Lebaran, THR dan Sedekah

Untitled-1 copyMenjelang H-3 Idul Fitri menjadi hari yang paling membahagiakan. Setiap rumahtangga telah bersiap menerima kunjungan sanak keluarga. Sebagian rumah di kota-kota besar (Jakarta, dan Surabaya) ditinggal mudik lebaran. Menjadikan situasi metropolitan sepi, jalanan terasa lengang. Sebaliknya di desa-desa, situasi semarak terjadi di setiap rumah, diliputi aroma kue dan beragam kuliner tradisional.
Sudah banyak sanak keluarga berdatangan dari boro dan rantau, membawa uang untuk tanah kelahiran. Yang pulang dari boro rantau menumpahkan kerinduan sambil bersedekah kepada sanak keluarga dan tetangga. Yang menerima kedatangan juga berbahagia memperoleh “jatah” riayan. Sebagian Kepala Desa dan Lurah, bisa memanfaatkan warga perantauan untuk berpartisipasi membangun kampung.
Dana yang dibawa pulang saat lebaran, tidak bisa di-sepele-kan. Secara nasional, “jatah” riayan tahun ini ditaksir mencapai Rp 70-an trilyun. Itu tidak termasuk ongkos transportasi, yang nilainya bisa separuh atau kadang setara dengan sisa uang di kantong. Hampir seluruh moda transportasi darat (kereta, bus dan persewaan kendaraan) telah tutup permintaan sejak dua bulan sebelum lebaran. Harganya meningkat sampai 50%.
Begitu pula angkutan udara, menjadikan mudik lebaran sebagai pick-season dengan harga tiket hampir 150%. Jadi, dalam setiap musim mudik, diperkirakan menebar dana sekurang-kurangnya senilai Rp 100-an trilyun. Angka ini juga hanya pengeluaran perorangan dan perusahaan (Tunjangan Hari Raya, THR), belum termasuk biaya iklan di media cetak dan media elektronik.
Nilai THR tahun ini mencapai Rp 50 trilyun lebih, ditunaikan oleh perusahaan yang terdaftar pada Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. Dan sebenarnya, nilainya lebih dari Rp 70 trilyun, jika ditambah dengan THR oleh para juragan sektor usaha mikro dan kecil. Tetapi tahun ini belanja bingkisan (terutama makanan dan minuman) menurun tajam, karena pejabat dilarang memperoleh bingkisan.
Sehingga seluruh aliran dana selama Ramadhan diperkirakan masih dalam koridor halal (secara agama maupun hukum nasional, diluar tindak pidana korupsi). Hal itu disebabkan seluruh “jatah” jabat-tangan ataupun tali asih, nilainya tidak lebih dari Rp 10 juta (huruf b pasal 12B UU Nomor 20 tahun 2001). Tetapi sebagian pejabat semula sangat khawatir. Jangan-jangan parsel yang diterima atau diberikan, bisa diduga sebagai penyuapan atau gratifikasi.
UU Nomor 20 tahun 2001 yang mengubah UU Nomor 31 tahun  1999 tentang Pemberantasan Korupsi, memang cukup nggegirisi. Tetapi setelah dikonfirmasi oleh pejabat KPK, segala bentuk parsel (yang harganya wajar, dibawah Rp 5 juta), bukan tergolong penyuapan. Jadi, boleh menerima parsel dari pengusaha atau kontraktor rekanan Pemerintah. Tidak perlu khawatir akan memenuhi unsur sebagaimana pasal 5 UU 20 tahun 2001.
Begitu juga dengan pemberian THR kepada PNS (eselon III dan bawahannya), tidak termasuk dalam gratifikasi. Karena tiada PNS yang memiliki gaji pokok lebih dari Rp 5 juta. Pertukaran parsel juga boleh. Konfirmasi (halalnya parsel dan THR) oleh KPK itu melegakan, terutama PNS dan rekanan pemerintah. Maka benar, Gubernur Jawa Timur pun, berani woro-woro, bahwa pertukaran parsel tidak melanggar undang-undang.
Merayakan Idul Fitri, memang mengandung ajaran pokok kesetiakawanan sosial, hasil tempaan puasa Ramadhan. Karena itu tak elok untuk meng-asumsikan dengan gratifikasi ataupun money politics. Sebagaimana yang terjadi pada pesta-pesta rakyat memperingati hari raya keagamaan maupun adat, seyogianya tidak diutak-atik dengan konvensi internasional anti-korupsi. Toh, kegemaran menerima suap ataupun gratifikasi bisa dilakukan kapan saja, diluar altar keagamaan dan budaya.
Di kampung, maupun di kantor, sedekah lebaran telah menjadi tradisi. Yang tidak bersedekah dianggap kikir (hukuman sosial). Sedangkan yang tidak menunaikan THR wajib dihukum (berdasar undang-undang).

———   000   ———

Rate this article!
Lebaran, THR dan Sedekah,5 / 5 ( 1votes )
Tags: