Kukuh Reformasi Birokrasi

“Main-set birokrasi harus berubah. Kalau ada lembaga yang tidak bermanfaat, dan bermasalah, pasti akan saya bubarkan.” Begitu pidato Presiden terpilih, Joko Widodo, yang akan kembali memimpin negara dan bangsa Indonesia selama lima tahun ke depan. Penataan birokrasi masih perlu dikukuhkan menghadapi percepatan global. Kemudahan perizinan investasi wajib dilanjutkan sebagai “peta jalan” meraih investasi seluas-luasnya.
Penyerapan tenaga kerja, bukan sekadar retorika tanpa konsekuensi. Terutama persyaratan yang simpel, dan akuntabilitas birokrasi. Ini tekad kedua pada awal pemerintahan Jokowi-KH Ma’ruf Amin. Sebelumnya, memperpendek birokratisasi perizinan menjadi bagian dari paket kebijakan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Diumumkan pada bulan September 2015.
Izin penanaman modal (akan) bisa selesai hanya dalam tiga jam. Bisa ditunggu bagai membuat pas-photo. Ini janji pemerintah untuk menggairahkan iklim investasi. Termasuk “sokongan” investasi pada sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Ekonomi kreatif telah tumbuh pesat seiring informasi global. Namun UMKM masih terbelenggu akses (persyaratan) kredit permodalan yang tidak bank-able. Bahkan perkembangan kredit usaha rakyat (KUR) masih jauh tertinggal dibanding kredit korporasi.
Padahal UMKM merupakan pilar perekonomian utama. Memberi kontribusi sebesar 61%, dan menyerap tenaga kerja sebesar 96,99%. Juga menyumbang ekspor non-migas sampai 15,68%. Pada tahun 2019 (sampai bulan Mei), realisasi KUR mencapai Rp 65,5 trilyun, hanya 46,8% dari total Rp 140 trilyun. Tetapi KUR hanya terasa di Jawa. Yakni, Jawa Tengah (tersalur Rp 11,938 trilyun), Jawa Timur (Rp 11,777 trilyun), dan Jawa Barat (Rp 8,155 trilyun).
Begitu pula pengertian skala usaha mikro (gurem), dan kecil perlu merevisi UU Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM. Misalnya, pada pasal 6 ayat (2), kriteria “usaha kecil,” memiliki kekayaan bersih Rp 50 juta hingga Rp 500 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha). Serta omzet setahun sebesar Rp 300 juta sampai Rp 2,5 milyar. Menurut pemahaman masyarakat, modal (minimal Rp 50 juta) itu sudah tergolong usaha menengah.
Begitu pula usaha mikro (gurem) dengan kriteria permodalan “paling banyak” sebesar Rp 50 juta, sering digunakan sebagai plafon bawah. Sehingga permodalan kurang dari Rp 50 juta, tidak dapat meng-akses kredit permodalan. Banyak usaha mikro dimulai dengan modal Rp 10 juta (sudah termasuk gerobak dorong). Bahkan banyak usaha online dimulai dengan bekal smart-phone (murahan), ditambah “kepercayaan” rekanan sesama usaha gurem.
Kepercayaan, menjadi bekal utama kebangkitan usaha gurem. BUMN, dan BUMD yang di-amanati permodalan dam pertanggungan (asuransi), seyogianya juga menjadikan “kepercayaan” sebagai kriteria utama. Kebangkitan usaha gurem (mikro) akan menjadi pengharapan keluarga dengan pendidikan rendah (sekaligus miskin). Seluruh anggota keluarga bahu membahu menjalankan usaha, dengan permodalan yang disokong pemerintah.
“Tidak ada pola kerja yang linier, rutinitas, monoton, begitu-begitu saja. Tidak ada lagi kerja di zona nyaman,” kata presiden terpilih. Disertai kata “kita harus berubah” (sampai diulang tiga kali). Dibutuhkan reformasi mental birokrasi (yang inovatif) untuk membangkitkan ekonomi keluarga. Presiden memiliki kewenangan membubarkan institusi, dan regulasi (peraturan) pemerintahan yang menghambat. Sebagai pucuk pimpinan negeri, presiden patut melanjutkan de-regulasi lebih luas.
Berbagai peraturan, terutama Perda (Peraturan Daerah) propinsi maupun kabupaten dan kota, menjadi faktor pelambatan perekonomian. Sebelumnya, pemerintah (pusat) telah membatalkan 30-an ribu peraturan tingkat daerah dan tingkat pusat. Juga beberapa Perpres (Peraturan Presiden) telah dipangkas. Diperkirakan masih sebanyak 42 ribu peraturan di daerah menghambat laju investasi. Sebagian menjadi alat pemerasan.

———- 000 ————

Rate this article!
Kukuh Reformasi Birokrasi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: