Kurangnya Minat Belajar Kitab Kuning

Oleh :
Miftahur Rohmah
Mahasiswa UIN Walisongo, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Santri Darul Falah Besongo.

Sejak Indonesia dijajah, sampai berhasil mengibarkan bendera merah putih dengan gagah, di tambah menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa dan pancasila sebagai pedoman negara, pada waktu itu pun pondok pesantren sudah menunjukkan eksistensinya. Bahkan, yang menjadi peran utama dalam Indonesia adalah para kyai dan santri. Tirakat dan berpegang teguh pada syari’at yang dilakukan kyai dan santri waktu itu menghasilkan kemenangan yang memuaskan ketika melawan penjajah asing. Sebuah bambu runcing yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa bisa mengalahkan bom api yang begitu fenomenalnya. Sungguh, keajaiban bagi Indonesia.
Dari kemasyhurannya para kyai sehingga banyak minat masyarakat untuk menjadi seorang santri. Akhirnya, pondok pesantren waktu itu menjadi sebuah trend bagi masyarakat Indonesia khususnya di Jawa. Adapun ciri khas yang dimiliki pondok pesantren tersebut adalah sorogan kitab kuning yang didalamnya tidak ada harakat huruf arabnya atau sering disebut “kitab gundul” didalam kitab kuning tersebut mempunyai banyak kiasan, sehingga seseorang tidak mudah untuk menguasai, butuh ketelatenan dan kesabaran.
Kitab kuning merupakan kitab klasik yang di dalamnya mempunyai sejuta rahasia dan makna. Seseorang yang sudah mahir dalam menguasai kitab kuning tersebut, maka tidak hanya menguasai dalam makna aslinya, tetapi menguasai juga dalam ilmu nahwu, dan balaghohnya. Pedoman ilmu nahwu biasanya menggunakan kitab Alfiyah, kitab yang terkenal dengan seribu bait, karya Ibnu Malik, yang dari dulu sampai sekarang terkenal kemasyhurannya. Bahkan, bait alfiyah bisa di gunakan untuk syair dalam percintaan, maupun wejangan santri. Hal ini merupakan suatu keunggulan yang luar biasa yang di miliki kitab-kitab klasik. Bukan hanya itu, kitab kuning sekarang pun masih digunakan untuk Bahsul Masail musyawarah untuk membahas masalah-masalah kontemporer yang berkaitan dengan hukum syari’at. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa karya ulama’-ulama’ terdahulu memang benar-benar diterima masyarakat, sehingga tidak ada yang meragukan keauntetikan karyanya.
Seiring berjalannya waktu, kini minat belajar kitab kuning mulai punah, itu di sebabkan karena perkembangan zaman yang semakin canggih teknologinya, globalisasi meluas mendunia, maupun akibat westernisasi dan modernisasi. Sekarang juga banyak kitab-kitab kuning yang di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Akibatnya santri sekarang menganggap mudah dalam menguasai kitab-kitab kuning yang memang asli kemurniannya. Walaupun kreatifitas pemuda bangsa yang luar biasa, tetapi pemuda sekarang telah mulai meninggalkan budaya-budaya para kyainya. Hal ini seharusnya disadari oleh umat Islam khususnya umat Islam dalam dunia pesantren.
Apalagi di tengah hiruk pikuknya dunia kini kehidupan terbilang sebagai kehidupan yang serba praktis dan cara berpikir yang semakin kritis, melahirkan ide yang kreatif maupun inovatif untuk menjadikan sebuah pondok pesantren menjadi modern, akhirnya lebih mengutamakan untuk bisa berbicara menggunakan bahasa asing, dan itu sekarang malah menjadi ciri khas bagi pondok pesantren modern. Kini perkembangan untuk belajar kitab kuning pun mulai pudar, walaupun sekarang masih ada pondok pesantren yang mengutamakan ciri khasnya menggunakan kitab kuning, akan tetapi, minat mayoritas pemuda Islam sekarang sedikit dalam menelateni kitab kuning tersebut. Masalah ini seharusnya menjadi masalah yang serius, jangan di anggap enteng. Karena sorogan kitab kuning merupakan ciri khas budaya dalam pesantren yang sangat menonjol dari dulu sampai sekarang. Bisa jadi, bila mana  pemuda santri sekarang mulai melupakan ciri khas budaya tersebut berarti pemuda sekarang telah mulai melupakan karya-karya ulama’ terdahulu.
Bila kita kembali pada masa lalu, alangkah indahnya menjadi seorang santri tulen artinya santri asli yang tinggal di pesantren dan tidak sambil bersekolah umum. Pembelajaran yang di berikan fokus kepada kitab-kitab klasik yang katanya mempunyai rahasia yang tidak sembarang di mengerti orang lain, apalagi ketawadhuan kepada sang kyai yang selalu mengatakan “nggeh, sendiko dawuh yi” membuat keyakinan seorang santri bahwasanya keberkahan itu selalu ada, dengan keyakinan tersebut santri lebih mengutamakan khurmat pada kyai maupun lebih mengutamakan ngalap berkah (mencari keberkahan pada kyai ). Karena dalam dunia pesantren bila santri tersebut pintar, pandai tetapi tidak punya ketawadhuan kepada sang kyai, maupun tidak pernah ngalap berkah , akhirnya, sang kyai pun tidak meridhoi, maka ketika sudah terjun ke dalam masyarakat ilmunya tidak bermanfaat. Begitupun sebaliknya bila mana santri tersebut bodoh, tetapi mempunyai ketawadhuan kepada sang kyai dan selalu ngalap berkah, sang kyai pun meridhoi, akhirnya menjadi ilmu yang bermanfaat. Mungkin ketika orang awam maupun orang non muslim mendengar kejadian tersebut, bisa saja mereka tidak percaya akan hal yang demikian. Itulah keajaiban dalam dunia pesantren.
Semakin gemerlapnya dunia kini seolah-olah pemuda santri lebih menelateni dalam dunia bisnis, ketelatenannya dalam belajar sorogan kitab kuning tinggal 10 persen, maupun ketawadhuan kepada sang kyai dilakukan dengan biasa tanpa ada niat ketulusan dan keikhlasan di hati. Seharusnya pemuda santri sekarang sadar akan hal masalah besar tersebut, dan harus mulai bangkit kembali seperti kebangkitan melawan penjajah di Indonesia yang telah menyiksa, menganiaya, bahwa membunuh orang yang tidak berdosa.

                                                     ————- *** —————-

Rate this article!
Tags: