Libur Sekolah dan Program Tantangan Membaca

Eko-Prasetyo-227x300Oleh :
Eko Prasetyo
Pendidik, peneliti pada Bina Qolam Indonesia

Menjelang tahun ajaran baru 2015/2016 saat ini bersamaan dengan bulan suci Ramadan. Kondisi ini juga bertepatan dengan libur sekolah. Namun, tidak sedikit orang tua yang bingung hendak memberikan kegiatan positif apa kepada anak-anak di masa libur sekolah seperti sekarang.
Oase Literasi
Beberapa waktu lalu Dinas Pendidikan Kota Surabaya menggulirkan program tantangan membaca bagi sekolah-sekolah di Kota Pahlawan. Bentuknya, sebelum jam pelajaran dimulai, pihak sekolah mengadakan kegiatan membaca buku secara senyap (silent reading) selama 15-20 menit. Siswa diperkenankan membawa buku bacaan yang disukai dari rumah.
Targetnya, siswa dapat menumbuhkan minat baca sekaligus membuat resume dari hasil bacaannya berupa tulisan semacam resensi yang sederhana. Pihak sekolah juga dianjurkan membukukan tulisan-tulisan siswa yang telah diseleksi berupa esai, cerpen, dan puisi. Visi program tantangan membaca ini adalah membangun kultur literasi sejak dini. Di sisi lain, kegiatan tersebut merupakan bagian dari implementasi program Surabaya kota literasi yang dicanangkan Wali Kota Tri Rismaharini pada 2014 lalu.
Kendatipun belum diperoleh hasil evaluasi mutakhir terhadap program ini, kita sepatutnya menyambut baik. Pasalnya, tak bisa dimungkiri bahwa pesatnya teknologi digital dan internet menambah daftar godaan bagi anak-anak didik di Indonesia, terutama perkotaan. Disebut godaan karena mudahnya akses internet saat ini didukung oleh mudahnya mendapatkan gadget canggih.
Adalah pemandangan yang umum ketika banyak pelajar mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah atas membawa ponsel pintar (smartphone). Hal ini tidak bisa dibendung karena komunikasi telah dianggap menjadi kebutuhan yang sama pentingnya dengan kebutuhan primer seperti makan atau minum. Ditambah lagi dengan harga ponsel pintar yang kian terjangkau. Persoalannya, kondisi tersebut justru menambah kekhawatiran akan akses negatif terhadap internet itu sendiri.
Internet menjadi pintu gerbang masuknya segala “virus” yang bisa membuat anak menjelma menjadi apa saja. Maksudnya, menjadi apa saja sesuai dengan “virus” yang menyerangnya. Game-game online yang mudah diakses melalui gadget, misalnya. Tidak sedikit pemberitaan negatif tentang anak yang kecanduan game online tanpa adanya kontrol dari orang tua.
Barangkali berita soal tindak kekerasan yang melibatkan pelaku anak yang disebabkan kecanduan game online bisa menjadi contoh. Akses internet secara negatif oleh anak juga menjadi patut menjadi perhatian semua kalangan, terutama pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat.
Maka, di tengah situasi seperti ini, program tantangan membaca sesungguhnya merupakan oase yang menyejukkan. Dalam program ini, ketika pengambilan rapor, pihak sekolah menambahkan tugas membaca tiga judul buku dan membuat rangkuman dari hasil bacaan kepada siswa. Tidak hanya itu, siswa juga diberi target membaca 30 judul buku selama satu tahun.
Tugas ini tentu sangat baik bagi perkembangan wawasan dan pengetahuan siswa. Memang ada kesan pemaksaan di sana. Namun, yang perlu disadari adalah dengan kondisi psikologis para siswa di Indonesia pada umumnya, pemaksaan ini tidaklah berlebihan. Pada era pemerintah Kolonial Belanda dahulu, sekolah-sekolah pun mewajibkan membaca buku tertentu kepada anak-anak didiknya. Maka, tidaklah mengherankan apabila di antara generasi kakek dan nenek kita banyak yang fasih berbahasa asing serta luas wawasannya karena dampak pewajiban membaca tersebut.
Dalam konteks ini, kita diharapkan dapat melihat “pemaksaan” itu secara positif. Para siswa awalnya mungkin perlu dipaksa membaca agar kemudian bisa merasakan kesenangan saat mendapatkan pengetahuan dari sebuah buku. Di sisi lain, aktivitas membaca di saat libur sekolah seperti sekarang tentu bisa menjaga jarak sang anak dengan gadget.
Dukungan Keluarga
Dengan gempuran gadget dan kemudahan akses teknologi informasi saat ini, di dunia pendidikan hal ini membawa dilema tersendiri. Di satu sisi, hal itu menjadi kebutuhan komunikasi. Namun, di sisi lain, ada dampak bagi anak-anak didik seperti keranjingan games online dan media sosial.
Kondisi tersebut menjadi kontraproduktif. Di luar negeri, gadget dimanfaatkan untuk keperluan komunikasi dan menggali informasi. Sementara di Indonesia kebanyakan gadget dipergunakan untuk bermain games dan bermedia sosial ria.
Akses yang berlebihan itulah yang patut dikhawatirkan. Karena itu, upaya memberikan formulasi pengisi musim liburan yang bermanfaat dengan program tantangan membaca sudah selayaknya didukung. Diperlukan kerja sama untuk menjalankan fungsi kontrol yang baik oleh pihak sekolah dan orang tua. Setidaknya program ini juga memiliki tujuan lain agar orang tua mampu membimbing anak dalam hal konsumsi bacaannya. Dengan demikian, juga terbangun kedekatan emosional yang baik antara orang tua dan anak, yang disadari atau tidak pada masa modern sekarang telah tersekat oleh gadget.
Kita tentu tidak menginginkan hasil riset UNESCO pada tahun 2012 terus terjadi di tanah air. Dari hasil penelitian tersebut, minat baca orang-orang di Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dalam setiap seribu orang, hanya satu yang mempunyai minat membaca buku.

                                                                                                                ————– *** —————-

Tags: