Latar Belakang Keluarga Berbeda, Pendekatan Pola Asuh pun Beda

Pakar pendidikan Dr Martadi saat memberikan penjelasan kepada orangtua siswa di Surabaya tentang peranan mereka dalam mendidik anak. [adit hananta]

Menempatkan Peran Keluarga di Level Tertinggi Mendidik Anak (Habis)
Kota Surabaya, Bhirawa
Sekolah hanya warung dekat rumah yang menyediakan makan siang seragam. Keluargalah yang menyiapkan sarapan dan makan malam beranekaragam. Pengibaratan ini agaknya sesuai untuk mengembalikan kesadaran orangtua terhadap perannya dalam proses tumbuh kembang anak melalui pendidikan.
Setiap anak dilahirkan spesial dengan potensi berbeda-beda. Bagaimana pun latar belakang keluarganya, potensinya akan melekat secara alami. Hanya saja yang membedakan, bagaimana potensi setiap anak ini dikembangkan secara optimal melalui pendidikan karakter. Di sini, orangtua mempunyai peran paling penting.
Misalnya saja cerita tentang MW, pelajar yang terlilit sanksi pidana karena dugaan kasus pembunuhan pada teman sekelasnya. Atau Aisyah Qonita, pelajar SMAN 5 Surabaya yang tengah berambisi mengejar cita-cita menjadi dokter dan telah menghafal 22 juz dalam Alquran. Adalah gambaran kontras tentang nasib anak yang sama-sama tengah berproses mengembangkan dirinya menuju titik keberhasilan.
Padahal jika dilihat ke belakang, MW seharusnya memiliki lebih banyak peluang untuk mengembangkan diri dengan didampingi keluarga. Karena waktu yang dimiliki orangtua MW, jauh lebih banyak daripada waktu yang dimiliki Aisyah Qonita untuk berinteraksi dengan keluarga. Sekadar diketahui, WIS,ibu dari MW adalah ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan sampingan menjadi penjahit di rumah. Sementara Reni Astuti, ibu Aisyah Qonita, adalah pejabat publik yang menyandang status anggota DPRD Surabaya.
Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Dr Martadi menerangkan, peran orangtua teradap anak tidak diukur dari intensitasnya bertemu dengan anak. Karena orangtua dengan volume pekerjaan tinggi pun dapat melakukan tugasnya sebagai pendidik utama bagi anak. “Bukan intensitas pertemuannya dengan anak, tetapi kualitas pertemuannya. Bisa jadi orangtua setiap hari ketemu dengan orangtua, tetapi tidak terjadi komunikasi yang efektif,” kata Martadi.
Akademisi yang juga Ketua Dewan Pendidikan Surabaya ini mengungkapkan, mendidik anak oleh orangtua diperlukan pemahaman. Karenanya, hal ini harus dipersiapkan. Bukan saat seseorang telah menyandang status sebagai orangtua, tetapi parenting edukasi seharusnya sudah dipersiapkan sejak dini.
“Mulai dari seseorang itu akan menikah, pemahaman tentang pola asuh dan pendidikan terhadap anak sudah harus dipahami. Bagaimana mendidik saat masih anak-anak dan saat anak sudah beranjak remaja,” kata dia.
Tidak dapat dipungkiri, lanjut Martadi, anak dengan intensitas pertemuan dengan orangtua yang tinggi tidak dapat berkembang secara optimal. Sebaliknya, anak dengan intensitas pertemuan rendah justru lebih terbangun karakternya. “Karena itu dasarnya adalah komunikasi. Meski tidak sedang bersama, bertanya tentang kondisi anak melalui alat telekomunikasi bisa menjadi momen yang penting,” tutur Martadi.
Hal senada diakui Direktur Eksekutif Crisis Center Surabaya Edward Dewaruci. Pihaknya mengakui, keberadaan anak yang terlibat kasus hukum sebagai pelaku tidak hanya dialami MW. Secara umum, di Jatim kasus ini masih tergolong tinggi. Contohnya untuk wilayah Surabaya, Sidoarjo dan Gresik. Setiap tahun setidaknya ada 600 kasus hukum yang melibatkan anak sebagai pelaku.
“Tapi yang bisa kita dampingi hanya sekitar 50 kasus setiao tahun. Salah satunya yang kita dampingi adalah kasus yang dihadapi MW,” tutur Edward.
Khusus untuk kasus MW, Edward mengakui ada kesan cukup dipaksakan. Karena dari pihak orangtua korban yang merupakan teman sekelas MW juga tidak yakin bahwa pelakunya MW. “Tetapi kasus sudah terlanjur jadi berkas dan jatuh vonis. Makanya sekarang tinggal melakukan pendekatan rehabilitasi saja,” kata dia.
Rehabilitasi dilakukan untuk memberikan kesempatan anak, menjadi orang yang bisa diterima lagi oleh masyarakat. Bahwa dalam pengalaman hidupnya ada peristiwa semacam ini yang membuat dia harus memperbaiki perilaku. Nah proses memperbaiki perilaku ini yang  harus tepat. Jangan sampai dia menganggap dirinya sudah tidak lagi diterima masyarakat dan menjadi jahat sekalian.
“Itu yang berbahaya dan kita hindari. Kita motivasi, beri suntikan kepercayaan diri, menjamin peluang untuk bersekolah dan tetap bisa merasakan kasih sayang keluarga,” terang dia.

Tags: