Lahan Pertanian Diserang Ulat Tentara Asal Amerika

Tanaman jagung di area lahan tanam yang daun jagung mulai habis. Akibat serangan ulat tentara di Desa Sokogunung, Kecamatan Kenduruan, Kabupaten Tuban.

Tuban, Bhirawa
Sebagain petani di Kabupaten Tuban, awal musim penghujan tahun trauma tanam jagung, pasalnya ratusan hektare area lahan tanam tanaman jagung milik petani, ludes di serbu ulat tentara yang berasal dari Amerika atau dengan nama lain Fall Armyworn.
Seperti yang disampikan Kastari, Petani asal Desa Sokogunung, Kecamatan Kenduruan, Tuban, bahwa serangkan ulat grayak atau ulat tentara sudah terjadi sejak awal masuk musim hujan, saat petani menanam jagung di bulan November 2019, dan bulan berikutnya, Desember kembali tanam. “Habis diserangan gerombolan ulat pemakan daun hingga batang dan akar tanaman,” kata Kastari, Rabu (08/01).
Ia mengaku, harga bibit jagung Rp80.000/perkilo, sementara ia membutuhkan 14-15 kantong bibit jagung dalam 1 hektare area lahan miliknya. “Petani kapok (trauma), sudah dua kali tanam gagal terus,” imbuhnya
Wardani, petani lain di Wilayah Kecamatan Mandirejo Kecamatan Merakurak juga mengaku mengalami hal yang sama, akibat serangan ulat tentara, biaya tanam jagung sekarang lebih mahal selain harga bibit, biaya sewa alat traktor bajak lahan dan upah buruh tanam untuk sekali tanam juga naik. “Untuk sewa traktor Rp 750 ribu, bibit perkilo Rp 80000 ribu/kilogram, tenaga tanam perhari Rp 80000 ribu,” keluh Wardani.
Lebih tragis lagi di alami, Petani Sugeng yang memiliki area lahan hektaran di Kenduruan, dengan modal tanam bibit yang kian cekak. karena, sudah tiga kali tanam jagung jenis NK Sumo harga Rp 98.000 perkilo, baru selesai tanam dalam kurun waktu 15 sampai 25 hari tanamanan, juga raib tak tersisa hingga batang – batangnya. “Mau tanam apalagi, modal sudah habis dan trauma gagal seperti ini semua,” ujarnya.
Ditempat terpisah, Martono ketua kelompak tani Dewi Sri, Dusun Krajan, Desa Sokogunung, Kecamatan Kenduruan, Tuban, mengjelaskan kegagalan petani di awali pada masa tanam November sampai Januari awal tahun ini.
“Ada yang dua, tiga kali. Akan tetapi sampai sekarang belum ada penanganan dinas terkait untuk pendampingan,” tuturnya.
Ia berharap, Dinas terkait untuk terjun lapangan untuk melihat secara langsug petani dan memberikan pendampingan untuk pengalihan tanaman lain. “Saya Ngak bisa apa – apa bingung. Karena, setelah sebagain petani beralih dari area lahan lain, tanam padi (gogo) baru tumbuh persemaiannya sudah di serbu ulat grayak tersebut,” pungkas Martono.
Sementara itu Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DipertaKP Jatim), Hadi Sulistyo menyampaikan, prinsip dasar pengendalian hama dan penyakit pada tanaman adalah seoptimal mungkin dengan menerapkan Pengendalian Hama Secara Terpadu (PHT), keterpaduan secara teknik pengendalian, serta keterpaduan institusi terkait.
PHT merupakan sistem pengendalian dengan menerapkan empat prinsip dasar yaitu Budidaya Tanaman Sehat, Pemanfaatan Musuh Alami, Pengamatan Secara Berkala Serta Mengoptimalkan Kelembagaan Perlindungan di tingkat petani, sehingga mereka menjadi ahli PHT.
Berkenaan adanya serangan ulat grayak pada jagung, lanjutnya, beberapa saran yang dapat diterapkan antara lain pertama, pengendalian secara kultur teknis baik itu melalui pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang maupun dengan tanam serempak dengan selisih waktu antara tanam awal dan tanam akhir tidak lebih dari 10 hari,
Kedua, pengendalian fisik dan mekanik yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mematikan kelompok telur, ulat stadia 1?2 yang masih berkelompok dan ulat stadia 4?6 yang terletak pada permukaan bawah daun pada bagian atas tanaman
Ketiga, pengendalian secara hayati, musuh alami berperan penting untuk mengatur dan mempertahankan keberadaan hama di bawah ambang yang tidak merugikan. Keempat, penggunaan insektisida spesifik ulat grayak, bila telah mencapai ambang kendalinya.
Selanjutnya untuk meningkatkan efikasi dalam pengendalian, dikatakan Hadi, kalau petani secara institusional dapat berkonsultasi dengan Petugas Pengamat Hama dan Penyakit/ Petugas Pengamat Organisme Penganggu Tanaman (POPT), yang berada di kecamatan-kecamatan setempat atau di kantor Balai Penyuluhan Pertanian.
“Dalam implementasinya, petani/kelompok petani akan mendapat bimbingan cara pengendalian yang tepat dan secara reguler POPT tersebut melaksanakan pemantauan secara rutin di wilayah kerjanya. Jika ada serangan hama, petani/kelompok bisa langsung melaporkan ke mantri tani atau petugas PPOT, agar bisa dilakukan gerakan pengendalian pada wilayah terserang,” katanya. [hud.rac]

Tags: