Kurangi Ketergantungan Obat Kimia, DPRD Jatim Bahas Raperda Perlindungan Obat Tradisional

Anggota Komisi E DPRD Jatim, Budiono

DPRD Jatim, Bhirawa
DPRD Jatim menggelar rapat internal penyampaian usul prakarsa Raperda Perlindungan Obat Tradisional di ruang sidang paripurna, Senin (2/3). Rapat tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak dan Anik Maslachah.
Disampaikan Anik, usulan prakarsa,Raperda Perlindungan Obat Tradisional ini merupakan usulan dari Komisi E yang telah meliputi beberapa tahapan. “Ini merupakan usul prakarsa dari Komisi E,” katanya.
Sementara, Anggota Komisi E selaku inisiator, Budiono menyampaikan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia. Hal ini sejalan dengan meningkatkan peradilan masyarakat terhadap obat tradisional.
“Pemerintah memberikan perhatian sangat besar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan obat kimia,” katanya.
Berdasarkan data, kata Budiono, Jawa Timur memiliki produksi tanaman biofarmaka terbanyak. Dengan jumlah industri 18 dan usaha kecil sebanyak 242 yang menproduksi obat herbal.
Tanaman biofarmaka adalah tanaman yang bermanfaat, termasuk untuk obat-obatan, aatau digunakan dari bagian-bagian tanaman seperti daun, batang, buah, umbi ( rimpang ) ataupun akar.
“Khasiat atau manfaat dan mutu produk obat tradisional yang dihasilkan ini memberikan manfaat. Meningkatkan pemanfaatan obat tradisional untuk promosi pencegahan pengobatan perawatan dan pemeliharaan kesehatan di daerah,” ujarnya.
Politisi Partai Gerindra ini juga menyebutkan, manfaat lainnya adalah mengurangi ketergantungan pada penggunaan obat kimia. Disamping itu juga, lanjut dia, menjaga dan melestarikan warisan budaya dalam rangka pemanfaatan obat tradisional pada pelayanan kesehatan tradisional di provinsi Jawa Timur.
“Maka melalui rancangan Perda ini ditentukan bahwa pemerintah provinsi Jawa Timur dapat membentuk rumah sakit herbal. Pembentukan rumah sakit ini harus dilakukan berdasarkan hasil kajian dan mendapatkan rekomendasi asosiasi serta organisasi profesi terkait sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 tahun 2014 tentang klasifikasi,” terangnya.
Sementara, anggota Komisi E lainnya yakni Benjamin Kristianto. Pria yang juga profesi dokter ini menegaskan bahwa banyaknya masyarakat yang sudah mengelola obat-obat tradisonal.
“Kami ingin baik produsen maupun konsumen harus kita lindungi. Nah, dasar inilah keluarnya perda. Mulai kualitas dan mutu harus terjamin,” katanya.
Apalagi, kata Benjamin, pihaknya masih menemukan banyak obat-obat herbal yang ada campuran kimia yang dikemas seperti sachet ataupun puyer. “Itu kan sama saja bohong,” tambahnya.
“Dengan adanya perda nanti, apakah mereka sudah memenuhi izin-izinnya atau tidak. Jangan sampai, saya sebagai dokter di jalan ada obat herbal bisa mengobati berbagai penyakit. Menurut kami itu bukan obat, kalau vitamin atau suplemen, iya,” jelasnya. [geh]

Tags: