Lebaran di Masa Pandemik Covid-19

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Perayaan Lebaran 1 Syawal 1441 Hijriah tahun ini sungguh berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Masa pandemik Covid-19 menjadikan seluruh umat muslim di dunia merasakan suasana baru yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Bukan hanya Lebaran, semua kegiatan, acara dan perayaan hari besar agama yang lain pun –khususnya sejak Virus Corona (Covid-19) ini menjangkiti umat manusia– akan berlangsung berbeda. Demikian juga dengan perayaan lebaran di Indonesia yang baru saja usai dilaksanakan.
Isyarat bahwa Lebaran akan berlangsung dalam ‘suasana baru’ sesungguhnya jauh hari bica terbaca. Pemerintah sudah membuat beragam aturan yang membatasi mobilitas masyarakat dan mencegah semua kegiatan yang berdampak akan terjadinya kerumunan massa. Pemerintah meminta masyarakat untuk melakukan social distancing dan juga physical distanscing. Implikasinya jelas sangat meluas. Mulai dari aktivitas birokrasi pemerintahan, ekonomi dan perdagangan, pendidikan hingga peribadahan diarahkan untuk dilakukan di rumah.
Momentum Bulan Ramadan dan Lebaran pada akhirnya juga merasakan dampaknya. Semua aktivitas yang bersifal masal yang menimbulkan kerumunan orang dilarang dilangsungkan. Ibadah salat Tarawih berjamaah di masjid yang menghidupkan suasana malam di bulan Ramadan tidak banyak ditemui lagi. Bahkan dibeberapa daerah yang berstatus merah dan penyebaran Covid-19 nya tidak terkendali salat Tarawih ditiadakan. Pergerakan manusia (baca : mudik) yang biasanya sudah terasakan di saat saat Ramadan tidak kelihatan. Yah, pemerintah memang sudah melarang warga untuk mudik.
Lebaran adalah momentum keagamaan yang sudah berkelindan dengan dimensi sosial budaya dan ekonomi, sehingga menjelma menjadi fenomena sosial yang begitu dahsyat karena membawa dampak perputaran ekonomi yang luar biasa.
Di banyak perumahan di Surabaya, yang biasanya lengang karena penghuninya mudik, untuk Lebaran tahun tidak lagi. Yah, memang larangan mudik yang ditetapkan pemerintah membuat warga pendatang tidak bisa memaksakan diri untuk mudik. Bukan saja karena akan kesulitan untuk melewati jalanan mudik yang dijaga ketat. Namun mereka juga nantinya harus berhadapan dengan warga di daerah tujuan yang sudah menyatakan tekadnya untuk menolak kepulangan para pemudik.
Imbauan pemerintah agar warga tidak mudik tentu bukan tanpa alasan. Salah satunya adalah untuk memutus mata rantai penyebaran Corona yang berlangsung begitu cepatnya. Mudik adalah perpindahan manusia dari kota ke desa atau dari kota tempat bekerja menuju kampung halaman. Nah, perpindahan manusia dan kerumunan yang ditimbulkannya inilah yang dikhawatirkan akan membuat penyebaran virus Corona sangat cepat terjadi.
Pemerintah jelas sangat memahami makna dan nilai sosial ekonomi mudik. Namun pemerintah lebih mengedepankan keselamatan warga negaranya di tempat yang tertinggi. Maka kalau kemudian pemerintah melakukan berbagai cara agar tidak ada warga yang mudik, itu berarti pemerintah juga sedang mati-matian untuk menyelamatkan warganya. Bukan hanya mudik yang dilarang, namun penyelenggaraan solat Idulfitri yang menjadi puncak dari ibadah puasa Ramadan juga tidak dianjurkan. Bahkan acara halal bihalal yang ditandai dengan salam salaman bermaaf-maafkan juga tidak dianjurkan. Semua yang memungkinkan terjadinya kontak fisik dan kerumunan diperbolehkan.
Pandemik covid-19 sungguh telah membangkitkan kembali kesadaran bermasyarakat. Warga menjadi merasa untuk saling menjaga dan melindungi. Masa pandemik Covid-19 tidak mungkin dihadapi sendirian. Semangat kolektivitas untuk saling bahu membahu menjaga wilayahnya masing-masing menjadi kunci dalam membentengi masyarakat dari penyebaran Covid-19.
Kesadaran bahwa perilaku satu orang bisa mempengruhi anggota masyarakat yang lain benar benar disadari. Kesadaran untuk saling mengingatkan, saling menegur dan memberi informasi dibutuhkan dalam kondisi seperti itu. Singkatnya, Pandemik Covid-19, membuat bangkitnya kembali kesadaran bermasyarakat dengan tumbuhnya kebersamaan, toleransi dan bahu membahu menjaga dan melindungi warga.
Spiritualitas Lebaran
Kritik yang sering mengalir deras menampar sisi keberagama-an kita adalah bergesernya dimensi spritualitas lebaran menjadi lebih mengarah pada dimensi duniawi. Lebaran yang harusnya menjadi puncak keimanan usai sebulan berpuasa yakni dengan mengedepankan aspek rohani namun acap menjadi ajang untuk mengagungkan jasmani semata. Lebaran menjadi panggung untuk mempertontonkan nafsu keduniawian. Tahun tahun sebelumnya, di setiap menjelang Lebaran, mall dan pusat perbelanjaan selalu penuh dengan manusia yang sedang berburu kememahan untuk bekal di waktu lebaran ini.
Khutbah khutbah selama Ramadan yang juga tidak pernah berhenti mengingatkan tentang makna kesederhanaan tak lebih hanya angin lalu belaka. Hakikat puasa untuk menahan nafsu termasuk nafsu keduniawian dan kemewahan hanya sekadar konsumsi di ruang ruang pengajian, setelah itu dilupakan. Fenomena ritual keagmaan menjadi tersisihkan menjadi fenomena sosial budaya untuk meng-kontestasikan status sosial.
Masa pandemik Covid-19 telah membuat semuanya berbalik 180 derajad. Nyaris tidak ada yang sempat memikirkan bagaimana menjalani Lebaran. Karena masing-masing orag sibuk memikirkan hidupnya dalam menghadapi virus Corona. Bukan itu saja, keinginan untuk mudik atau sekadar belanja untuk lebaran juga tidak lagi ada, mengapa? Karena sebagian besar warga sedang galau dengan masa depan hidupnya.
Berbagai sektor ekonomi dan usaha macet. Beberapa pabrik tutup, bahkan beberapa perusahaan besar sudah melakukan PHK. Sementara perusahaan perusahaan yang lain juga sedang menunggu giliran untuk melakukan PHK karyawan. Momentum Ramadan dan Lebaran kali ini sungguh berbeda. Sebagian besar berada pada suanaa prihatin. Benar benar prihatin. Mungkin hanya beberapa kelompok masyarakat yang masih memiliki tabungan yang menghiasi mall dan pusat perbelanjaan. Selebihnya, masih merasakan kegalauan akan masa depan hidupnya kemudian. Apalagi banyak ahli mengatakan bahwa Covid-19 tidak akan hilang begitu saja. Menemukan vaksin penangkalnya juga tidak jelas kapan ditemukannya. Maka, pilihan hidup yang tersedia selama vaksin belum ditemukan adalah melangsungkan hidup dengan berteman virus Corona.
Inilah kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai kehidupan normal baru (New Normal). Manusia menjadi harus berkompromi dengan realitas bahwa virus Corona masih akan berada di sekitarnya dalam waktu yang lama. Maka kalau ingin tetap bisa hidup, satu-satunya jalan adalah dengan menjalankan hidup baru dengan menerapkan aturan protocol kesehatan sebagaimana yang berlangsung hari ini. Maka jangan pernah bermimpim lagi akan mendapatkan suasana normal seperti dulu lagi. Kehidupan normal yang akan dirasakannya adalah normal dengan tetap mematuhi protokol kesehtan seperti yang teradi saat ini.
Hidup selalu mengenak masker saat keluar rumah, selalu rajin cuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak fisik ketika berada di luar adalah hal normal yang akan kita lihat dan rasakan nanti. Inilah kehidupan normal baru yang tercipta ketika virus corona belum bisa dilenyapkan dari muka bumi ini.
Wallahu’alam bhis-shawwab.

—————- *** ——————

Rate this article!
Tags: