Latih 1.260 Guru Screaning Mata Anak

Surabaya, Bhirawa
Kelainan refraksi atau penglihatan mata kian mengkhawatirkan. Hal ini ditangkap serius oleh Rumah Sakit Mata Masyarakat (RSMM) Jatim untuk segera mengambil upaya pencegahan. Diantaranya ialah dengan melatih guru di sekolah agar dapat memeriksa normalitas mata anak didik.
Kepala RSMM Jatim dr Dyah Wiryastini MARS mengakui, jumlah kelainan refraksi cukup mengkhawatirkan. Khususnya pada kasus yang terjadi pada anak-anak. Secara nasional, 10 persen dari 66 juta anak Indonesia usia 5 hingga 19 tahun mengalami kelainan refraksi, atau biasa disebut kelainan kacamata. Sedangkan di wilayah Jatim, kelainan refraksi prevalensinya telah mencapai 20 persen.
“Untuk itulah kita memerlukan upaya-upaya deteksi dini. Khususnya bagi anak-anak,” tutur dr Dyah, kemarin (12/2).
Dyah mengatakan, hal ini dilakukan sebagai bentuk Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) RSMM Jatim. Hingga saat ini, RSMM sedikitnya telah melatih 1.260 guru dari enam daerah di Jatim. Keenam daerah tersebut antara lain Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Gresik, Lamongan, Kabupaten Pasuruan dan Surabaya. Selain itu, 132 tenaga medis dari masing-masing Puskesmas daerah tersebut juga telah mengikuti pelatihan.
“Kita mengambil masing-masing dari puskesmas itu 2 tenaga medis. Sedangkan guru sekolah yang dilatih adalah tenaga di Unit Kesehatan Siswa (UKS),” ungkap perempuan asal Klaten itu.
Dalam Screaning tersebut, lanjut Dyah, guru mendapat pengertian bagaimana mengukur normalitas dari senellen (Poster periksa mata). Namun, di lapangan kadang ditemui anak yang belum dapat membaca. Sehingga perlu cara lain, yakni merubah snellen yang biasa berisi angka atau abjad, menjadi gambar. “Kalau gambar binatang kan anak bisa mengerti. Jadi memang lebih sulit menghadapi anak-anak dari pada orang dewasa,” tutur dia.
Ditambahkan dr Niken SpM, dalam pelatihan ini, guru tidak hanya dilatih untuk mengukur normalitas mata anak. Melainkan juga lebih peka terhadap kebiasaan anak. Sebab, kesadaran anak untuk melaporkan kondisi anaknya sangat minim. “Jadi guru yang harus peka. Jangan anak yang jarak pandangnya pendek justru diberi tempat duduk paling belakang,” tutur dia.
Dokter sub spesialis mata anak ini mengimbau, sekiranya guru dan orang tua dapat lebih perhatian terhadap anak. Ini seiring dengan berbagai perkembangan teknologi yang memiliki efek radiasi terhadap mata. Misalnya televisi, monitor computer, dan layar gadget. “Maksimal nonton TV itu 3 jam dan laptop 1 jam. Setelah itu, mata harus diistirahatkan,” ungkapnya. [tam]

Rate this article!