Kuasa Hukum Sipoa Sebut Dugaan Mafia Hukum di Sidang Klemens Cs

Sabron D Pasaribu

Surabaya, Bhirawa
Sidang dugaan penipuan dan penggelapan jual beli apartemen Royal Avatar World (Sipoa Group) menuai pro dan kontra. Di sisi lain, ketua tim kuasa hukum Sipoa Group Sabron D Pasaribu menuding adanya potensi peradilan sesat dalam kasus Sipoa yang disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Bahkan Sabron menduga juga adanya praktik mafia hukum dalam penetapan tersangka Budi Santoso dan Klemens Sukarno Candra. Dugaan ini juga dinilainya terjadi pada penetapan P21 (berkas lengkap) pada berkas LP No. LBP/373/III/2018/IM/JATIM 26 Maret 2018, dengan pelapor Dikky Setiawan dkk, terkait kasus Sipoa Group yang dilakukan Aspidum Kejati Jatim Tjahjo Aditomo sehari sebelum dirinya pensiun.
Masih kata Sabron, dugaan tersebut kuat adanya saat diketahui adanya skenario perampokan aset Sipoa Group yang diduga dari seorang pengacara yang dikenal sebagai ‘rekanan’ lembaga penegak hukum tertentu di Jatim. Bahkan, berselang dua hari sejak ditandatanganinya P21, rekanan ini diduga datang ke Kejati Jatim pada Rabu (12/10) menemui Aspidum.
“Dugaan peradilan sesat episode ke-2 terhadap Budi Santoso dan Ir Klemens Sukarno Candra mulai bergulir, menyusul penetapan P21 yang diputus tanpa sepengetahuan Kajati Jatim. Padahal berkas perkara LP No. LBP/373/III/2018/IM/JATIM 26 Maret 2018, dugaan penipuan dan penggelapan dengan menambahkan pasal TPPU ini tidak memenuhi syarat formil dan materil,” kata Sabron D Pasaribu, Senin (15/10).
Menurutnya, berkas LP No. LBP/373/III/2018/IM/JATIM 26 Maret 2018 tersebut tidak layak di P21. Sebab, uang sebanyak Rp 162 miliar belum disita penyidik dan sejumlah orang potensial suspect tidak dijadikan tersangka. Padahal, lanjut Sabron, buktinya kuat untuk ditetapkan sebagai tersangka. Karena mereka diduga menerima aliran uang keluar dari PT Bumi Samudra Jedine dan perusahaan lainnya, yang bersumber dari uang konsumen, jumlah total sebesar Rp 162,72 miliar.
Adapun pihak yang diduga menerima uang itu, papar Sabron, antara lain yakni Tee Teguh Kinarto dan Widjijono (PT Solid Gold Prima) sebesar Rp 60 miliar, Widjijono Nurhadi sebesar Rp 20,2 miliar, Nurhadi Sunyoto sebesar Rp 10,38 miliar, Harikono Soebagyo sebesar Rp 41,140 miliar dan Miftahur Royan (LDII) sebesar Rp 31,1 miliar.
Namun penyidik hanya menyita uang pembelian tanah sebesar Rp 21 miliar dari Yayasan LDII, sesuai Surat Tanda Penerimaan tanggal 7 Juni 2018. Mengacu prinsip follow the money, total uang yang seharusnya disita penyidik adalah sebesar Rp 162,72 miliar. Menurut Sabron, secara yuridis orang-orang yang menerima aliran dana konsumen ini layak ditetapkan sebagai tersangka.
“Faktanya, Budi Santoso dan Klemens Sukarno Candra yang tidak ada menerima aliran dana konsumen untuk dipakai kepentingan pribadi, malah dijadikan tersangka,” ungkapnya.
Terkait hal itu, pihaknya meminta Kapolri agar memerintahkan dilakukan pengusutan dengan menunjuk figur orang yang paling terpercaya dan tegas untuk turun memeriksa dugaan penyimpangan yang terjadi. Sabron juga mengingatkan untuk mewaspadai ‘operasi senyap’ yang diduga dilakukan dari kelompok mafia dalam kasus ini, apalagi kabarnya mereka sudah bergerak hingga Trunojoyo Jakarta.
“Kami meminta kepada Jaksa Agung HM Prasetyo mengeksaminasi keputusan P21. Saya juga memohon untuk mengingatkan Majelis Hakim PN Surabaya agar tidak menjadi ‘pencuci piring kotor’ yang memberi legitimasi praktik mafia hukum dalam proses ban berjalan sebelumnya,” pintanya. [bed]

Tags: