Lama Vakum, Pemkab Sibuk Cari Bibit Baru untuk Lestarikan Tradisi Gulat Pathol di Tuban

Gulat Pathol, salah satu tradisi nelayan khas Tuban terakhir dimunculkan dalam sebuah even pada Agustus 2008 lalu. Pemkab Tuban akan menghidupkan tradisi unik ini kembali.

Gulat Pathol, salah satu tradisi nelayan khas Tuban terakhir dimunculkan dalam sebuah even pada Agustus 2008 lalu. Pemkab Tuban akan menghidupkan tradisi unik ini kembali.

Kabupaten Tuban, Bhirawa
Masyarakat nelayan Kabupaten Tuban memiliki tradisi unik peninggalan zaman Majapahit. Mereka biasa menyebutnya dengan Gelut Pathol atau yang lebih umum dikenal dengan nama gulat nelayan pesisir Tuban.
Konon Gelut Pathol merupakan sebuah sayembara yang digelar untuk mencari para pendekar yang jago berkelahi untuk menjaga pelabuhan Tuban dari serangan perompak atau bajak laut. Namun karena perkembangannya jarang dijumpai perompak akhirnya oleh warga pesisir, Gelut Pathol dijadikan permainan yang kemudian berkembang menjadi olahraga tradisional.
Olahraga Gelut Pathol lebih mirip bela diri Sumo asal Negara Jepang. Namun bedanya bila Sumo dimainkan pemain bertubuh gemuk berbobot di atas dua kuintal, sebaliknya pemain atau pesumo-pesumo dalam Gelut Pathol dilakukan masyarakat nelayan.
Pertandingan Gelut Pathol digelar di tempat yang sangat sederhana, hanya menggunakan alas hamparan pasir laut dan karung-karung sebagai pembatas arena. Uniknya lagi, setiap pertandingan gelut selalu diiringi dengan musik gamelan yang terdiri dari gendang, gong, dan seruling sebagai penyemangat pemain yang sedang bertanding.
Kasi Pemuda dan Olahraga Dinas pendidikan Kabupaten Tuban Drs Tony Sudiyantono MPd mengatakan Gelut Pathol merupakan gabungan dua kata dalam bahasa Jawa. Yaitu Gelut yang berarti berkelahi, dan Pathol yang bisa diartikan kuat tidak terkalahkan. “Diambil dari kata Gelut yang artinya berkelahi dan Pathol atau kuat tak terkalahkan” kata Tony, Selasa (12/8).
Sebelum bertanding di dalam ring, pemain Gelut Pathol terlebih dahulu didandani seperti pegulat Sumo. Setiap pemain diharuskan memakai cawat yang diuntai dari sarung basah diikat dengan ban karet motor.
Aturan saat bertarung, leher dan pundak kedua pemain harus tetap menempel, sedangkan kedua tangan berpegangan pada cawat lawan. Selanjutnya seorang pemain dikatakan kalah jika terjatuh dengan pantat menyentuh pasir. “Pemain yang terjatuh dengan pantat menyentuh pasir dinyatakan kalah,” ujar Tony.
Meski demikian, dalam olahraga tersebut tidak semua orang berbadan besar akan selalu memenangkan pertarungan. Pasalnya setiap pemain meskipun kurus memiliki otot tungkai, paha, dan lengan yang tak kalah kuat dengan orang gemuk.
Sayangnya, olahraga tradisional peninggalan leluhur itu kini telah vakum dan terancam mati. Terakhir Gelut Pathol digelar Agustus 2008 lalu. Setelah itu Gelut Pathol sudah tidak pernah terlihat digelar di wilayah Kabupaten Tuban.
Asy’ari, salah satu mantan atlit Gelut Pathol menyayangkan kevakuman olahraga unik itu. Dirinya berharap pemerintah mapun pihak-pihak terkait ikut mengambil peran demi melestarikan Gelut Pathol yang telah menjadi tradisi dan budaya masyarakat Tuban. “Baik pemerintah pusat maupun daerah harus ikut peran serta agar Gelut Pathol bisa tetap eksis.” harapnya.
Kepala Bidang Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Perekonomian dan Pariwisata Kabupaten Tuban Sunaryo, mengaku telah berkomitmen untuk kembali melestarikan Gelut Pathol. Pihaknya berencana akan mencari bibit baru, pemuda-pemuda berperawakan kuat untuk dilatih menjadi atlet Gelut Pathol Tuban.
Menurut Sunaryo Gelut Pathol wajib dilestarikan karena warisan budaya Indonesia. Jangan sampai olahraga tradisional ini direbut dan diatasnamakan warisan budaya bangsa asing seperti yang terjadi pada Reog Ponorogo dan batik. “Gelut Pathol wajib dilestarikan karena bagian dari warisan budaya Indonesia, jangan sampai olahraga tradisional Gelut Pathol diatasnamakan negara asing, ” kata Sunaryo. [hud]

Tags: