Sekarang, menikah secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) tidak mudah. Petugas pencatat nikah akan mempertanyakan pada pasangan calon pengantin, apakah sudah punya sertifikat izin menikah? Jika belum, calon pasangan harus mengikuti kursus ber-rumahtangga selama tiga kali pertemuan, lalu memperoleh sertifikat menikah. Beruntung, kursus tidak mensyaratkan ujian tertulis atau wawancara. Melainkan sekadar ceramah pembekalan.
Kursus pra-nikah, diselenggarakan berdasar hasil kerjasama Kementerian Agama, Kementerian Sosial serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Tujuannya, agar setiap pasangan lebih siap menjalani hidup berumahtangga, sekaligus memperkecil perceraian. Konon berdasar catatan Kementerian Agama, jumlah perceraian sudah lebih dari 200 ribu per-tahun.
Kursus ini memang bukanlah persyaratan wajib. Artinya, KUA tidak dapat mewajibkan kepada setiap pasangan. Andai diwajibkan, maka KUA bisa digugat secara hukum. Tetapi tingginya angka perceraian tentu sangat memperihatinkan. Lebih lagi mayoritas kasusnya didominasi oleh pasangan muda (dibawah 45 tahun). Padahal, seringkali KUA keteter karena kehabisan buku nikah. Nampaknya, tren semakin tingginya pernikahan juga inharent dengan tren perceraian. Seolah-olah gampang kawin gampang pula cerainya.
Perkawinan sebagai “perjanjian agung” pasangan suami-istri, merupakan momen paling strategis dalam kehidupan manusia. Karena UUD 1945 (hasil amandemen kedua) juga memasukkannya dalam batang tubuh. Perkawinan dalam UUD dikelompokkan sebagai HAM (hak asasi manusia) pada Bab X-A. Sedangkan perceraian tidak diatur dalam UUD. Seolah-olah itu bagai isyarat bahwa perceraian dianggap “musibah” yang tidak diinginkan.
Secara tekstual UUD pasal 28B ayat (1) menyatakan, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Penggunaan kata “sah” pernah menjadi perdebatan. Penggunaan kata “sah” dianggap berbeda dengan kata “resmi” yang berarti tercatat pada KUA (atau lembaga perkawinan agama selain Islam). Dus perkawinan pada UUD konteks-nya lebih condong pada konsep agama, bukan pada alur administrasi pemerintahan.
Sebelum amandemen UUD, Indonesia juga sudah memiliki undang-undang perkawinan. Yakni UU Nomor UU Nomor 1 tahun 1974. Pada Bab I pasal 1, dinyatakan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa. Terdapat frasa kata “kekal” yang berarti menafikan, atau setidaknya semaksimal mungkin mencegah perceraian.
Tetapi UU Perkawinan (yang sudah 40 tahun) pada beberapa pasalnya dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman, terutama pemahaman tentang HAM. Diantaranya pasal 43 ayat (1), tentang status anak yang lahir diluar nikah. Judicial review dilakukan terhadap UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dikabulkan oleh MK. Lalu, MK mengoreksi pasal 43 ayat (1) menyatakan pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974.
Secara tekstual, pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 menjadi, : “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Koreksi oleh MK ini menuntut konsekuensi logis ke-peradilan sebagai media hukum acara (perdata).
Maka perkawinan, pada konsep agama maupun ke-administrasi-an pemerintah sesungguhnya telah dilindungi oleh berbagai peraturan. Konsekuensinya menuntut tanggungjawab yang besar pula, terutama terhadap anak keturunan. Sehingga perceraian mestilah dicegah oleh semua pihak (pemerintah dan pasangan suami istri). Walau perceraian juga tidak dilarang samasekali. Maka kursus pra-nikah menjadi sangat penting.
Jadi, kursus pra-nikah yang digagas beberapa Kementerian ini, sebenarnya merupakan pelaksanaan amanat UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
———- 000 ———–