Lelang Gula Rafinasi

ilustrasi

Pemerintah menunda lelang gula rafinasi, sampai sosialisasinya dirasa cukup memadai. Lelang, merupakan cara baru pengadaan gula rafinasi,. Tujuannya menjamin kepastian (validitas) data kebutuhan dalam negeri, sekaligus transparansi. Namun konon, cara lelang, bisa menyuburkan perburuan rente, berkedok koperasi serta industr kecil menengah. Namun impor gula mentah yang masih sebesar 2,423 juta ton, akan tetap mendesak produksi gula (tebu) lokal.
Jawa Timur sebagai sentra industri gula nasional, mesti siap-siap lebih gigih bersaing. Berdasar catatan APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), sekitar 600 ribu ton gula petani tidak terserap pasar. Semuanya masih tersimpan di gudang Divre Bulog di berbagai daerah. Kalah bersaing dengan gula rafinasi yang merembes edar di pasar tradisional. Diperkiarakan sebanyak 300-an ribu ton gula rafinasi beredar di pasar tradisional, dan supermarket.
Di pasar, gula kristal putih seharga Rp 12 ribu per-kilogram. Sedangkan gula rafinasi Rp 10.500,- per-kilogram. Selama ini lazimnya pasar mampu menyerap sekitar 120-an ribu ton per-bulan. Kini terus menyusut. GuIa petani (di PG) yang tidak terserap pasar, niscaya menyebabkan tunggakan pembayaran tidak akan tuntas. Petani rugi. Karena itu jajaran PG (Pabrik Gula) memerlukan diversifikasi produk.
PG, patut diberi kewenangan tidak hanya meng-giling tebu rakyat menjadi gula Kristal putih. Melainkan juga memproduksi gula rafinasi. Sehingga impor gula rafinasi bisa dikurangi. Tahun ini (Januari sampai Juli 2017), keran impor gula rafinasi masih senilai US$ 1,187 milyar. Ini berarti peningkatan sebesar 33% (sepertiga) dibanding periode yang sama pada tahun (2016) lalu. Lebih lagi, harga gula rafinasi impor makin murah.
Penundaan lelang gula rafinasi, diharapkan cukup member waktu PG untuk “mengambil nafas.” Sebelumnya, tataniaga gula rafinasi berlaku asas kontrak. Yakni, industri pengguna bisa langsung membeli dari produsen sesuai kontrak. Bisa dibeli sebanyak-banyaknya. Termasuk untuk ditimbun. Dengan cara baru (lelang), industri pengguna harus mengajukan proposal sesuai kebutuhan. Dalam hal ini pemerintah (Kementerian Perdagangan) lebih aktif.
Cara baru tataniaga gula rafinasi diatur dalam Permendag Nomor 16 tahun 2017 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi melalui Pasar lelang Komoditas. Industri besar dan menengah kelabakan. Sehingga menunda pengajuan proposal, sekaligus mem-protes cara lelang. Konon lelang bisa menyuburkan perburuan rente (per-calo-an). Yang dituding sebagai calo, adalah koperasi dan asosiasi UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) peserta lelang.
Karena itu industri besar meng-ingin-kan, Bulog menjadi “perwakilan” induk koperasi dan himpunan UMKM. Agar peserta lelang tidak terlalu banyak. Kementerian Perdagangan mengharapkan peserta lelang lebih dari seribu calon pembeli. Selain asas pemerataan, pemerintah akan memperoleh biaya transaksi. Walau tidak besar, hanya Rp 85,- per-kilogram. Namun dengan jumlah 3 juta ton, penghasian dari lelang mencapai Rp 255 milyar.
Nampaknya, industri besar telah terbiasa dengan cara lama (kontrak). Padahal kontrak, sangat rentan suap terhadap pejabat. Dan industri besar bisa menjadi calo gula rafinasi, karena membeli lebih besar dibanding kebutuhannya. Maka cara lelang maupun kontrak, sesungguhnya sama-sama memiliki titik lemah. Sama-sama bisa menyuburkan per-calo-an. Tetapi kontrak lebih sulit diawasi. Terbukti, banyak gula rafinasi merembes deras ke pasar.
Maka cara baru (lelang), bisa menjadi alat ukur lebih valid kebutuhan gula rafinasi. Agar tidak meng-ganggu peredaran gula dari PG (milik rakyat). Tetapi seluruh tataniaga gula rafinasi, wajib disesuaikan dengan UU Nomor 7 tahun 2014, tentang Perdagangan. Pada pasal 18 ayat (2) dinyatakan, pasar lelang komoditas diatur dengan Peraturan Presiden. Tidak cukup dengan Peraturan Menteri.

———   000   ——— 

Rate this article!
Lelang Gula Rafinasi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: