Kurban

Oleh:
Muharsyam Dwi Anantama

Sebilah golok teracung tepat di leherku. Kaki-kakiku terasa begitu nyeri terkekang tali. Juga perut dan punggungku, mungkin ada bekas memar di sana. Aku tidak bisa melihatnya, karena kepalaku dipegangi erat entah oleh siapa. Intinya, saat ini aku tidak berdaya. Hanya bisa sedikit menggeliat dengan rasa sakit, ditubuh dan juga hatiku. Aku masih tidak rela dengan ajal yang mungkin dalam hitungan detik akan menjemputku ini. Tanpa sadar, air mata meluncur dari mataku. Aku tak tahu, apakah ketidakrelaan ini juga terjadi pada kawan-kawanku yang menemui ajal lebih dulu daripada aku.

— *** —

Di halaman peternakan. Mobil mewah di halaman peternakan. Mobil mewah dengan plat merah di halaman peternakan. Mobil-mobil polisi yang mengawal mobil mewah dengan plat merah di halaman peternakan.
“Selamat datang, Bapak,” Kamto kaget karena kedatangan Pak Joko beserta rombongan yang begitu mendadak.
Tapi sebenarnya ia sudah bersiap dengan kedatangan pejabat di waktu-waktu seperti ini. Kesiapan Kamto dibuktikan dengan sapi-sapi ternaknya yang selalu sehat dan bersih. Itu sebabnya, banyak pejabat yang menjadi pelanggannya, termasuk Pak Joko.
Sudah hampir 5 tahun belakangan, setiap Idul Adha menjelang Pak Joko selalu memborong sapi-sapi miliknya.

— *** —

Bagiku, tempat ini adalah rumah. Seumur hidupku yang saat ini menginjak 3 tahun aku habiskan di tempat ini. Jika ditanya apakah aku bahagia, jelas aku akan menjawab ya dengan tegas. Aku diberi tempat berteduh dari terik dan hujan. Tempat yang bagiku cukup layak. Selain itu, aku merasa diperlakukan bagai raja. Diberi makan dengan lebih dari cukup. Setiap hari tubuhku dibersihkan dan dimandikan, begitu juga tempat yang aku anggap rumah ini.
Selayaknya manusia, aku beristri dan beranak pinak. Mereka juga berteduh dan tumbuh di tempat ini, tempat yang kami anggap rumah. Tempat yang membahagiakan bagiku, keluargaku, dan aku yakin juga teman-temanku yang tinggal di sini.
Di tempat ini, sebetulnya kami hanya menunggu waktu untuk pergi. Pada waktunya, kami akan berpisah dengan keluarga dan teman-teman. Kami tidak tahu akan dibawa ke mana nantinya. Keikhlasan untuk berpisah selalu kami pupuk.
Belajar pada waktu, ada saat-saat banyak teman-teman kami yang dibawa pergi. Waktu-waktu itu yang biasa orang sebut dengan bulan Zulhijah. Kami tidak tau kapan tepatnya waktu itu. Biasanya, sebelum bulan itu datang kami diperlakukan dengan lebih istimewa. Diberi makan yang lebih enak dari biasanya.

—- *** —-

“Bagaimana kabarnya, Mas?” Senyum yang begitu ramah meluncur dari bibir Pak Joko.
“Alamdulillah sangat sehat, Bapak. Senang bisa berjumpa lagi. Kaget saya, Pak. Mendadak begini. Saya ndak ada persiapan jadinya, Pak. Mana masih pakai pakaian lusuh seperti ini. Abis merawat sapi saya, Pak. Saya ganti baju dulu sebentar, Bapak.
“Ah, tak perlu. Saya malah jadi percaya kalo Pak Kamto peternak hebat jika pakai baju seperti itu.”
“Bapak bisa saja. Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Seperti biasa, Mas. Saya cari sapi untuk kurban lagi. Saya puas dengan yang tahun kemarin. Super. Gak malu-maluin saya kan.”
“Betul, Bapak. Jaminan kalo di sini.”
“Yang paling super yang mana, Mas?”
“Di kandang sebelah sana, Pak. Ada sapi yang sangat istimewa.”
“Bisa saya lihat?”
Pak Joko dengan hati-hati mengikuti langkah Kamto. Orang-orang berbadan kekar dengan seragam berwarna hitam mengiringi Pak Joko. Kamto menunjuk-nunjuk dan memamerkan beberapa sapi-sapi berukuran besar dikandang-kandangnya. Kamto memang sudah kondang sebagai peternak sapi yang berhasil. Bisa dibilang, sapi-sapinya tak pernah mengecewakan.
“Itu yang paling besar di sini, pak. Saya rasa di peternakan lain tidak ada yang sebesar ini.” Kamto menunjuk sapi berjenis limosin berukuran jumbo di depannya. “Kurang lebih 1 ton ini Pak.”
“Super sekali, Mas. Tapi jaminan kan, tidak ada yang lebih besar dari punya sampeyan ini?” Pak Joko mengelus kepala sapi jumbo yang ada di depannya.
“Saya rasa tidak ada Pak, saya berani jamin. Bapak tidak ada kecewa. Tapi mohon maaf saya lancing bertanya pak, memang kenapa kalo ada yang lebih besar?” Kamto meyakinkan Pak Joko sembari bertanya.
“Lho gimana tho, saya malu lah kalo ternyata ada yang lebih besar dari kurban saya,” Pak Joko terkekeh. Kamto ikut tertawa. Sebetulnya ia sudah tahu bagaimana Pak Joko akan menjawab pertanyaannya.
“Masalah harga tidak usah dikhawatirkan, saya tidak akan menawar. Berapapun saya bayar. Hitung-hitung membantu perekonomian rakyat, kan.”
“Wah, terima kasih banyak Pak. Saya sangat bersyukur jika demikian Pak. Yang besar ini saya bungkus buat Bapak. Mari saya antar untuk liat sapi yang lain Pak.”

—– *** —–

Sebilah golok teracung tepat di leherku. Kaki-kakiku terasa begitu nyeri terkekang tali. Juga pada perut dan punggungku, mungkin ada bekas memar di sana. Aku tidak bisa melihatnya, karena kepalaku dipegang dengan orang entah oleh siapa. Intinya, saat ini aku tidak berdaya. Hanya bisa sedikit menggeliat dengan rasa sakit, ditubuh dan juga hatiku. Aku masih tidak rela dengan ajal yang mungkin dalam hitungan detik akan menjemputku ini. Tanpa sadar, air mata meluncur dari mataku. Aku tak tahu, apakah ketidakrelaan ini juga terjadi pada kawan-kawanku yang menemui ajal lebih dulu daripada aku.
Suara-suara bersahutan dan berdengung di kepalaku. Orang-orang masih berkerumun disekitarku. Kilatan cahaya dari suatu alat menyambar berulang kali tepat ke wajahku. Perasaan tidak rela untuk mati masih bergemuruh di hatiku. Namun aku tidak berdaya untuk melawan. Dingin dari golok itu menyentuh leherku dengan disertai rasa perih. ***

Tentang Penulis:
Muharsyam Dwi Anantama
Kelahiran Banyumas, Jawa Tengah. Saat ini menjadi pengajar pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung. Tulisannya terpublikasi pada beberapa media massa. Buku kumpulan esai Membaca Sastra dan Peristiwa (2021) adalah buku pertama yang ditulisnya.

———- *** ————

Rate this article!
Kurban,5 / 5 ( 1votes )
Tags: