Lampu Kuning Pembiayaan BPJS Kesehatan

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair

Tulisan ini merupakan rangkaian dari tulisan pada awal bulan ini dimana kelembagaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami krisis pembiayaan kesehatan. Setelah didera ancaman defisit atas pembiayaan lebih dari 9 trilyun yang berdampak pada aspek jenis penyakit yang ditanggung BPJS Kesehatan terutama penyakit kastatropik yakni penyakit yang berbiaya tinggi, jangka waktu yang lama dan secara komplikasi dapat terjadi ancaman jiwa yang membahayakan jiwanya. Beberapa penyakit yang termasuk penyakit katastropik seperti jantung, ginjal, kanker, stroke, thalasemia, leukimia, sirosis hepatitis, dan hemofilia. Bahkan disinyalir anggaran biaya untuk BPJS membutuhkan setidaknya hampir 20 persen atau lebih dari 12 trilyun rupiah dari anggaran yang tersedia. Secara prinsip, JKN adalah gotong royong. Artinya yang sehat membantu membiayai yang sakit.
Sebagai contoh untuk membiayai pasien gagal ginjal yang harus melakukan cuci darah minimal dua minggu sekali, setidaknya dibutuhkan 500 peserta BPJS Kesehatan yang sehat. Dapat dibayangkan dengan membayar Rp 50 ribuan per bulan, orang bisa mendapat layanan operasi jantung seharga Rp100 jutaan. Sebenarnya krisis pembiayaan yang dialami BPJS sudah diprediksi jauh hari mengingat kian membludaknya kunjungan pasien ke rumah sakit, apalagi diperparah dengan didominasi jenis penyakit kastatropik dan diderita pasien golongan menengah kebawah. Di masyarakat anggapan pembiayaan gratis atau ditanggung pemerintah menjadi bumerang atas sisi pembiayaan BPJS. Oleh karena itu perlu dikaji beberapa hal sebagai berikut : pertama, atas aspek pemasukan atau pendapatan BPJS. Setidaknya ada tiga sumber pendapatan yakni dari iuran peserta, hasil investasi dan alokasi dana pemerintah. Untuk iuran peserta dalam bentuk premi, saat ini pada pelayanan perawatan kelas III sebesar 25.500 rupiah, kelas II sebesar 51.000 rupiah dan kelas I sebesar 80.000 rupiah.
Selain Peneriman Bantuan Iuran (PBI) dimana ditanggung oleh pemerintah sebesar 23.000 rupiah per jiwa dengan jumlah 92,4 juta jiwa sehingga mencapai 2,2 trilyun rupiah. Hasil analisis Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyatakan bahwa nilai keekonomian iuran JKN-KIS yaitu sebesar 36.000 rupiah untuk penerima bantuan iuran (PBI), 53.000 rupiah untuk kelas III, 63.000 kelas II, dan 80.000 sehingga selisih nilai iuran tersebut harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Sedangkan dari hasil investasi, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan pasal 15 ayat 1 bahwa hasil investasi BPJS adalah berupa iuran Jaminan Kesehatan termasuk bantuan iuran, hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial Kesehatan, aset program Jaminan Kesehatan yang menjadi hak peserta dari BUMN yang menjalankan program Jaminan Kesehatan; dan sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam alokasi dana pemerintah diwujudkan dalam skema penyaluran suntikan dana ke BPJS Kesehatan dari semula menggunakan skema Penanaman Modal Negara (PMN) menjadi belanja pemerintah. Di sisi pemerintah pusat “memaksa” pemerintah daerah untuk memenuhi kewajiban alokasi dana fungsi kesehatan minimum 10 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Alokasi dana tersebut, antara lain digunakan untuk membayar iuran Peserta Bantuan Iuran (PBI) di daerahnya masing-masing. Kedua, aspek pengeluaran atau pembiayaan/belanja. Perlu dicermati pengeluaran biaya atas klaim dari rumah sakit yang terus meningkat seiring dengan membludaknya jumlah pasien, kenaikan nilai keekonomisan bahan, alat kesehatan, obat, sarana dan teknologi kesehatan turut berkontribusi atas kenaikan pembiayaan yang signifikan. Meski secara mekanisme mengalami pembatasan namun realitasnya melambungnya atas biaya-biaya tersebut tak terhindarkan.
Selain itu mendorong untuk memanfaatkan pendanaan dari penerimaan cukai rokok yang termasuk kategori pajak dosa atau sin tax. Mengapa harus dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan kesehatan? Kondisi tersebut merupakan kompensasi atas komoditas yang berakibat merugikan masyarakat. Memang saat ini penerimaan cukai rokok sudah dikembalikan dalam bentuk sarana prasarana, kegiatan pemberdayaan dan layanan kesehatan masyarakat.
Di sisi lain perlu dicermati secara kelembagaan BPJS Kesehatan dievaluasi terkait kewajaran dan kepatutan atas biaya operasional maupun biaya pengeluaran lainnya di BPJS Kesehatan. Tentu perlu dipertimbangkan juga atas analisis beban kerja kelembagaan BPJS. Wacana cost sharing BPJS Kesehatan harus dimaknai bahwa kondisi keuangan BPJS memang sudah masuk lampu kuning. Dengan kata lain, kedepan pembebanan anggaran sebagian akan dialihkan ke masyarakat atau pihak lain sehingga lagi-lagi menjadi beban masyarakat yang pada akhirnya akan terjadi pengingkaran atas prinsip-prinsip dasar bahwa negara hadir untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

———- *** ———-

Tags: