Kurban, Bina Kesetiaan Keluarga

karikatur kurbanSaling percaya terhadap pasangan (suami-istri dan anak) merupakan ajaran hikmah berkurban. Sebagai rasa syukur sekeluarga, Nabi Ibrahim a.s., memotong herwan kurban persis setelah melaksanakan ibadah haji. Antara haji dengan berkurban hewan ternak telah menjadi satu bagian tak terpisahkan. Sehingga hikmah haji (kesalehan), inharent dengan makna Idul Adha atau hari raya penyembelihan hewan kurban (kedermawanan sosial).
Seluruh pelaksanaan ibadah haji (dan berkurban) merupakan napak tilas semangat kepasrahan Nabi Ibrahim a.s., beserta keluarganya kepada Ilahi Robbi. Pelaksanaan Sa’i (berlari-lari kecil dari bukit Shofa ke bukit Marwa dalam haji) merupakan napak tilas kegelisahan Siti Hajar (ibunda Nabi Ibrahim a.s.) dalam mencari air untuk anaknya (Nabi Ismail a.s.). Istri yang setia itu percaya, bahwa suaminya menjalankan perintah Allah. Dan pasti tidak akan membuatnya mati kehausan.
Setelah tujuh kali trip (berakhir di bukit Marwa) nampak rembesa air di bawah kaki Ismail (yang masih bayi). Setelah dikeruk dengan jari-jarinya, rembesan air makin nampak besar. Ternyata di bawahnya terdapat sumber air, yang kelak disebut zam-zam. Siti Hajar menjadi pemilik sumber air di tengah padang pasir yang sangat tandus. Tetapi di wilayah itu (antara Shofa dengan Marwa) terdapat petilasan rumah ibadah peninggalan Nabi Adam a.s., disebut Ka’bah.
Ka’bah sudah dikenal luas, terletak di dataran rendah yang disebut Bakkah (wilayah sempit). Kelak, Bakkah disebut sebagai Makkah. Bukti keterkenalan Ka’bah dan Makkah, adalah penyebutan oleh seorang geografer Yunani abad ke-2. Yakni, Ptolemy, menyebut dengan istilah Makoraba, menirukan kata maqrobah (tempat mendekatkan diri kepada Tuhan alam semesta). Tempat itu juga dikunjungi oleh Nabi Daud a.s., Nabi Sulaiman a.s., Nabi Musa a.s., serta Nabi Isa a.s. (Yesus).
Siti Hajar sebagai pemilik sumber air menjadi terkenal. Itu bisa dimaklumi, karena air menjadi perbekalan utama. Sekaligus sebagai stasiun pengisian “BBM” untuk memberi minum onta dan kuda sebagai moda transportasi satu-satunya. Mendengar ketenaran istrinya, Nabi Ibrahim a.s. kembali pulang ke Makkah, dan membangun (meninggikan) Ka’bah.
Tapi kepulangan (kembali) Nabi Ibrahim a.s., bukan hal mudah untuk istri dan anaknya. Kebersatuan keluarga itu harus dengan syarat “kesetiaan” Nabi Ismail a.s. (yang baru aqil baliq) terhadap perintah Tuhan melalui ayahnya. Perintah itu, Nabi Ismail harus disembelih sebagai kurban kesetiaan. Ternyata, Nabi Ismail setia terhadap perintah Allah. Pada saat proses penyembelihan, Allah menggantikan jasad Nabi Ismail a.s. dengan seekor domba.
Sejak itu keluarga Nabi Ibrahim a.s., menjadi sangat dermawan, terutama dalam berkurban hewan ternak. Setiap tanggal 10 bulan Dzulhijjah, setelah melaksanakan haji ia menyembelih hewan ternak. Dagingnya dibagikan ke seluruh penduduk Mekkah dan para kafilah langganannya. Pada puncak kekayaannya, Nabi Ibrahim a.s. menyembelih 1000 onta dan lembu plus 3000 domba (saat ini senilai Rp 14,5 milyar) sekaligus.
Hikmah haji dan kurban, adalah kesetiaan dan saling percaya kepada keluarga. Istri dan anak percaya kepada kepala keluarga. Nabi Ibrahim a.s. percaya kepada istrinya, yakin akan setia dan sukses mendidik anaknya, meski seorang diri. Saling setia dan percaya akan mewujudkan sakinah (ketenteraman). Tetapi sakinah tidak terwujud serta merta. Melainkan melalui proses kesetiaan dan kepercayaan yang teruji.
Nabi Ibrahim a.s telah membuktikan bahwa setiap pengurbanan akan terbalas setimpal. Bahkan seluruh doanya terkabul. Antara-lain, anak, cucu, buyut dan cicit-nya menjadi tokoh-tokoh paling disegani di dunia (sebagai Nabi dan Rasul Allah), sepanjang masa. Dalam berkurban, bukan daging (dan darah) hewan yang ditakar sebagai kemuliaan di sisi Tuhan. Melainkan kesetiaan dan kepercayaan terhadap perintah Allah.

                                                                                  ——————– 000 ———————

Rate this article!
Tags: