Kukuh Menyangga Kedaulatan Pangan

Yunus Supanto(Mangayubagya 70 Tahun Jawa Timur)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

“Orang bilang tanah kita tanah sorga / Tongkat kayu dan batu jadi tanaman …,” (itulah sebaris syair lagu dalam album lagu Nusantara, oleh kelompok musisi Koes plus).
Tetapi setelah beberapa dekade berlalu, tanah ladang yang dahulu subur, kini mulai mengeras. Lapisan gembur (subur) dahulu sampai setebal 25 sentimeter, sekarang hanya 5 sentimeter. Pupuk yang dahulu diandalkan untuk memperbanyak hasil panen, ternyata bagai racun untuk tanah. Petani harus mengeluarkan biaya olah tanah lebih besar. NTP (Nilai Tukar Petani) bagai berpacu dengan inflasi dan ongkos produksi.
Usaha ke-pertani-an menjadi in-feseable, merugikan. Maka wajar aksi  menjual tanah ladang menjadi pilihan, yang enteng dilakukan. Banyak kawasan subur ber-alih fungsi menjadi industrial estate, atau menjadi “ladang” para developer property (perumahan). Sehingga areal sawah makin susut, hasilnya juga terus merosot, seiring penggunaan pupuk dan pestisida. Dulu, hasil panen padi sebanyak 8 ton per-hektar, sudah biasa. Kini bagai mimpi.
Inilah Jawa Timur, bagian dari pulau Jawa, yang dikenal disebut Jawa Dwipa (dalam bahasa Kawi, berarti pulau padi). Wilayahnya dikenal gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerto-raharjo (subur-makmur ladangnya, dalam kondisi aman tenteram). Dalam bahasa sekarang, bisa disebut sebagai masyarakat sipil madani. Dalam bahasa Kawi disebut Jer Basuki Mawa Bea. Inilah semboyan propinsi Jawa Timur, yang sekaligus dijadikan sebagai cita-cita masyarakat.
Tetapi memang tidak mudah untuk meraih semboyan. Dibutuhkan tekad bersama untuk melindungi para pekerja sawah-ladang (petani), serta nelayan.   Sebagai tumpuan kedaulatan pangan, petani dan nelayan patut memperoleh perlindungan. Hingga kini petani dan nelayan relatif belum terjangkau kredit bank secara memadai. Berdasar kinerja perbankan nasional, KUT (Kredeit Usaha Tani) menjadi unit kredit yang paling kecil realisasinya.
Penyebab utamanya, aset agunan kredit tidak bank-able. Aset petani dan nelayan rata-rata berupa hamparan ladang, warisan secara turun temurun. Secara administrasi ke-negara-an, umumnya warisan tanah tidak dilengkapi dengan bukti sertifikat kepemilikan. Hanya tercatat dalam buku desa (disebut surat kretek desa, atau leter C). Sangat sedikit yang telah menjadi surat kepemilikan pethok D. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat pedesaan rata-rata masih lulus SD.
“Brankas Air”
Di Jawa Timur terdapat hampir satu juta hektar (persisnya 933.816 ha) sawah ber-irigasi baik. Sisanya, sekitar 1,2 juta hektar beurpa sawah tadah hujan. Hamparan sawah ini bergantung pada 800 ribu meter-kubik air yang ditampung dalam berbagai wadah air (danau, waduk, dan embung). Perbandingan ketercukupan tiap hektar memperoleh jatah 0,85 meterkubik. Tentu tidak mencukupi.
Di Jawa Barat, rasio ketersediaan air 8 kali lebih besar dibanding Jawa Timur. Hamparan sawah ber-irigasi seluas 872.361 hektar, dengan volume penampungan air (danau, waduk dan embung) berkapasitas 5,85 juta meter-kubik. Sehingga setiap hektar bisa memperoleh jatah 6,7 meterkubik air. Hal ini disebabkan, Jawa Barat memiliki curah hujan sebesar 3.500 mm, sedangkan Jawa Timur, curah hujan hanya sebesar 1.900 mm.
Tetapi sebenarnya Jawa Timur memiliki potensi ketersediaana air cukup memadai, sampai 52,2 milyar meter-kubik. Tetapi ketersediaan air hanya sebesar 19,3 milyar meter-kubik. Sedangkan kebutuhan air mencapai 22,2 milyar meter-kubik. Salahsatu problem-nya adalah, kekurangan penampungan air. Serta sistem penampungan air lebih yang lebih menjamin fungsi “brankas air.”
Problem ini (brankas air) memerlukan teknologi tepat guna (sekaligus padat karya). Bersyukur, kalangan intelektual fisikawan (senior ITS) menemukan senyawa adiktif, melalui metode nuklir berbasis sinar matahari yang rahmatan lil’alamin (ramah lingkungan). Penemuan ini akan menjadi paradigma baru yang mengubah dunia, khususnya sektor tanaman pangan. Yakni, pertanian diolah secara fisika botani. Sedangkan paradima lama, pertanian hanya diolah secara kimia dan biologi.
Sebab kenyataannya, pada musim kemarau, hamipr seluruh wadah tampungan air (waduk, danau, dan embung) juga mengering. Misalnya, yang terjadi pada waduk Notopuro, di Madiun, malah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bercocok tanam. Hal yang sama terjadi pada waduk Saradan (Madiun), Kapasita volume tampungan mestinya sampai 500 ribu meter kubik lebih. Kini tinggal separuhnya.
Pada kondisi normal waduk Saradan mampu menyalurkan 420-an liter per-detik, kini hanya 170 liter. Cakupan areal yang mesti dijangkau seluas 980 hektar sawah. Sangat jauh dari memadai, walau diatur dengan cara buka-tutup bergilir sekalipun. Wadah air yang lain, sungai, juga tetap (gampang) mengalirkan air begitu saja ke laut. Walau sudah terdapat manajemen buka-tutup sungai, tetapi bukan di muara, melainkan di hilir.
Pertanian dan UMKM
Musim kemarau kering, biasanya kurang dianggap sebagai bencana. Padahal bencana yang disebabkan oleh klimatologis (ke-iklim-an), secara tekstual masuk dalam UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 1 (ketentuan umum) butir ke-14, dinyatakan: ” Rawan bencana adalah kondisi… klimatologis,… yang mengurangi kemampuan mencegah … dampak buruk bahaya.”
Sektor pertanian (termasuk perkebunan peternakan, serta kehutanan), memang lebih banyak diusahakan sendiri oleh petani, dengan sedikit bantuan program dari pemerintah. Bahkan sebagian industri sarana produksi pertanian, pabrik pupuk dan benih, masih membebani masyarakat petani. Apa guna pupuk? Kini ahli pertanian seluruh dunia, tidak merekomendasikan pupuk (terutama)  an-organik, karena nyata-nyata mengandung logam berat yang sulit diurai tanah.
Beberapa pupuk organik (kompos) juga mengandung logam berat, serta bakteri yang merugikan. Padahal sebenarnya, petani Jawa Timur merupakan jawara pertanian (mengolah sawah) tanpa tanding. Meski kekurangan air, Jawa Timur masih menjadi produsen padi terbesar nasional. Tahun lalu, produksinya mencapai 12 juta ton lebih (disusul Jawa Barat 11,2 juta ton, dan Jawa Tengah 10,2 juta ton).
Di berbagai negara maju (dan Arab), sektor pertanian memperoleh perlindungan, baik secara hukum maupun permodalan. Dalam hal hukum (ke-regulasi-an), pemerintah di AS, Jepang, China, serta Arab, memproteksi pertanian dengan cara memungut pajak sebesar-besarnya untuk komoditas impor. Sebaliknya,  untuk ekspor diberikan permodalan berupa benih, pupuk dan pengurangan pajak tanah. Sehingga produk pertanian yang diekspor dapat bersaing secara kompetitif.
Pemerintah propinsi Jawa Timur kini telah berusia 70 tahun, dan tetap kukuh bertekad menjadi penyangga pangan nasional. Sebagai penyangga, semestinya sektor pertanian memperoleh perlakuan sederajat dengan pembayar pajak terbesar (konglomerat). Gampang memperoleh kredit, hanya dengan kepercayaan terhadap usaha (nilai strategis investasi). Selain sektor kelompok pertanian, terdapat kelompok usaha lain yang berkembang pesat. Sekaligus menjadi “pahlawan” perekonomian, yakni sektor UMKM.
Kelompok usaha UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah), terbukti sukses menjadi penyangga pada masa krisis ekonomi (tahun 1998 dan 2006). Tak kurang dari sejuta unit UMKM berkembang di Jawa Timur, mulai bermodal Rp 2 juta-an sampai Rp 2 milyar-an. Tetapi usaha mikro dan kecil, biasanya juga tidak memiliki agunan yang bank-able, nyaris tidak layak (secara perbankan untuk dikucuri kredit).
Sehingga diperlukan kearifan lokal (dan keberanian Kepala Daerah) untuk menggaransi kredit usaha wong cilik. Jika usaha mikro dan kecil diperkuat, pemerintah daerah akan memperoleh cash-back, berupa retribusi. Berbagai pajak daerah (PKB, PBB dan) juga akan meningkat seiring perbaikan ekonomi rakyat. Dan secara politik, Kepala Daerah yang peduli rakyat, akan dipilih lagi pada musim pilkada.

                                                                                                                  ——— 000 ———-

Rate this article!
Tags: