Kusaini, Penangkar Burung Hantu ‘Tyto Alba’ Sang Predator Tikus

Kusaini saat memperlihatkan burung hantu jenis Tyto Alba di kandang penangkarannya. [Arif Yulianto]

Pernah Memproduksi hingga Ratusan Ekor, Berharap Ada Regulasi yang Melindungi
Kab Jombang, Bhirawa
Siang itu, Kusaini, seorang petani warga Dusun Tambak Rejo, Desa Jombatan, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang membuka pintu kandang tempat burung hantu dari jenis Tyto Alba yang berada tepat di belakang rumahnya untuk ditunjukkan kepada sejumlah awak media.
Tampak ada beberapa kandang terbuat dari kawat yang biasanya memang diperuntukan sebagai kandang burung dengan tepi dari bilah bambu. Sedangkan atap kandang-kandang burung itu terbuat dari seng gelombang. Sementara, kandang berjajar itu juga dilindungi oleh sebuah kandang besar seukuran satu kamar rumah berukuran besar yang terbuat dari tembok setinggi sekitar satu meter dengan dengan kawat yang mengelilingi bagian tembok ke atas dan atap.
Kemungkinan, desain kandang besar itu dibuat sedemikian rupa agar Tyto Alba yang dirawatnya ketika lepas dari kandang kecil, tidak sampai lepas ke alam karena masih dilindungi kandang yang lebih besar. Dari sekian kandang kecil yang berjajar, tampak hanya satu kandang saja yang berisi burung hantu dengan jumlah empat ekor. Meski hanya ada empat ekor burung hantu yang saat ini ditangkarnya, namun terlihat Kusaini sangat mencintai hewan pemangsa (predator) tikus ini.
Satu ekor dari empat ekor burung hantu dikeluarkan dari kandang kecil. Mungkin karena kurang erat dalam memegang, salah satu tangan Kusaini tampak berdarah terkena cakar Sang Burung Hantu. Untuk beberapa saat, dia memperlihatkan burung hantu itu, sembari meringis menahan sakit akibat tangannya yang tercakar.
Setelah memasukkan kembali ke kandang dan menutup pintu kandang besar, ia pun berjalan menunjukkan ke tempat di mana diletakkan sebuah lemari es (kulkas) tempat mengawetkan sejumlah tikus sebagai makanan burung hantunya.
Kusaini kemudian mengkisahkan perjalanannya memulai menangkar burung hantu ‘Tyto Alba’, Sang Predator Tikus. Ia menuturkan, kegiatan menangkar burung hantu yang dilakukannya berawal saat ada kegiatan SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu) di tempatnya pada tahun 2007 yang lalu.
“Itu program pemerintah untuk pertanian, saya menjadi murid. Waktu itu saya disuruh oleh guru saya, Pak Wagi, untuk memelihara itu (Burung Hantu). Ada bantuan dari pemerintah dua pasang diletakkan di (tempat) saya. Pak Wagi bilang, sampeyan besok bisa tenar,” tutur Kusaini, Minggu (2/2) yang lalu.
Apa yang disampaikan oleh Pak Wagi kepadanya itu kemudian terbukti. Kusaini menceritakan, pada 2014 hingga 2016, dirinya pernah beberapa kali menjadi narasumber tingkat nasional untuk berbagi ilmu penangkaran burung hantu kepada sejumlah pihak yang membutuhkan. Tentu diakuinya, saat itu honor yang diterima sebagai narasumber juga banyak.
Untuk biaya perawatan burung hantu ini, hingga saat ini ternyata Kusaini memang mendapatkannya dari Dinas Pertanian Kabupaten Jombang dengan interval pemberian bantuan tiga bulan sekali. “Lha sekarang ini, dalam satu tahun saya dikasih tiga bulan sekali biaya untuk merawat. Lha bulan 10, 11, 12 ini belum ada (bantuan) sampai sekarang. Tapi ndak apa-apa, wong saya itu hobi,” tuturnya lagi.
Selain itu, Kusaini juga menceritakan pengalamannya saat tahun 2011 ketika ada seseorang dari Jakarta yang membeli Burung Hantu dalam jumlah banyak ke tempatnya. Saat itu, ia menjual dengan harga hanya 500 ribu rupiah per ekor. Kemudian, pembeli juga berdatangan dari daerah Kediri, Banyuwangi, Madura, Mojokerto, hingga Ponorogo.
“Terakhir itu Mojokerto kalau tidak salah. Terakhir itu, sekitar tahun 2016. Jadi memang wilayah Jawa Timur sudah pernah ke sini semua, ‘Ngangsuh Kaweruh’ lah istilahnya. Kalau saya dulu belajarnya dari Ngawi,” ucapnya.
Tentang perawatan burung hantu ‘Tyto Alba’ ini, Kusaini membeberkan, ia setiap malam memberi makan pada jam 18.30 WIB. Satu kali makan, satu ekor Burung Hantu mampu melahap satu setengah ekor Tikus Jika dirinya sedang sakit, Kusaini mengaku memberi makan Burung Hantunya dengan Tikus yang telah disimpannya di lemari es. “Kalau dulu, (burung hantu) saya jual 500 ribu per ekor. Kalau sekarang nggak tahu saya. Ya saya lepas, saya lepas, gitu aja,” kata dia.
Diceritakannya lagi, sepanjang tahun 2008 yang lalu, ia mampu mengeluarkan (menjual) sekitar 40 ekor Burung Hantu. Sementara itu pada tahun 2009, dari kandang penangkarannya, ia mampu mengeluarkan 60 ekor. “Nggak saya hitung (detail), ndak saya bukukan. Jadi Kediri pernah 20 ekor,” imbuh dia.
Saat ini menurut Kusaini, hasil penangkaran burung hantu di ditempatnya banyak dilepas oleh Kusaini ke alam liar. Salah satu pertimbangan Kusaini melakukan hal tersebut karena, ia masih dibiayai oleh pemerintah dalam segi biaya perawatannya.
“Jadi saya disuruh pemerintah, jadi saya lepas saja, Dinas Pertanian saya kasih gampar pelepasannya saja,” tambah Kusaini.
Diterangkannya, burung hantu jenis Tyto Alba ini merupakan predator (pembunuh) Tikus. Jadi, burung hantu ini memang mempunyai naluri untuk membunuh Tikus, sementara dari Tikus yang berhasil dibunuh, Sang Burung Hantu hanya memakan bagian kepalanya saja. “Jadi, satu burung hantu bisa membunuh enam sampai tujuh ekor Tikus dalam satu malam, bahkan lebih,” tandas Kusaini.
Adanya serangan hama Tikus yang akhir-akhir ini banyak menyerang tanaman padi di wilayah Kabupaten Jombang, Kusaini sebagai penangkar Burung Hantu berharap kepada pemerintah agar membuat program pengadaan rumah (pagupon) untuk Burung Hantu yang ada di alam liar. Menurutnya, rumah-rumahan Burung Hantu ini akan membantu pelestarian Burung Hantu yang ada di alam liar, apalagi pada musim-musim kawin Burung Hantu pada sekitar Bulan Desember.
Selain itu, ia juga berharap kepada pemerintah untuk membuat regulasi (peraturan) yang menjamin kelestarian Burung Hantu di alam liar dari perburuan yang dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. “Sebenarnya perlu dibuatkan aturan, supaya tidak ada yang membunuh Burung Hantu. Itu sungguh teman petani,” kata Kusaini. [Arif Yulianto]

Tags: