Lima Tahun Terakhir Laporan Keuangan Pemda di Jatim Makin Tertib

Kepala BPK Perwakilan Jatim Novian Herodwijanto SE, MM, AK,CA menjadi narasumber dalam Media Workshop Pemahaman tentang Opini BPK atas LKPD di kantor BPK Perwakilan Jatim, Rabu (6/12). [titis/bhirawa]

Pemprov Jatim, Bhirawa
Dalam lima tahun terakhir, laporan keuangan pemda di Jatim makin membaik. Ini dibuktikan dengan semakin banyaknya pemda yang mengantongi opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dalam LKPD (Laporan Keuangan Pemerintah Daerah) oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Perwakilan Jatim.
Dari sasaran entitas yang dinilai, yakni 39 pemda (termasuk Pemprov Jatim) dan 144 BUMN di Jatim, jika pada 2012 baru 13 pemda yang meraih opini WTP, pada penggunaan tahun anggaran 2016 yang dipublikasikan pada 2017 jumlah pemda yang meraih WTP meningkat menjadi 31.
“Setidaknya ini menjadi indikasi jika pemerintah daerah makin tertib dalam penggunaan anggaran,” kata Kepala BPK Perwakilan Jatim Novian Herodwijanto SE, MM, AK,CA dalam Media Workshop Pemahaman tentang Opini BPK atas LKPD (Laporan Keuangan Pemerintah Daerah) di kantor BPK Perwakilan Jatim, Rabu (6/12).
Dijelaskan Novian, pada penilaian tahun anggaran 2012, sebanyak 31 pemda meraih opini WTP dan 26 sisanya meraih WDP (Wajar Dalam Pengecualian). Pada 2013, sebanyak 17 pemda meraih WTP, 21 pemda meraih WDP dan 1 pemda dinyatakan TW (Tidak Wajar). Selanjutnya pada 2014 sebanyak 25 pemda meraih WTP dan 14 pemda meraih WDP. Pada 2015 sebanyak 31 pemda meraih WTP dan 8 pemda meraih WDP. “Untuk penilaian tahun anggaran 2017, baru akan dirilis Maret 2018,” katanya.
Dijelaskan Novian BPK memiliki standar pemeriksaan yang sangat ketat atas LKPD. Di antaranya meliputi kesesuaian dengan standar akutansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan/data pendukung, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan efektivitas pengendalian intern. Dan merujuk statistik temuan pada LKPD di wilayah Jatim pada tahun anggaran 2016 masih saja ditemukan kelemahan sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan. Imbasnya ada salah saji laporan keuangan, kekurangan penerimaan dan penyimpangan administrasi hingga potensi kerugian daerah/negara. “Ini yang ke depannya perlu dibenahi,” katanya.
Diakui Novian hingga kini masih saja muncul mispersepsi tentang WTP. Misalnya muncul persepsi jika WTP itu terserah kapan diberikan BPK, atau semua akan WTP pada waktunya. Bahkan ada yang berpersepsi sekali meraih WTP selamanya pasti WTP. “Ini hal yang menyesatkan. Karena BPK memberikan predikat WTP itu tergantung kinerja pemerintah daerah dalam mengelola anggarannya. Jadi bukan tergantung BPK, tetapi tergantung kerja pemda itu sendiri. Dan yang meraih WTP tahun ini, belum tentu meraih WTP pada tahun mendatang jika banyak anggaran dari APBD yang tak bisa dipertanggungjawabkan secara administratif disertai data pendukung,” katanya.
Dia juga menyayangkan respon negatif pemda ketika mendapat WTP. Ada yang menggunakan WTP sebagai modal politik, ada yang menggunakan WTP untuk mendapatkan intensif. “Khusus untuk hal-hal semacam ini saya hanya bisa menegaskan bahwa penilaian keuangan ini adalah kewajiban. Penilaian ini justru menjadi jembatan pengelolaan keuangan yang akuntabel sehingga penyimpangan yang ada menjadi zero. Dan perlu saya tegaskan BPK independen dalam melakukan penilaian, tidak berpolitik,” katanya.
Dia menyarankan agar pemda yang telah meraih WTP terus melakukan strategi untuk mempertahankan kualitas LKPD dengan menindaklanjuti seluruh rekomendasi hasil pemeriksaan BPK, pro aktif mengonsultasikan permasalahan melalui APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah), memperkuat SPI (Satuan Pengawas Internal) dalam rangka mencegah, mendeteksi dan memperbaiki kesalahan serta menindaklanjuti freud, meningkatkan kapasitas SDM pengelola keuangan, TI dan Inspektorat. [tis, nel]

Tags: