Lebih Senyap dari Bisikan: Kenyataan yang Senyap Itu Ada di Sekitar Kita

Judul : Lebih Senyap dari Bisikan
Penulis : Andina Dwifatma
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 30 Juni 2021
Tebal : 155 Halaman
ISBN : 9786020654201
Peresensi : Moh. Ainu Rizqi.

“Kurasakan kedua lengan Macan memelukku erat-erat. Tubuhnya bergetar hebar dan air matanya membasahi kedua pipiku. Kupejamkan kedua mataku. Aku ingin tidur yang panjang.” (hlm. 141)

Apa yang dirasakan oleh si Aku dalam kutipan kalimat tersebut acapkali terlintas dalam benak saya pribadi. Dalam hidup, kita yang kadang lelah dan gelisah akan tetek bengek kehidupan lebih memilih tidur, atau tak jarang pula mencari pelarian-pelarian lain yang kadang justru negatif. Tapi ada yang perlu kita sadari pula, kelelahan yang kita hadapi, khususnya saya, terkadang masih bisa diorganisir, masih bisa dimanajemen dengan bercerita atau berkicau di Twitter.

Lalu bagaimana dengan hal-hal yang tak tersampaikan kata, yang air mata pun seakan habis karena tak sanggup membahasakan kata-kata, yang teramat dalam, teramat sakit, teramat senyap. Ah, kesenyapan dan kesakitan tak jauh-jauh dari kita sendiri. Saking dekatnya justru terkadang tak lagi nampak dan terlihat. Sesuatu yang tak tersampaikan itu mengalami keterlemparannya yang sempurna dan tragis.

Meminjam dari Gadamer, seorang sang pemikir Hermeneutik yang masyhur itu, “Being can be understood is language.” (‘Ada’ yang dapat dipahami hanyalah bahasa). Baiklah. Kita mulanya sepakat jika sesuatu yang terkatakan, dalam artian terbahasakan adalah suatu ada yang dapat kita pahami. Namun kenyataannya, dalam hidup kita pasti berjumpa dengan suatu perasaan yang tak terkatakan, tak dapat dibahasakan, dan tak dapat diungkapkan.

Perjumpaan semacam itu kiranya akan dihadapi oleh seluruh umat manusia, tak pandang bulu. Namun lagi-lagi, perjumpaan itu menemui puncaknya dan meledakkan bom waktunya ketika semua penuh dalam kekosongan. Penuh dengan kehampaan. Ketiadaan yang bersenyawa menjadi rasa. Saya menjumpai itu dalam sebuah buku yang ringan, dalam, senyap, dan mengiris-iris

Perjumpaan dengan Senyap

Membaca novel “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma rasanya membawa saya pada kenyataan yang telanjang. Tanpa tedeng aling-aling, Andina Dwifatma menceritakan kehidupan rumah tangga dua orang yang kental dengan nuansa kehidupan saat ini. Kehidupan yang berada di lorong modernitas yang tak kenal ampun menerpa batas. Tak banyak tokoh imajinatif yang ditampilkan dari novel tersebut, tapi banyak manusia-khususnya perempuan-yang menjadi representasi dari tokoh-tokoh dalam novel tersebut.

“Akhirnya kutulis lagi sesuatu untukmu, karena ada masalah besar, yang sesungguhnya terjadi akibat perbuatan Saliman.” (hlm: 1)

Amara adalah tokoh yang menjadi ‘aku’ dalam kalimat pembuka novel tersebut. Kalimat itu menjadi pintu masuk ke kehidupan Amara sebagai tokoh utama dalam novel. Mari bersepakat, bahwa setiap orang pasti memiliki masalah, entah itu besar atau kecil, semua orang pasti menghadapi masalah dalam hidupnya. Karena hidup adalah peralihan dari satu masalah ke satu masalah lain yang tak pernah selesai. Rentetan masalah itu secara gamblang menemukan jodohnya: Amara dan Baron.

“Kau tahu aku dan Baron sedang berusaha memiliki anak. September lalu adalah ulang tahun pernikahan kami yang kedelapan, dan selama tiga tahun terakhir upaya kami memiliki bayi telah menjadi begitu ekstrem.” (hlm: 1)

Memiliki anak mungkin sebuah kebahagiaan tersendiri bagi seorang pasangan, apalagi dalam suatu masyarakat yang masih berpandangan bahwa banyak anak, banyak rezeki. Hal itu sangat mengiris kewarasan berpikir Baron dan Amara. Padahal di sini Amara berpikiran sangat realistis dan benar-benar peduli terhadap keadaan ekologi yang memprihatinkan. Dunia yang sedang dilipat menuju kehancurannya dan manusia yang tertatih membangun citra.

Awalnya Amara enggan memiliki anak karena ia tak tega menghadirkan seorang jiwa tak berdosa ke bumi yang semakin tak menentu. Jangankan Amara, saya sendiri pun di satu sisi akan sepakat dengan hal itu, ya, karena bumi sudah makin uzur belum lagi negara yang makin ajur, Jum.

Tapi kultur sosial tak mengamini kehendak mulianya tersebut. Maka tumbuh suburlah kapitalisme dan budaya patriarki yang rupanya sangat-sangat senyap di pembicaraan pasangan-pasangan muda.

Potret Budaya yang (Masih) Patriarki

“‘Amara sudah belum, nih?’ sambil memegang perutku… Namun tidak ada yang memegang penis Baron sambil bertanya, ‘Baron sudah berhasil menghamili belum, nih?'” (hlm: 15)

“Kita masih usia produktif dan ini saat yang tepat untuk mulai cari pendapatan tambahan. Aku (Baron) ingin segera melunasi utang Bapak dan cicilan-cicilan kita bisa mulai menabung untuk pendidikan Yuki.” (hlm: 85)

Rupanya budaya patriarki itu yang menjadi embrio kehancuran rumah tangga Amara dan Baron. Parahnya tak hanya Amara yang biru-lebamkan oleh budaya itu. Baron juga menjadi korban yang berdarah-darah isi kepalanya oleh budaya patriarki yang dipinang oleh kapitalisme. Hal ini tak hanya dijumpai dalam novel Andina Dwifatma. Jika mau lebih jeli lagi, kehidupan masyarakat kita tak ubahnya dunia imajinatif yang dibangun oleh Andina Dwifatma.

Baron yang memiliki posisi sebagai suami di keluarga kecil itu menjadi representasi dari kegilaan kultur saat ini yang kapital-patriarkis. Dalam novel tersebut, kita ditunjukkan bagaimana Baron berusaha menjadi seorang kepala keluarga yang mapan. Kehadiran Saliman dalam novel itu seakan menjadi wajah kapitalisme saat ini, yaitu ia menawarkan bisnis investasi saham, dan karena bisnis itu pula Saliman menjadi orang kaya bahkan menjadi seorang sugar daddy. Mungkin hari-hari ini Saliman itu bagaikan shoppe pay later dan sebangsa pinjol-pinjol yang meresahkan.

Mimpi Buruk Pasangan Muda

Dari situlah mimpi buruk keluarga muda itu bermula. Keluarga Baron dan Amara diambang kebangkrutan. Baron pun semakin menunjukkan gelagatnya sebagai pelaku sekaligus korban dari jahatnya budaya kapital-patriarkis. Hal itu terbukti ketika Baron yang merasa mampu mengembalikan harkat keluarga tersebut dan menolak tawaran bantuan dari Saliman serta Kakaknya yang diperantarai oleh Amara. Keegoisan Baron rupanya menjadikan keluarga tersebut semakin hancur lebur oleh keadaan. Lalu bagaimana dengan Amara?

Amara merupakan suara Lebih Senyap dari Bisikan yang sesungguhnya. Dia melahirkan-yang katanya melahirkan bisa dengan tidak menyakitkan-namun faktanya Amara merasakan kesakitan yang tak terbayangkan.

Pada bagian ini, saya langsung mengingat ibu saya dan lirik ribuan kilo… jalan yang kau tempuh-nya Iwan Fals.

Amara juga merasakan betapa melelahkan menjadi seorang ibu yang tak dapat tidur dengan tenang, tak dapat menikmati hari-harinya yang dulu, dan ia benar-benar merasakan perubahan total semenjak ia punya anak. Pada intinya, kedirian seorang ibu merupakan suara-suara nyaring yang disenyapkan oleh kebiasaan, padahal hal tersebut tak seharusnya dibiasakan.

Kedirian atau kebertubuhan seorang perempuan perlu dipahami lebih lanjut, sebab selama ini hal tersebut-khususnya di kalangan laki-laki-dianggap sebagai hal yang tak penting, dan memang sudah kudratnya. Oke, hal itu memang sudah kita ketahui dengan wajar bahwa menjadi perempuan memanglah tidak mudah, apalagi menjadi seorang ibu. Andina Dwifatma dalam novelnya benar-benar telah menggambarkan bagaimana kebertubuhan seorang perempuan yang tinggal di persimpangan modernitas dan kultur tradisional yang direpresentasikan oleh ibu dari Amara.

Jadi, bacalah buku ini. Bacalah sekitarmu, ayah-ibumu, tetanggamu, atau orang-orang terdekatmu yang sudah berkeluarga. Bacalah. Bacalah. Berkacalah.

———- *** ———–

Tags: