Legawa Hasil Pilkada

Seluruh rakyat lega setelah melaksanakan hak pilih, mencoblos salahsatu pasangan calon (paslon) pilkada. Sore hari beberapa jam setelah tutup TPS (Tempat Pemungutan Suara), hasilnya sudah diketahui melalui siaran televisi. Quick-count (hitung cepat) dipapar sesuai perkembangan perhitungan di TPS. Walau masih harus menunggu pengumuman KPU Propinsi serta KPUD Kabupaten dan Kota, hasilnya nyaris tidak akan berbeda.
Pada era globalisasi informasi, masyarakat dapat memperoleh berita fakta dan data yang kredibel. Media masa elektronika (terutama televisi) profesional, juga bekerja secara profesional, memapar informasi dengan metode terpercaya. Ongkos pengumpulan informasi (data) yang cukup mahal, di-dedikasi-kan kepada masyarakat. Bukan hanya dengan metode random sampling (pemilihan secara acak). Melainkan juga data faktual yang dikumpulkan dari setiap TPS di seluruh Indonesia.
Kerja keras dan profesional televisi, memperoleh respons positif. Seluruh masyarakat percaya hasil quick-count. Bahkan andai KPU mengumumkan hasil yang berbeda (mencolok) dengan quick-count, maka akan dicurigai tidak jujur. Akan diprotes secara luas. Artinya, hasil quick-count lebih dipercaya dibanding perhitungan manual KPUD. Bahkan tim sukses yang kalah telak, juga mempercayai hasil quick-count yang dipapar di televisi.
Hasil quick-count, realitanya, juga digunakan oleh beberapa paslon untuk menentukan sikap. Yakni, menerima legawa hasil (sementara) coblosan, atau akan dianggap sebagai sengketa hasil pemilu kepala daerah. Sengketa pilkada akan bermuara pada gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi tidak mudah, karena persyaratan gugatan maksimal berselisih 3%. Lebih dari 3% tidak dapat dilanjutkan ke MK, kecuali terdapat fakta pelanggaran pidana pilkada. Misalnya politik uang.
Gugatan sengketa pilkada, merupakan domain paslon. Namun pelanggaran (pidana) pilkada menjadi domain Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pada pilkada serentak tahun 2018 ini, Bawaslu sedang mendalami 35 kasus politik uang. Juga 13 kasus pelanggaran pengawasan di 8.700 lebih TPS yang dievaluasi. Pelanggaran (pidana) pilkada bisa dilakukan oleh penyelenggara di tingkat TPS (KPPS) sampai komisioner KPUD Kabupaten dan Kota.
Lebih dari 250 komisioner KPUD (dan jajaran Bawaslu) dipecat berdasar penetapan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Tuduhannya, menciderai sampai melanggar peraturan dan perundang-undangan pemilu kepala daerah. Pada pilkada serentak tahun 2017, pelanggaran oleh jajaran penyelenggara semakin berkurang. Diperkirakan pada pilkada serentak 2018, kinerja KPUD hingga KPPS, dan jajaran Bawaslu semakin baik.
Berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan tim sukses paslon pilkada, tidak kurang seksama mencermati kinerja penyelenggara. Termasuk dugaan (kuat) adanya gerakan intelijen BKO (Bawah Kendali Operasi). Konon dilakukan oleh aparatur negara dengan prakarsa individual. Gerakan ini dianggap intimidasi yang dapat menciderai netralitas aparatur negara dalam ranah pemilu. Jika tidak diselesaikan secara baik (diumumkan pelakunya), maka intelijen BKO dikhawatirkan makin menggejala pada saat pilpres, dan pilkada serentak tahun 2020.
Pernik kasus delik pilkada patut menjadi perhatian seksama untuk perbaikan penyelenggaraan pemilu. UUD pasal 22E ayat (1), mengamanatkan pemilu diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pilkada sebagai rumpun pemilu, wajib berpijak pada konstitusi. Terutama UUD pasal 18 ayat (4), yang meng-amanatkan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Menjadi Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota), bukanlah jabatan publik picisan. Seluruh janji kampanye harus sesuai visi dan misi wajib dituangkan sebagai Perda (Peraturan Daerah). Paslon terpilih, seyogianya telah bersiap-siap menjadi “manajer” daerah yang tidak sekadar menikmati hak protokoler. Melainkan memimpin seluruh masyarakat, membuka jalan meraih kesejahteraan.

——— 000 ———

Rate this article!
Legawa Hasil Pilkada,5 / 5 ( 1votes )
Tags: