Kultur Teroris dan Manipulasi ‘Jalan Agama’

Cucuk EspeOleh :
Cucuk Espe
Cucuk Espe, Pengamat sosial-budaya, Alumnus Universitas Negeri Malang.

Teroris Santoso di Poso telah tertembak. Benarkah gerakan teroris di Tanah Air mengendur? Tak ada yang bisa menjamin. Terbukti serangkaian aksi teror masih terjadi, seperti di Solo dan sejumlah wilayah lainnya. Meski belum terbukti memiliki dengan kelompok Santoso, hal tersebut indikasi ‘teroris tak pernah mati’.
Klaim tertangkapnya gembong teroris paling diburu setelah DR Azahari, Noordin M Top, adalah Santoso. Dan fenomena penangkapan Santoso melalui Operasi Tinombala membuahkan serangkaian spekulasi ironis. Apakah penangkapan tersebut prestasi atau sudah seharusnya terjadi, mengingat bertahun-tahun aparat kita memburu Santoso. Publik pun merasa wajar dan tidak ada yang istimewa dengan aksi penangkapan tersebut.
Sehari setelah penangkapan Santoso, beredar kabar jika dia telah ada pengganti, yakni lelaki yang disebut bernama M. Basir. Yang menjadi pertanyaan saya adalah metode ‘pendidikan’ mereka sehingga mampu menghasilkan regenerasi dengan cepat. Telah banyak dilakukan diskusi terkait ‘model pembiakan’ sel teroris di Indonesia. Bahkan serangkaian setrategi memutus rangkaian sel telah dilakukan. Namun buktinya, kelompok-kelompok teroris -atas nama apapun-masih terus berkembang.
Persuatif-Argumentatif
Belum genap sebulan Santoso tertembak, Poso kembali diguncang teror. Meski dalam skala kecil, namun membuktikan eksistensi teroris masih ada. Saya menganalogikan dengan pola pembinaan organisasi sosial, meski tidak sepenuhnya sesuai. Bahwa pola pengkaderan jaringan teroris berjalan sesuai dengan kultur lokal. Artinya, kalangan teroris memiliki kultur tersendiri yang mereka bentuk selama bertahun-tahun. Kultur ini erat terkait dengan transformasi dogma yang mereka jalankan.
Apalagi ketika aksi teror dibalut dengan agama yang kehadirannya memang dogmatis. Kultur beragama adalah kultur dogmatis sehingga kecil kemungkinan terjadi dialektika kritis. Kalangan teroris memanfaatkan ‘jalan agama’ untuk melancarkan dogmanya. Misalnya menebar kebencian kepada kelompok lain, tentang kematian yang dianggap jihad, juga pentingnya mendirikan negara Islam, dan lain sebagainya. Semua disampaikan dengan sangat dogmatik.
Santoso dan pengikutnya dipastikan tak luput dari metode dogmatik ini. Sehingga kultur pengikutnya seolah tidak bisa lagi bernalar secara dialektis terkait hal yang akan dikerjakan. Bahwa membunuh dengan meledakkan bom merupakan cara terbaik untuk menunjukkan ketidakberterimaan terhadap Indonesia yang dinilai semakin sekuler. Semakin kuat sebuah dogma maka sebuah kelompok tidak membutuhkan lagi mekanisme organisasi yang hierarkis dan teknis. Yang mereka butuhkan hanyalah figur, terlepas masih hidup atau mati. Bahwa figur mampu menjadi pemantik api gerakan (baca; jihad).
Terbukti, banyak tokoh teroris yang tewas justru menjadi pelecut gerakan komunitas lainnya. Oleh karena itu, saya menengarahi meminimalisir pergerakan teroris dengan pendekatan militer saja sangat tidak cukup. Justru akan membuahkan api dendam lain yang dapat berdampak buruk. Simak saja, kebencian teroris terhadap aparat adalah bias pendekatan militer yang terus dilakukan. Harusnya diimbangi dengan pendekatan persuasif-argumentatif. Mengingat teroris -meski menggunakan jalan agama-motifnya adalah ketidakpuasan terhadap kondisi riil bangsa.
Ada beberapa hal yang perlu dipahamkan kepada mereka terkait pendekatan persuatif argumentatif ini. Pertama, memahamkan kepada mereka bahwa sejatinya mereka adalah bangsa Indonesia yang beragama Islam, bukan sebaliknya. Implikasinya, Islam di Indonesia harus memiliki dialektika yang harmonis dengan kultur lokal (Indonesia). Kita tidak bisa mengimajinasikan Islam di Indonesia persis seperti di negeri asalnya. Kenyataan ini sangat mempengaruhi laku jihad yang mereka lakukan.
Kedua, kultur kelompok teroris -menurut beberapa catatan-adalah eksklusif dan tertutup. Selain itu, pola komunikasi yang searah dan dogmatis membuat jaringan sulit dikendalikan. Karena hanya bebekal dogma yang kuat, seseorang mampu membentuk ‘cluster’ baru di daerah lain yang terputus dengan kluster asal. Inilah model jaringan terputus. Seringkali aparat kita kecolongan dengan pola seperti ini. Memahami kultur teroris merupakan hal penting melalui kekuatan diskusi. Sayangnya, kita masih suka mengandalkan senjata.
Ketiga, tidak memosisikan mereka dan keluarganya sebagai manusia sesat yang harus dibasmi negara. Penumbuhan wacana bahwa teroris adalah sekelompok orang yang mencoba untuk eksis di negeri plural, seperti Indonesia, adalah penting. Hanya saja metode eksistensi mereka yang keliru. Pemerintah tidak selamanya harus menggunakan kekuatan detasemen khusus dan intelejen yang semakin memojokkan mereka. Secara psikologis siapapun yang merasa terpojok justru menguatkan rasa benci. Ujungnya, membuahkan rasa dendam seperti yang terjadi saat ini.
Menciptakan ruang dialog dengan saudara-saudara kita dicap teroris adalah hal penting. Langkah ini bukan berarti melemahkan hukum positif. Aksi teror berbalut agama bukankah kejahatan biasa sehingga cara penyesaikannya harus berbeda daripada gembong narkoba, pembunuh, atau koruptor. Menurut saya, aksi teror merupakan perkara pemahaman ‘menjadi Indonesia’. Penampakan eksistensi yang keliru melalui aksi teror dan manipulasi jalan agama. Menangani teroris dengan pendekatan kultural adalah keharusan.
Beranikah kita?

                                                                                                                           ———- *** ———–

Tags: