Lelah Perang Dagang

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China (RRT), sudah dimulai. Realitanya, perekonomian dunia tidak terancam. Serta lazimnya, kerugian neraca perdagangan akan berdampak langsung pada kedua negara yang “berperang.” Sebaliknya, beberapa negara memiliki kiat meng-inovasi situasi menguntungkan neraca perdagangan semakin positif. Indonesia juga bisa memanfaatkan situasi “panas” AS vs RRT pada beberapa komoditas unggulan.
Pemerintah Donald Trump mengumumkan telah memberlakukan kenaikan tarif tahap pertama sebesar 15% terhadap barang-barang asal RRT. Yakni meliputi nilai impor senilai US$ 300 milyar. Artinya, AS akan mengeruk “kemahalan” senilai US$ 45 milyar. Dengan itu, barang asal RRT akan terasa mahal di AS. Sehingga omzet dagang RRT di AS akan susut. Terutama komoditas barang elektronik, termasuk jam tangan, satelit, dan alat kesehatan.
Nilai ekspor RRT, pada bulan Desember 2018, juga mengalami merosot tajam. Industri rumahan RRT juga terpukul. Antara lain produksi alas kaki beserta underwear (pakaian dalaman) lain. RRT melaporkan AS ke WTO (World Trade Organization). Sekaligus juga membalas tarif masuk barang-barang impor dari AS. Termasuk minyak mentah, dan bahan pangan. Tarif balasan RRT mencapai US$ 75 milyar.
Yang paling mengkhawatirkan masyarakat AS, adalah balasan RRT. Yakni, kalangan petani. Terutama kedelai, dan kacang-kangan lain. Bahkan pendapatan pertanian AS turun 13% setelah genderang perang diumumkan pada Maret tahun (2018) lalu. Ironisnya, surplus neraca perdagangan RRT terhadap AS makin besar pada hitungan bulan per-bulan. Mencapai puncaknya pada tahun 2018, sampai senilai US$ 323 milyar lebih. Semakin membuat Donald Trump gemas.
AS berdalih RRT melakukan “pencurian” kekayaan intelektual sehingga bisa menjual produk lebih murah. Akibat (asumsi) “pencurian” itu AS rugi US$ 300 milyar per-tahun. Asumsi pencurian kekayaan intelektual juga terjadi pada negara-negara Sekutu AS di Eropa. Sehingga boleh jadi, perang dagang antara AS dengan RRT akan diikuti negara-negara Eropa. Misalnya, efisiensi oleh Jaguar Land Rover di Inggris, mengurangi pekerja.
“Kekalahan” (defisit) perdagangan AS terhadap RRT sampai sebesar US$ 500 milyar per-tahun. Tetapi defisit sebenarnya telah terjadi sejak rezim presiden George Bush Jr, tahun 2005. Bahkan pemerintahan AS pernah meng-ekstradisi bos perusahaan teknologi telekomunikasi China, yang ditangkap di Kanada. Tetapi kebijakan perang dagang AS, sulit diikuti mitranya di Eropa. Terutama anggota negara-negara makmur G-7 (Kanada, Perancis, Jerman, Inggris, USA, Jepang, dan Italia).
Perang dagang AS vs RRT, merupakan gejala kambuhan. Tetapi pada perang sesi kedua (mulai 1 September 2019) telah melambung harga beberapa komoditas. Terutama harga emas telah mencapai US$ 1.556,15 per-troy once. Hanya tiga setelah pengumuman kebijakan Trump dilansir. Bahkan andai Trump memenangi pilpres AS (tahun 2020), perang dagang akan dilanjutkan.
Boleh jadi, terdapat peluang pengusaha nasional (Indonesia) berburu komoditas. Tak terkecuali sektor UMK (Usaha Mikro Kecil), antara lain barang jadi berupa furniture, dan garmen. Juga obat-obatan, terutama berbasis herbal. Biasanya, separuh kebutuhan rumahtangga Amerika, didatangkan dari RRT. Sedangkan ke RRT, Indonesia bisa menambah ekspor minyak kelapa sawit, sebagai pengganti minyak kedelai yang biasa didatangkan dari Amerika.
Tetapi AS maupun RRT memahami, dampak perang dagang akan dirasakan oleh kedua negara. Perekonomian kedua negara sama-sama melemah. Bisa menjadi “permainan” makelar internasional. Maka tim negosiator kedua negara, ditambah Menteri Keuangan AS, telah berupaya menyamakan “persepsi” dampak perang. Konon, kedua tim akan bertemu di Washington DC (AS), awal Oktober. Perang dagang tidak berlarut-larut.

——— 000 ———

Rate this article!
Lelah Perang Dagang,5 / 5 ( 1votes )
Tags: