Kunci Pendidikan Anak di Genggaman Orangtua

Wahyu Kuncoro SNOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Anggota Dewan Pendidikan Kota Surabaya

Sistem pendidikan di Indonesia masih berkutat pada soal visi pendidikan nasional yang terus berganti mengikuti perubahan rezim pemerintahan. Pemangku pendidikan berikut stakeholders acap menghabiskan energinya untuk memperdebatkan kurikulum pendidikan yang akan digunakannya. Alih-alih memikirkan kualitas, untuk menemukan visi dan arah pendidikan yang ingin dituju saja kita masih berdebat panjang. Tak mengherankan, kualitas pendidikan Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan negara lain.
Sebagai catatan, hasil pengukuran kualitas siswa di sejumlah negara yang diselenggarakan the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) tahun 2012 lalu menunjukkan rata-rata kemampuan anak Indonesia usia 15 tahun di bidang matematika, sains, dan membaca paling rendah di antara negara-negara lain. Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam program yang diselenggarakan lembaga itu. Penguasaan atas ketiga bidang dalam penilaian tersebut dianggap mampu menunjukkan tingkat kemampuan seorang anak dalam mengimplementasikan masalah-masalah di kehidupan nyata, mulai identifikasi persoalan hingga aplikasi solusi sesuai konteks.
Lebih ironis lagi, persoalan pendidikan di Indonesia bukan hanya pada lemahnya penguasaan salah satu aspek kecakapan untuk bertahan hidup tersebut sebagaimana hasil pengukuran di atas, namun moralitas generasi penerus bangsa juga terancam oleh budaya korup dan ketidakjujuran. Kecurangan dalam proses ujian nasional beberapa tahun terakhir menjadi contoh paling nyata. Paling dasar sekali pada masalah pendidikan adalah kejujuran dan kemudian kreativitas yang mengembangkan kemampuan nalar peserta didik. Hanya dengan kejujuran dan pengembangan nalar itulah kita akan mampu membentuk manusia yang unggul, mandiri dan mampu bersaing dengan pihak mana pun dalam kehidupan ini.
Memperkuat Peran Keluarga
Kita sering berbicara soal ketertinggalan dengan negara lain di segala bidang. Satu muara jawaban dari persoalan itu adalah kualitas penyelenggaraan pendidikan kita. Penyelenggara pendidikan secara formal di Indonesia memang terletak pada sekolah atau lembaga pendidikan tinggi. Termasuk juga kursus-kursus yang ada. Tetapi kita tetap mengakui bahwa penyelenggara pendidikan itu sesungguhnya juga lingkungan dan keluarga (baca : orangtua).
Keterlibatan orangtua berkorelasi erat dengan keberhasilan pendidikan anak. Sejumlah penelitian menunjukkan, keterlibatan orangtua yang lebih besar dalam proses belajar berdampak positif pada keberhasilan anak di sekolah. Keterlibatan orangtua juga mendukung prestasi akademik anak pada pendidikan yang lebih tinggi serta berpengaruh juga pada perkembangan emosi dan sosial anak. Orangtua bukan cukup hanya mengantar saat mendaftar dan datang saat perpisahan kelulusan. Atau sekedar menyiapkan kebutuhan biaya untuk sekolah anak semata. Orangtua harus terlibat bahkan menjadi pelaku utama dalam proses pendidikan anak. Orangtua acap merasa selesai dengan membayar uang sekolah, atau datang ketika dipanggil ke sekolah karena anaknya bermasalah atau dimintai sumbangan.
Berpijak pada keinginan untuk memperkuat peran keluarga dalam pendidikan anak lantas kemudian lahirlah  Peraturan Mendikbud Nomor 23 Tahun 2015 mengenai orangtua wajib mengantar dan mengikuti proses penerimaan murid baru, khusus yang masuk taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Kewajiban ini selain bagian dari proses pendidikan budi pekerti, juga mengingatkan kewajiban utama orangtua.
Kita tangkap sisi positif kewajiban itu sebagai peraturan yang didasarkan pada idealisasi sebuah praksis pendidikan. Pernyataan bahwa orangtua menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan kepada sekolah adalah simplifikasi kebijakan selama ini yang memisahkan secara kaku pembagian tugas orangtua di rumah dan guru di sekolah. Sekolah dan orangtua acap  saling menyalahkan ketika terjadi persoalan, apalagi menyangkut pihak luar, seperti tawuran pelajar, narkoba, pergaulan bebas dan sebagainya. Tekad melibatkan orangtua siswa dalam upaya penyelenggaraan pendidikan, haruslah disambut baik dan didukung serta diharapkan bisa diimplementasikan melalui agenda aksi strategis sebagai bagian dari gerakan sosial untuk peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini.
Sebagai wujud tanggungjawab bersama terhadap pendidikan dan sebagai orang yang paling dekat dan banyak waktu bersama anak, tidak ada alasan bagi orang tua untuk tidak terlibat langsung dalam pendidikan anak, karena gerakan itu bisa bersinergi dengan anjuran guru agar anak didik belajar di rumah. Orangtua siswa harus menjalin komunikasi yang baik dengan pihak sekolah dan sebaliknya guru berdiskusi dengan orang tua, apabila terjadi masalah dengan anak.
Bahwa lingkungan keluarga merupakan lingkungan paling utama karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga. Sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama karena dalam keluargalah anak-anak pertama kali memperoleh didikan dan bimbingan. Pendidikan untuk anak juga harus memenuhi setiap hak anak.
Membangun Keluarga Berkualitas
Merujuk UU 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak, disebutkan dalam Pasal 9 bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Dan hak anak meliputi hak perlindungan dari kekerasan, hak sipil, hak hidup dan sehat, hak tumbuh kembang, hak berpartisipasi atau didengar pendapatnya.
Berdasarkan UU tersebut maka keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki peran dan fungsi dalam perkembangan kepribadian dan tempat mendidik anak di rumah, serta fungsi keluarga atau orangtua dalam mendukung pendidikan di sekolah. Pendidikan dalam keluarga memiliki peran yang strategis dan amat menentukan pencapaian mutu sumber daya manusia. Tahapan tumbuh kembang anak mulai dari perkembangan fisik (dapat dilihat secara fisik), perkembangan kognitif (meliputi perubahan-perubahan kualitatif), perkembangan emosi, perkembangan sosial serta perkembangan spritual dan moral.
Masa tumbuh kembang paling baik anak adalah pada usia emas yaitu 1 hingga 5 tahun. Pertumbuhan pada masa ini sangat pesat hingga 80% dan menyerap lebih cepat dua kali lipat dari orang dewasa. Dalam usia tersebut tentu peran orangtua menjadi sangat menentukan. Keluarga (baca : orangtua) selaku salah satu institusi pendidikan bagi anak, harus mendukung anak secara emosional dan membimbing anak menerima informasi. Misalnya membantu anak lebih memahami dunianya, situasi-situasi dan pengalaman hidupnya, bantuan menyelesaikan tugas atau masalah dan menemani melakukan kegiatan yang menyenangkan. Bukan berapa banyak waktu yang diberikan untuk keluarga tetapi kualitas waktu bersama keluargalah yang utama.
Bahwa untuk menjadi orangtua yang bisa berperan seperti itu tentu juga bukan hal mudah. Lantaran itu, kegiatan-kegiatan yang mengarah pada peningkatan parenting skill harus terus didorong. Melalui kegiatan semacam ini diharapkan orang tua semakin bertambah wawasannya dalam mendidik anak agar kreatif dan mandiri. Tak hanya itu, orang tua juga diharapkan dapat lebih memahami hak-hak serta perlindungan terhadap anak.
Semua negara yang mencapai kemakmuran memperlihatkan tingginya tingkat kesejahteraan keluarga. Sebaliknya di negara terbelakang, kehidupan keluarga bukan saja jauh dari sejahtera, melainkan memprihatinkan. Kita bisa melihat kemajuan Eropa, Amerika, dan Jepang. Di negara-negara ini, kualitas keluarga sangat tinggi.
Pada usia sekolah anak-anak harus ke sekolah, bukan menghabiskan waktu di tempat kerja atau di rumah. Tidak sedikit anak-anak Indonesia yang bertumbuh dengan gizi seadanya, tak mendapatkan perawatan kesehatan pada waktunya, tidak mendapatkan pendidikan formal, dan tidak memperoleh suasana damai untuk bertumbuh menjadi manusia dewasa yang bermutu. Singkatnya, berharap agar orangtua atau keluarga bisa berperan secara baik bagi pendidikan anaknya hanya akan bisa terwujud bila keluarganya juga berkualitas. Dan inilah peran kita bersama untuk mewujudkannya.
Sudah saatnya dibangun kesadaran bersama untuk memastikan agar para orang tua diberi tanggung jawab nyata untuk memperhatikan pendidikan anak-anak mereka di lingkungan keluarga. Agenda ini, sekali lagi, harus menjadi gerakan sosial dengan sistem supervisi yang teragenda secara sistematis. Harapannya, cita- cita pendidikan dan generasi  berkualitas bangsa ini bisa terwujud.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

                                                                                                               ——— *** ———-

Tags: