Kurikulum Ajaran Radikalisme ?

radikalisme (3)KEMENTERIAN pendidikan Dasar dan Menengah, mengaku kesusupan ajaran radikalisme. Buku paket yang sudah beredar di seluruh Indonesia itu sempat meresahkan ulama. Sebab sangat dikhawatirkan, transformasi pengetahuan tentang paham radikal dapat menyebabkan suburnya pemahaman fundamentalisme ke-agama-an. Maka penarikan buku paket, harus pula disertai penelusuran penulis dan penerbit.
Buku mata pelajaran Pendidikan Agama untuk kelas XI semester II, disusupi tentang ajaran “membolehkan” membunuh kaum musyrik. Ini tidak sesuai (berlawanan) dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan. UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, pada pasal 4 ayat (1) dinyatakan,  “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”
Terdapat frasa kata “menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Niscaya wajib menjunjung tinggi pluralisme. Hidup damai saling menghormati dengan pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda. Sedangkan pengertian musyrik, merupakan kepercayaan poli-theisme, yang patut dikaji lebih mendalam. Andai benar musyrik, toh setiap orang masih memiliki hak asasi yang dijamin konstitusi.
Tetapi Kepala Dinas Pendidikan kabupaten Jombang, menyatakan buku tersebut tidak menimbulkan masalah. Konon, karena sudah dimusyawarahkan pada forum guru mata pelajaran. Reasoning lainnya, buku paket tersebut merupakan latar belakang pengetahuan tempo dulu. Sehingga pelajar kelas 2 SLTA mengetahui informasi sejarah tempo dulu, dengan pendampingan guru.
Namun reasoning itu tidak tepat benar. Sama saja dengan mengajarkan cara membuat sabu-sabu atau miras cukrik, walau dengan menyertakan efek negatifnya. Reasoning sangat konyol itu juga sama dengan informasi detil seks, walau disertai informasi hukum dampak perzinahan. Namun pengajaran tentang ihwal radikalisme keagamaan, mestinya mempertimbangkan asas “pengrusakan” sosial. Sehingga wajib dihindari (sebagai larangan).
Paradigma kependidikan keagamaan untuk usia muda, niscaya memerlukan metode pendalaman (depth educations). Lebih lagi pengertian tentang ayat-ayat Al-Quran (firman Allah), diperlukan kehadiran ulama ahli tafsir. Begitu pula paparan al-hadits, diperlukan ulama ahli musthalah hadits. Sehingga para ulama terdahulu memilih ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran sebagai dogma.
Sebab ayat Al-Quran (dan kitab suci lain), akan lebih dipahami seiring perkembangan budaya dan kecerdasan otak serta kecerdasan spiritual. Ranah pendidikan meyakini, bahwa kecerdasan manusia berkembang seiring waktu. Ingat dulu, Galilea (ahli astronomi dan fisika) dihukum mati oleh rezim gereja, karena menyatakan bumi berbentuk bundar bagai bola. Saat itu seluruh dunia meyakini bentuk bumi datar.
Setelah berlalu sekitar 7 abad, Al-Quran (dalam surat Yasin, 36:37-40) secara tegas mengajarkan astronomi lebih hebat. Bahwa bumi, matahari dan bulan seluruhnya berputar. Padahal awal abad VII (masehi), seluruh manusia belum memiliki pemahaman seperti ayat-ayat Al-Quran! Toh idak ada pemaksaan dalam agama. Sebagaimana diajarkan Al-Quran surat Al-kafirun (109:1-6).
Pengajaran agama di sekolah (bukan di pesantren) mestilah lebih mengedepankan kerukunan, bukan radikalisme. Pasal 40 ayat (2), dinyatakan kewajiban pendidik adalah, “menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis.” Tiada nilai menyenangkan dan kreatif dengan memapar ajaran radikalisme keagamaan. Bahkan seluruh instansi telah bergerak memberantas radikalisme.
Seyogianya sektor pendidikan bergerak senada. Ulama dan beberapa ormas keagamaan, telah menyarankan agar seluruh masyarakat selalu waspada terhadap ajakan berdakwah yang bisa merusak NKRI. Selain itu gerakan salafy, yang seolah-olah dakwah, mesti dicermati. Sebaiknya, masyarakat tetap mengikuti dakwah ajaran yang paling umum dan sudah dikenal selama ini.
Antaralain, dakwah kerukunan melalui jamaah Yasin, jamaah istighotsah dan kelompok tahlil di kampung-kampung mesti lebih digelorakan. Radikalisme tidak bisa menembus benteng dakwah sosial keagamaan yang kokoh.

                                                                                                              ——— 000 ——–

Rate this article!
Tags: