anak. Fakta ini terungkap dari rendahnya standar sarana prasarana yang telah dinilai Badan Akreditas Provinsi Sekolah/ Madrasah (BAP S/M) Jatim.
Dari hasil penilaian BAP S/M Jatim  pada 2015 terhadap 4.326 lembaga SD/MI, standar sarana prasarana termasuk pada penilaian terburuk di antara delapan standar nasional pendidikan. Institusi yang bertanggung jawab atas akreditasi itu pun memberi dua catatan penting bagi pemerintah untuk dijadikan acuan.  Di antara ialah terkait sarana laboratorium Ilmu Pendidikan Alam (IPA) dan ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS) yang mayoritas belum layak.
Sekretaris BAP S/M Jatim Soeparno menuturkan, dari 4.326 lembaga yang dinilai, tak lebih dari 12 persen di antaranya memiliki laboratorium IPA yang sesuai ketentuan. Sementara ruang UKS yang dianggap layak hanya mencapai 13 persen saja. “Jadi 88 persen laboratorium IPA dan 87 persen ruang UKS SD/MI itu belum sesuai standar,” tutur Soeparno saat dikonfirmasi, Selasa (3/11).
Sekolah, menurut Soeparno, tidak bisa memandang sebelah mata kedua fasilitas pendidikan ini. Sebab keduanya merupakan syarat yang harus dipenuhi sekolah jika ingin diakui  telah memenuhi standar. Namun kenyataannya, banyak sekolah yang mengabaikan pentingnya dua fasilitas ini. Padahal, UKS berperan penting dalam membangun kesadaran anak terhadap pentingnya hidup bersih dan sehat.
“Jangan menilai UKS itu hanya untuk menangani anak sakit di sekolah saja. UKS itu penting sebagai usaha untuk mengajari anak membiasakan hidup sehat dan lingkungan bersih. Bukan kalau anak sakit dibawa ke UKS,” kata dia.
Jika sejak dini anak diajarkan hidup bersih dan sehat, lanjut Soeparno, ini akan menjadi pijakan anak sampai dewasa kelak.
Atas kekurangan ini, pihak BAP S/M juga mencatat rekomendasi kepada Dinas Pendidikan (Dindik) dan Kemenag untuk mengalokasikan anggaran. “Sebenarnya terkait anggaran ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah. Tetapi juga masyarakat dan komite sekolah,” lanjut dia.
Mantan Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya ini mengaku, setiap indikator dalam penilaian akreditasi mempunyai nilai penting yang tidak bisa diabaikan. Standar nasional pendidikan merupakan cermin yang seharusnya dimiliki setiap sekolah. Baik standar isi, proses, pengelolaan, pembiayaan, kompetensi lulusan, tenaga pendidik maupun sarana prasarana. “Karena itu, hakekat akreditasi sesungguhnya merupakan evaluasi bagi sekolah. Dan fakta tentang kekurangan itu harus disampaikan agar sekolah melakukan perbaikan,” ungkap pria yang juga Koordinator Pengawas Sekolah Jatim itu.
Sementara itu, Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman mengungkapkan, penilaian tersebut merupakan bukti bahwa tanggung jawab kabupaten/kota terhadap pengelolaan pendidikan sejauh ini terlalu berat. Sehingga prioritas program kadang hanya menitikberatkan pada satu jenjang saja, yakni pendidikan menengah. Sementara kualitas pendidikan dasar justru tertinggal.
“Akreditasi ini menjadi cermin bagi pemerintah kabupaten/kota agar lebih serius memperhatikan pendidikan dasar. Sementara di sisi lain, kita (Dindik Jatim) juga akan fokus pada pendidikan menengah,” ungkap Saiful.
Perhatian ini, lanjut dia, tidak hanya pada sarana dan prasarana. Melainkan juga standar pendidikan lain yang juga harus dipenuhi. Dengan harapan, kualitas pendidikan itu akan terangkat dari penilaian akreditasi ini. “Percuma kalau daerah itu mempunyai anggaran besar untuk pendidikan, tetapi program-programnya tidak menyentuh terhadap kualitas pendidikan,” pungkas mantan Kepala SMKN 4 Malang ini. [tam]

Tags: