Lambannya SK Pengunduran Diri Calon Pilkada Disinyalir Dipolitisir

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Lambannya turunnya surat keputusan pengunduran diri Kartika Hidayati (Cawabup Lamongan) dan Sugiri Sancoko (Cabup Ponorogo) dari Mendagri dikhawatirkan dipolitisasi. Pasalnya, surat itu sendiri sudah dikirim dua bulan yang lalu, namun kenyataannya baru, Rabu (21/10) kemarin turun dari Depdagri. Adapun surat itu ditandatangani langsung oleh Mendagri Tjahjo Kumolo tertanggal 19 Oktober 2015.
Pengamat Politik Bangun Indonesia Agus Mahfudz Fauzi menegaskan lambannya turunnya surat keputusan pengunduran diri calon kepala daerah ada dua kemungkinan. Dipolitisir atau surat yang masuk ke meja Mendagri terlambat. Tapi jika melihat kenyataan yang ada tentunya dikhawatirkan hal itu karena dipolitisir. Kalau ini sampai terjadi imbasnya pelaksanan Pilkada serentak pada 9 Desember 2015 dikhawatirkan berjalan amburadul. Di sisi lain seharusnya KPU tidak harus bertumpu pada surat dari Mendagri. Namun dengan bukti pengiriman surat ke Mendagri sudah cukup bagi KPU untuk jadi bahan pertimbangan.
“Seharusnya dengan menunjukkan surat pengajuan ke Mendagri sudah cukup bagi KPU untuk meloloskan calon. KPU tidak bisa membuatkan keputusan semena-mena tanpa adanya pertimbangan,” tegas mantan komisioner KPU Jatim yang diklarifikasi lewat telepon genggamnya ini, Rabu (21/10).
Ditambahkannya,  bahwa SK pemberhentian calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dari anggota PNS, DPRD, dan BUMD itu bukan hal yang prinsip. Sebab yang mengeluarkan SK pemberhentian itu bukan kewenangan calon, tetapi instansi lain di luar lembaga penyelenggara pemilu.
“Harusnya penyelenggara pemilu menghormati proses tertib administrasi di lembaga lain. Prinsipnya, para calon itu sudah memproses dan bukan main-main. Hal itu juga dibuktikan dengan adanya tanda terima atau surat apa yang disertai dengan materai,” tegas Agus Mahfud Fauzi saat dikonfirmasi Rabu (21/10) kemarin.
Karena itu, tambah Agus,  KPU kabupaten/kota tidak bisa mendiskualifikasi calon hanya karena belum menyerahkan SK pemberhentian dari anggota PNS, DPRD maupun BUMD. Alasannya, kewenangan KPU itu hanya bersifat administratif saja.
“Kalau didiskualifikasi, calon bisa mengajukan gugatan baik ke PTUN karena dirugikan oleh lembaga negara, atau ke PN karena dirugikan secara materi, bahkan bisa ke DKPP karena penyelenggara pemilu menghalangi hak politik seseorang,” tegas Agus Mahfud Fauzi.
Seperti diberitakan Bhirawa sebelumnya,   sebanyak tujuh pasangan calon (paslon) kepala daerah dan calon wakil kepala daerah di Jatim yang mengikuti Pilkada serentak pada 9 Desember 2015 mendatang, terancam dicoret KPU Jatim karena dinilai Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Pasalnya calon kepala daerah/wakil kepala daerah hingga kini belum menyerahkan surat pengunduran diri sebagai pejabat negara.
Mereka adalah Hj Kartika Hidayati  (Anggota DPRD Jatim) Calon Wakil Bupati Lamongan,  Warih Andono (Anggota DPRD Kab Sidoarjo)  Calon Bupati Sidoarjo, Rasiyo  (Komisaris Bank UMKM Jatim)  Calon Wali Kota Surabaya, Dr Husnul Khuluk  (PNS Gresik) Calon  Bupati Gresik, Sugiri Sancoko (Anggota DPRD Jatim) Calon Bupati Ponorogo, Misranto ( PNS Bojonegoro) Calon Bupati Bojonegoro dan Nur Achmad (Anggota DPRD Sidoarjo) Calon Wakil Bupati Sidoarjo.
Mereka di antaranya adalah Hj Kartika Hidayati anggota DPRD Jatim sebagai Calon Wakil Bupati Lamongan, Warih Andono anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo, calon Bupati Sidoarjo, Rasiyo  Calon Wali Kota Surabaya sebagai Komisaris Bank UMKM Jatim.
Senada, pengamat politik dari Unair Surabaya Fahrul Muzakki menilai ketidakmampuan calon yang maju di Pilkada serentak menyerahkan SK pemberhentian dari anggota PNS, DPRD maupun BUMD itu lantaran  sistem yang mengatur Pilkada serentak waktunya singkat sehingga terbentur dengan prosedur ideal di instansi lain.
“Untuk memenuhi syarat ideal, calon Pilkada harus mundur permanen dari instansi pemerintahan itu sulit terpenuhi, sehingga KPU perlu membuat diskresi. Kalau KPU ngotot mendiskualifikasi itu kurang bijaksana dan berlebihan,” tegas Fahrul Muzakki.
Ia menyarankan agar KPU memastikan calon Pilkada yang belum menyerahkan SK pemberhentian tetap diloloskan. “Asal mereka tidak bisa kembali ke status semula baik menjadi PNS, DPRD, TNI/Polri maupun BUMN/BUMD karena itu bagian dari konsekuensi mereka maju di Pilkada. Saya kira ini lebih fair,” beber Fahrul Muzakki.
Dosen FISIP Unair Surabaya itu juga menenggarai ada unsur kesengajaan dari calon yang maju di Pilkada untuk tidak segera menyerahkan SK pemberhentian hingga batas akhir jadwal yang sudah ditentukan KPU. Alasannya, itu bagian dari strategi cost politik untuk mendukung biaya politik Pilkada.
“Acuan formal, selagi calon belum menerima SK pemberhentian dari instansinya maka dia masih berhak menerima gaji. Ini adalah celah dari UU Pilkada, seperti kasus calon tunggal sehingga diperlukan diskresi untuk penyempurnaan aturan Pilkada,” dalih mantan aktivis PMII ini.
Terpisah, Hj Kartika Hidayati Cawabup Kab Lamongan yang masih berstatus anggota DPRD Jatim mengakui bahwa kemarin dirinya dikabari pimpinan DPRD Jatim bahwa SK dari Mendagri yang ditandatangani Dirjen Otoda Kemendagri tentang pemberhentian dari anggota DPRD Jatim sudah turun.
“SK itu tertanggal 19 Oktober 2015 dengan tembusan 20 instansi, seperti ke Presiden RI, Wakil Presiden RI, MK, MA, KPU RI, Dirjen Otoda Kemendagri, Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemndagri, Gubernur Jatim, Ketua DPRD Jatim, KPU Jatim, Bawaslu Jatim, ketua DPP PKB dan lain-lain,” terang politisi asal PKB.
Sementara itu Komisioner KPU Jatim Choirul Anam menegaskan bahwa KPU akan tetap tegak lurus pada aturan UU dan PKPU. Artinya, jika calon Pilkada tidak bisa serahkan SK pemberhentian maka akan dibatalkan pencalonannya atau didiskualifikasi.
“Kecuali jika KPU mengeluarkan SE (Surat Edaran) yang membolehkan tidak harus ada SK pemberhentian dari instansi terkait tapi cukup bukti surat pengajuan pengunduran diri ke instansi yang bersangkutan,” pungkas Choirul Anam. [cty]

Tags: