Larangan Dana Hibah dan Bansos Langgar PP

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

DPRD Jatim, Bhirawa
Kegelisahan sejumlah pemerintah daerah akibat kebijakan pemerintah pusat lewat Mendagri yang membatasi bahkan cenderung melarang program pemberian dana hibah dan Bansos (Bantuan Sosial), nampaknya mendapat perhatian serius dari kalangan anggota DPR RI. Bahkan anggota Komisi V DPR RI Nizar Zahro menyarankan supaya pemerintah daerah tak perlu risau selagi aturan yang lama belum dicabut.
Politisi asal Fraksi Partai Gerindra DPR RI ini menjelaskan bahwa aturan pemberian hibah dan Bansos yang bersumber dari APBD mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 2 Tahun 2012 dan Permendagri No 32 Tahun 2011 yang diperbaiki menjadi Permendagri No 39 Tahun 2012. “Selagi kedua aturan itu belum dicabut, maka pemerintah pusat melalui Kemendagri tak bisa seenaknya menghapus program hibah dan Bansos yang dibikin pemerintah daerah,” tegas Nizar Zahro saat dikonfirmasi Minggu (4/1).
Lebih jauh Nizar mengatakan bahwa larangan hibah dan Bansos itu bagian dari arogansi  pemerintah yang ingin mengembalikan sistem pemerintahan sentralistik. Padahal sejak reformasi bergulir sistem desentralisasi telah berjalan dengan baik. ” Yang lebih tahu persoalan masyarakat di bawah itu kan pemerintah daerah. Kalau ada kebocoran atau penyelewengan ya harusnya sistem pengawasannya diperkuat jangan malah programnya dihapus,” ujar mantan anggota DPRD Jatim ini.
Hal senada juga diungkapkan Ketua FPKS Hamy Wahjunianto yang sepakat dengan pernyataan Nizar Zahro. Menurutnya, sangat tidak realistis kebijakan Mendagri yang menghapus dana hibah dan Bansos. Mengingat selama ini dana hibah dan Bansos sangat membantu masyarakat yang selama ini tidak tersentuh dengan program pemerintah. Dengan dana hibah dan Bansos, mereka bisa menikmati program pembangunan tersebut. “Ingat APBD maupun APBN bersumber dari rakyat, untuk mereka juga berhak mendapatkan program pembangunan yang digagas oleh pemerintah. Kalaupun ditemukan penyelewengan di lapangan, silakan pihak kepolisian atau kejaksaan memproses hukum,”tegas politisi yang juga Wakil Ketua Komisi D DPRD Jatim.
Terpisah, Gubernur Jatim Dr H Soekarwo menyatakan sistem administrasi pemerintahan sering kali menjadi penghalang besar program-program kerakyatan. Akibatnya, upaya pemerintah mendongkrak kesejahteraan masyarakat sering kali gagal hanya karena dianggap tak memenuhi syarat administrasi pemerintahan.
Di contohkan Pakde Karwo panggilan akrab Soekarwo, program Bosda Madin yang digagas Pemprov Jatim pada awalnya dilarang pemerintah pusat hanya karena Madrasah Diniyah (Madin) dianggap tak memenuhi syarat lembaga pendidikan yang diakui pemerintah. Padahal Madin adalah bagian yang tak terpisahkan dalam pendidikan di masyarakat. “Harusnya konsep pendidikan yang digunakan pemerintah itu adalah fungsi pendidikan bukan sektor pendidikan, sehingga cakupannya bisa lebih luas,” jelasnya.
Diakui Pakde Karwo, evaluasi Depdagri terhadap APBD Jatim 2015 dinilai belum memenuhi   20 persen alokasi APBD untuk pendidikan sebagaimana yang telah diamanatkan UU. Namun setelah dijelaskan bahwa Pemprov Jatim menggunakan konsep fungsi pendidikan seperti yang digunakan Bappenas maka alokasi anggaran pendidikan justru lebih dari 20 persen.
“Ada lima hal yang dievaluasi Depdagri yakni bidang pendidikan, kesehatan, hibah, bansos dan efesiensi akomodasi perjalanan dinas. Kalau yang dibahas Depdagri itu menyangkut subtansi, maka saya yakin program hibah dan Bansos seperti Bosda Madin tidak dilarang,” pungkas mantan Sekdaprov Jatim dengan nada optimistis. [cty]

Tags: