Ledakan Kasus dan Ujian Layanan Rumah Sakit

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya.

Kekhawatiran itu terjadi, kasus penambahan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 meningkat secara eksponensial dan signifikan. Akibatnya sejumlah rumah sakit tak dapat menampung lonjakan kasus baru dengan berbagai kondisi. Ini berarti sistem kesehatan kita mengalami tekanan yang dahsyat. Tenaga kesehatan kelelahan, terpapar dan diantaranya harus berguguran. Kapasitas rumah sakit seperti tingkat keterisian tempat tidur (Bed Occupation Rate/BOR) nyaris diatas 90 persen, akibatnya pasien yang datang dan tak tertampung dan tertangani secara memadai.

Berdasarkan rilis data terbaru 5 dari 6 provinsi di Jawa, BOR sudah di atas 80 persen kecuali Jawa Timur yang “masih” 67 persen. Di tingkat Kab/Kota di Pulau Jawa setali tiga uang hampir rata-rata terjadi lonjakan kasus di sejumlah daerah. Mungkin perbedaan hanyalah jumlah testing dan tracing. Jika testing dan tracing secara masif dilakukan maka jumlah kasus positif memiliki probabilitas lebih besar dan strategi inilah yang “lebih” dapat menggambarkan kondisi peta wilayah atau zonasinya merah, oranye atau hijau yang sesungguhnya.

Dalam indikator layanan perumahsakitan bahwa Bed of occupancy rate (BOR) merupakan indikator presentase pemakaian tempat tidur pada satu satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan atau penggunaan tempat tidur rumah sakit. BOR antara rumah sakit yang berbeda tidak bisa dibandingkan oleh karena adanya perbedaan fasilitas rumah sakit, tindakan medis dan adanya perbedaan teknologi intervensi.

Standar BOR yang ideal berkisar 60-80 persen. Publik diharapkan dapat memanfaatkan aplikasi Sistem Informasi Rawat Inap (Siranap) Kementerian Kesehatan yang memberikan informasi mengenai data kapasitas dan ketersediaan setiap jenis tempat tidur pada RS. Penyajian data dan informasi ketersediaan tempat tidur pasien Covid-19 rumah sakit secara real time dan online, yang dapat diupdate rumah sakit dan diakses publik.

Harus diakui, penyediaan layanan dan fasilitas rumah sakit ada yang menawarkan kemudahan terutama fasilitas kamar, layanan dokter hingga layanan lain. Pada saat yang sama, masih ada masyarakat yang memilih-milih ingin dirawat di RS mana. Beberapa rumah sakit bahkan ada yang sudah melebihi standar tingkat utiliti tempat tidur.

Di sisi lain problem layanan lain seperti fasilitas kesehatan juga mengalami ujian, kebutuhan tabung oksigen, ventilator dan peralatan dan sarana laboratorium di berbagai daerah terus meningkat pesat. Pemenuhan kecukupan atas ketersediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan juga mendukung penyelenggaraan tata kelola fasilitas, sarana, prasarana dan logistik terutama penyediaan laboratorium yang memadai dalam mendeteksi virus, reagen, lab kit, obat hingga suplai alat pelindung diri (APD) yang memadai dan adekuat. Selain itu dibutuhkan penguatan jejaring laboratorium yang mampu mendiagnosa Covid-19 serta variannya secara cepat, tepat dan handal.

Hal lain yang tak kalah pelik adalah ketersediaan ruang areal pemakaman terus mengalami penyempitan. Petugas pemulasaran, penggali kubur sudah sangat kelelahan sehingga kondisi daya tahan tubuh menurun sehingga sangat rentan terpapar pula. Sebagai gambaran bahwa minggu lalu tercatat rekor penambahan kasus 21 ribu per hari selama pandemi yang berlangsung 1,5 tahun sehingga kapasias rumah sakit sudah tidak dapat menampung lonjakan, jika dibandingkan dengan India yang tercatat 250 ribu kasus per hari. Saat ini “bola panas” layanan pasien Covid-19 mengarah pada layanan rumah sakit.
.
Sejumlah kebijakan untuk merespon lonjakan kasus adalah bagi rumah sakit yang berada di zona merah agar menambah atau mengalihfungsikan tempat tidur minimal 40 persen untuk ruang isolasi pasien Covid-19 dan 25 persen untuk ruang ICU. Untuk RS yang berada di zona kuning, diinstruksikan mengalih fungsikan tempat tidur sebanyak 30 persen dan ICU 20 persen. Untuk zona hijau, diharapkan mengalih fungsikan 25 persen dan penambahan ICU 15 persen.

Di sisi layanan manajemen distribusi pasien Covid-19 secara tepat. Distribusi pasien diatur berdasarkan tingkat gejala dan keparahan kasus yang dirasakan. Oleh karenanya, tidak semua pasien Covid-19 harus ke rumah sakit untuk mendapat penanganan lanjut.

Dalam konteks layanan gawat darurat dibutuhkan Triage IGD yakni proses penentuan atau seleksi pasien yang diprioritaskan untuk mendapat penanganan terlebih dahulu di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit. Proses penentuan ini dilakukan untuk mendapatkan urutan penanganan sesuai tingkat kegawatdaruratan pasien, seperti kondisi pasien dengan gejala sedang hingga berat yang dapat mengancam nyawa dalam hitungan menit dan jam, atau sudah meninggal. Sekali lagi sektor kesehatan kini menjadi garda terakhir dan menjadi “sansak hidup” kasus Covid-19. Jika kapasitas kesehatan kolaps dapat dibayangkan nyawa-nyawa manusia bak murah ketika didera virus corona.

Sumber daya manusia merupakan yang paling krusial, ditengah beban puncak dan risiko tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya sangat tinggi dan amat rentan terpapar. Kondisi kelelahan, beban stres, tekanan psikologis bercampur aduk dalam rangka penyelamatan jiwa pasien yang notabene adalah pejuang kemanusiaan. Sudah hampir 700 para pejuang kesehatan gugur setelah berjibaku dengan virus asal Wuhan tersebut, bahkan Indonesia termasuk tiga besar kematian tenaga kesehatan khususnya tenaga medis. Sebagai garda terdepan sekaligus benteng terakhir dalam penanganan pasien Covid-19. Peran tenaga medis sangat sentral dalam urusan penyelamatan nyawa pasien.

Dapat dibayangkan jika tenaga medis dan tenaga kesehatan berguguran tentu berakibat tak tertanganinya pasien secara optimal dan berkualitas. Inilah sesungguhnya tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah manusia. Sekali lagi layanan rumah sakit adalah layanan terakhir atau sisi hilir, yang paling utama adalah terus menggelorakan sisi hulu yakni selalu disiplin menerapkan protokol kesehatan secara lebih ketat 5 M (), itu yang utama sebab dalam kaidah kesehatan perilaku mencegah (preventif) selalu lebih baik daripada mengobati (kuratif).

———– *** ————-

Tags: