Layangan Sambung

Oleh:
Tyas W.

Ini pertama kali aku berurusan dengan asmara. Aku mengenal Bagus dari Bu Rahmi. Perempuan itu adalah kakak kelas yang sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Aku tak pernah bertemu Bagus sebelumnya. Kampus kami berbeda. Bahkan kami terpisah jarak dan waktu. Bagus bekerja di sebuah kantor di Jakarta. Sedangkan aku masih berstatus guru honorer di Surabaya. Takdir mempertemukan kami melalui seorang sahabat. Bagus sedang mencari istri. Dan takdir memilihku.

Bagiku melirik foto Bagus dalam biografinya saja adalah sesuatu yang sempurna. Bagus berhasil memikatku lewat pesonanya. Lelaki tinggi semampai berparas tampan itu barangkali menjadi incaran para gadis. Kulitnya bersih sawo matang. Mata beningnya tampak indah berpadu dengan kaca mata tipis tanpa frame. Menurut Bu Rahmi, tutur kata Bagus sangat sopan. Mereka teman lama yang tidak sengaja bertemu dalam sebuah kunjungan kerja. Bagus tampak kikuk, tapi tetap menunjukkan kedewasaan. Aku akan menjadi wanita yang beruntung jika dapat bersanding dengannya.

Bagus berasal dari keluarga berpendidikan. Kedua orang tuanya telah pensiun. Kakaknya tengah menempuh program beasiswa pasca sarjana di luar negeri. Sedangkan adiknya ternyata seorang mahasiswa berprestasi di kampusnya. Latar belakang Bagus yang memantik kekagumanku semakin menguatkan kecenderungan hatiku terhadapnya. Aku tercengang. Aku tak tahu perasaan apa yang ada dalam hati ini. Aku tidak pernah menduga bahwa seorang yang akan melamarku adalah lelaki sempurna yang tidak diragukan kesalehan dan kemapanan prestasinya. Yang jelas hati kecil ini ingin segera menghalalkannya.

Karena terlalu terbuai, malam itu aku tidak bisa tidur. Kusandarkan daguku di meja belajar sambil menilik aksesorisku yang serba ungu. Pikiranku terbang bagai layangan. Sebegitu kurebahkan tubuh di atas selimut ungu, mata tidak kunjung terpejam. Baling-baling kipas angin terus berputar. Jarum jam terus berdetak. Jam sepuluh.

“Benarkah aku menikah akan di usia muda? Baru genap dua puluh tiga tahun. Bagaimana dengan semua rencanaku?” Tiba-tiba keraguan mengalihkan keyakinanku.

Aku masih terhanyut dalam buai fantasiku. Lantas segera kupejamkan mata samar-samar saat kudengar ibu membuka pintu kamarku. Ibu tahu gelagatku.

“Belum tidur, Nak?” desak ibu.

Aku membuka mata. “Baru mau tidur, Bu.”

“Ada yang dipikirkan?” tanya ibu mendeteksi. Ibu kenal watak anaknya bila sedang galau.

Aku tersentak. Bagaimana ibu tahu pikiranku? Ingin sekali kuungkapkan, tapi malu. Namun, ibu pandai menelisik pikiranku. Ibu terus memandangku dengan tatapan jujurnya. Ia tahu, aku tidak akan pernah bisa berbohong.

“Ibu, aku sedang berta’aruf dengan seseorang.”

Aku diam menunggu jawaban ibu. Dan tersadar bahwa ibu belum paham tentang ta’aruf.

“Proses ta’aruf itu mengenal lawan jenis untuk rencana pernikahan, Bu. Pihak wanita dan lelaki saling bertukar biografi berisi penjelasan lengkap tentang diri dan keluarganya masing-masing. Setelah itu dilanjutkan dengan saling bertemu untuk melihat, melamar lalu menikah.”

“Seperti melamar pekerjaan saja,” pungkas Ibu.

Aku tertawa geli. Malam yang sepi jadi pecah. Selama ini aku tidak pernah terbuka soal asmara kepada ibu, tapi ternyata ibu sangat hangat menceritakan pengalaman masa mudanya. Berjuta kegirangan menghampiri. Ayah akhirnya tahu. Dan ia setuju. Aku bersyukur memiliki keluarga bijak ketika menyikapi permasalahan yang berdatangan. Keyakinanku pun teguh kembali.

Usai bekerja, aku menepati janji untuk bertemu Bu Rahmi. Motorku melaju dengan kecepatan standar lalu masuk gerbang utama perumahan. Di sepanjang kompleks berjajar pepohonan. Sebagian besar adalah pohon waru. Sebagian lainnya adalah pohon mangga yang sengaja ditanam pemilik rumah. Rumah Bu Rahmi sangat teduh. Aku betah jika harus berlama-lama di sini. Ruhnya terasa nyaman. Keluarganya juga ramah. Keluarga dambaan surga. Seperti keluarga yang kuimpikan bersama Bagus nantinya.

“Bagaimana Dik, lama sekali menjawabnya, kasihan nanti pihak lelaki jadi menggantung,” kata Bu Rahmi.

“Maaf Bu, masih deg-degan,” jawabku malu.

“Sudah istikaroh dan tanya keluarga?”

“Sudah, Bu. Alhamdulillah sudah ada izin untuk menikah.”

“Kamu sendiri sudah yakin?”

“Saya sendiri belum tahu yakin itu seperti apa, tapi sudah cocok.”

“Lho kok sekedar cocok, memangnya sepatu sudah cocok ukurannya,” canda Bu Rahmi.

Aku semakin tersipu.

“Bukan begitu, saya cocok karena karakternya.”

“Bulan ini sah ya!”gelitik Bu Rahmi.

“Secepat itu, Bu?” kataku terhenyak.

“Lho, buat apa berlama-lama, malah ada yang seminggu langsung nikah. Nah lho, mungkin nanti seperti itu. Kalau kelamaan nanti diganggu setan.”

Wajahku bertambah merah. Seminggu kemudian, aku siap memberi keputusan kepada Bagus. Kami bertemu ditemani Bu Rahmi. Mendadak suasana menjadi lebih tegang. Hening sesaat. Kutatap cermat dua wajah yang ada di depanku. Tiba-tiba saja keteguhanku didera perasaan ragu. Bukan ragu pada keputusanku sendiri, tapi ragu pada lelaki itu. Ya, ragu setelah melihat sekelebat wajah Bagus yang bimbang.

“Iya, sebenarnya dari pihak laki-laki juga tidak ada masalah, hanya saja mereka butuh waktu untuk mengenalmu lebih lanjut,” kata Bu Rahmi yang ternyata telah berdiskusi dengan Bagus sebelum kedatanganku.

Setengah tergeragap, aku mendongak dari ketundukkan wajahku lalu memandang kedua lawan bicaraku dengan tatapan sayu. Benar. Keraguanku terjawab. Ada yang tersendat. Sepengetahuanku proses ta’aruf tidak berbelit. Cukup dengan keyakinan laki-laki yang akan melamar dilanjutkan pertemuan dua keluarga. Kali ini berbeda. Seharusnya Baguslah yang menanti kepastianku. Dialah yang harus menerima apa pun keputusanku. Bukan sebaliknya.

Segera saja kupandang Bu Rahmi. Rona mataku mengatakan tidak. Dia paham. Kupaksa diri menengahi masalah itu dengan mencoba tenang.

“Kalau begitu sampaikan saja hasil keputusannya kepada orang tuaku,” tandasku.

Usai pertemuan singkat itu aku membisu. Kurasakan ketiadaan diriku. Aku tak berdaya menekan cinta yang mulai tumbuh. Mungkinkah keluarga Bagus belum merestuiku? Aku tak sanggup bercerita kepada Ayah dan Ibu. Mereka butuh kesungguhan seorang lelaki apabila ia berniat menikahi seorang gadis. Seperti ayah masa itu.

Sebagai wanita biasa, aku sangat kecewa meski berusaha pasrah. Jodoh memang misteri. Berjuta kata pun tak akan cukup kuutarakan tentang kekagumanku kepada Bagus. Dia lelaki sempurna. Aku terlanjur menambatkan hati kepadanya. Bagus telah berhasil mengisi sekeping rasa di dalam hati. Rasa cinta yang fitri. Yang getarannya dahsyat di dalam dada.

Kupikir Bagus adalah jodohku. Sebab tahap perkenalan kami telah sampai di masing-masing keluarga. Ayah dan ibuku setuju, tapi ternyata Bagus berbelit. Dia perlu waktu meyakinkan orang tua dan dirinya kembali. Mungkinkah karena aku gadis desa dengan orang tua pedagang pasar? Guru honorer pula!

Mengapa Tuhan mempertemukanku dengan Bagus jika tidak merestui? Sejenak hatiku mulai emosional. Namun, kuurungkan penyesalan itu untuk mengendalikan diri kepada Sang Maha Cinta agar terhindar dari patah hati yang membuat lupa.

Beberapa hari setelah perjumpaan itu, Bagus meminta izin Bu Rahmi untuk menemui ayah dan ibuku. Permohonan maaf, katanya. Degup jantungku mulai terasa kencang meski tak sehebat ketika kali pertama bertemu. Aku pasrah menerima kenyataan. Tanpa mengatakan waktunya, pagi itu Bagus benar-benar berdiri di depan pagar rumahku. Namun sayang, asma ayah kambuh saat itu. Ia segera dilarikan ke rumah sakit. Kepanikanku menyambar hingga mengabaikan kedatangan Bagus. Lelaki itu lantas membantuku mengurus segalanya. Dia pun rela menunggu kami berjam-jam di rumah sakit. Kami terdiam. Sama sekali tak membahas kepastian.

Ibu menceritakan kejadian hari itu kepada ayah ketika kondisinya mulai stabil. Ayah lalu menegurku. Dalam kondisi yang masih terbaring, ayah ingin bertemu dengan Bagus. Aku dan ibu duduk di kejauhan menyaksikan perbincangan mereka. Bagus berdiri di samping ranjang ayah. Dan betapa terkejutnya ternyata ayah meminta Bagus menikahiku hari itu juga. Darah dingin tiba-tiba membanjiri sanubariku, keluh lidahku hampir tak bisa mengucapkan kata-kata. Aku diam. Bagus tidak menolak. Ia justru menghubungi beberapa rekan dan kerabat dekat untuk mempersiapkan segalanya.

Malam itu telah siap. Meski tak ada persiapan yang spesial, peristiwa itu tetap sakral. Bagus mengucapkan ijab qobul di dekat ranjang ayah disaksikan penghulu dan beberapa saksi. Hubungan kami halal. Kurasakan tanganku dan Bagus gemetar ketika kami bersalaman. Binar wajah ayah dan ibu semringah. Apa yang terjadi dengan Bagus?

Aku tak menyangka bersanding dengan Bagus secepat ini. Lelaki yang kucintai. Tapi apalah arti cinta, jika Bagus tidak mencintaiku. Manakala takdir mempertemukan jodoh tanpa cinta, maka upaya yang ditempuh adalah memupuk cinta agar ikatannya sekuat singa, begitu bisiknya. Layangan cintaku tak putus. Ia tetap tersambung.[]

Tentang Penulis:

Tyas W.
Alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Tergabung sebagai anggota Forum Lingkar Pena Sidoarjo.

————– *** —————

Rate this article!
Layangan Sambung,5 / 5 ( 1votes )
Tags: