Limbah Medis CoViD-19

foto ilustrasi

Lmbah medis CoViD-19 wajib menjadi perhatian seksama seiring peningkatan kasus positif dan perawatan isolasi. Perluasan area isolasi di luar rumah sakit (RS) menyebabkan limbah medis CoViD-19 terlepas kontrol. Terutama isolasi di hotel, penampungan isolasi komunitas, serta isolasi mandiri di rumah. Diperkirakan terdapat sebanyak 6.100 ton limbah medis CoViD-19 tersebar di seluruh Indonesia. Ombudsman RI memperkirakan sekitar 138 ton per-hari.

Perhitungan potensi limbah medis CoViD-19 berdasar data Kementerian Kesehatan per-31 Januari 2021. Yakni, jumlah pasien yang dirawat di RS rata-rata sebesar 40% dari total kasus aktif (sebanyak 175 ribu orang). Maka terdapat 70 orang, dengan potensi timbulan limbah per-orang sebanyak 1,88 kilogram. Berkait penanganan CoViD-19, Ombudsman RI melakukan penjejakan di Jawa Barat, Sumetara Barat, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Maluku, Bali, dan Papua.

Seiring peningkatan kasus CoViD-19, pemerintah (dan daerah) juga melaksanakan “pembantaran” kasus positif di luar RS. Termasuk pembantaran khusus OTG (Orang Tanpa Gejala) di berbagai area yang tidak berstandar rumah sakit. Walau seluruh identitas penyintas terdata, namun limbah medis CoViD-19 di luar RS lolos dari pengawasan pemerintah (dan Satgas). Temuan limbah di luar kontrol biasa berupa incinerator tidak sesuai prosedur, alat angkut tidak sesuai standar, serta tidak dilakukan pemilahan limbah.

Bahkan ditemukan limbah APD (Alat Pelindung Diri) termasuk baju hazmat di tempat laundry. Penjejakan Ombudsman RI, ber-sesuai-an dengan temuan Polres Bogor, Jawa Barat. Sebanyak 120 kantong berisi limbah medis CoViD-19 ditemukan di area perkebunan sawit milik PTPN VIII, Cigudeg, Bogor. Berdasar penyidikan Kepolisian, limbah berasal dari Tangerang, sengaja dibuang di tempat sepi. Pelaku pembuangan, dan pemilik limbah (hotel bintang 4 di Tangerang) bermodus ongkos murah.

Tetapi tiada area yang boleh (patut) dijadikan “tong sampah” pembuangan limbah. Ironisnya, masih terdapat banyak kawasan dijadikan area buang limbah, terutama pada puncak musim hujan. Biasanya, kawasan perairan (laut dan sungai) dijadikan tong sampah. Juga lahan kosong yang luas dijadikan area buang limbah industri dan RS. Niscaya dapat menyebarkan berbagai penyakit dan pengrusakan lingkungan sistemik.

Limbah medis khusus milik RS menjadi ancaman kesehatan, sangat mencemaskan masyarakat di tempat pembuangan. Sebab limbah medis biasa mengandung B3 (Bahan Beracun Berbahaya). Yakni mikro-organisme pathogen bersifat infeksius, serta bahan kimia beracun. Sebagian bersifat radioaktif. Apabila tidak dikelola dengan baik, bisa mempengaruhi kesehatan (manusia dan hewan), serta memperburuk kualitas lingkungan hidup.

Padahal sejak 13 tahun lalu telah diterbitkan Kep-Menkes Nomor 1204 tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Isinya, kewajiban setiap RS harus memiliki fasilitas pengolahan limbah padat dan limbah cair. Limbah medis digolongkan menjadi 5 golongan yang khas, masing-masing di-syaratkan cara penyimpanan berbeda (warna). Yakni, limbah infeksius dan patologi harus dibungkus plastik warna kuning.

Begitu pula limbah farmasi (obat kadaluwarsa) ditandai bungkus coklat, limbah sitotoksis (sisa kemoterapi) ditandai bungkus ungu. Sedangkan limbah medis padat (jarum suntik, pipet dan alat medis lain) dibungkus dalam safety box. Serta yang paling bahaya, limbah radio aktif (kontaminasi radio isotop bekas penggunaan medis, dan laboratorium) harus dibungkus warna merah.

Pembuang limbah medis melanggar dua undang-undang (UU) sekaligus. Yakni, UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, serta melanggar UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga patut diberlakukan extra-ordinary crime (kriminal luar biasa), disejajarkan dengan terorisme. Pantas memperoleh hukuman maksimal.

——— 000 ———

Rate this article!
Limbah Medis CoViD-19,5 / 5 ( 1votes )
Tags: