Limbungnya Keseimbangan Sastrawan Kita

Oleh :
Indah Noviariesta
Pegiat organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa)

Saat ini, perubahan besar yang dipicu kemajuan teknologi tengah menghadirkan gelombang perubahan mendasar di kalangan para penulis dan sastrawan kita. Mereka yang disebut “sastrawan senior” kini tak lagi menjadi pemain tunggal yang dominan dalam sajian dunia literasi dan pembelajaran sastra. Proses berinovasi di kalangan sastrawan tak lagi cukup dipandang sebatas penciptaan nilai dan daya kreasi yang serba berpihak atau bertepuk sebelah tangan. Untuk itu, para sastrawan perlu menyadari bahwa kemaslahatan (impact) harus menjadi kata kunci, sehingga mereka dituntut untuk membangun dan men-delivery inovasi baru secara kreatif.

Perubahan besar ini niscaya akan mendisrupsi dunia sastra dan kepenulisan kita. Jarang penulis generasi tua yang sanggup merancang sistem inovasi dan kreatifitasnya. Budaya berkarya dan berkreasi di kalangan sastrawan tua, belum sepenuhnya bertumpu pada rancangan aktivitas yang melibatkan pengetahuan lintas disiplin ilmu. Di beberapa tempat bahkan masih kental dengan aroma bekerja berdasarkan hasil diskusi atau dialog sesuka kelompok, faksi atau gerombolannya sendiri.

Di sisi lain, masih jarang penulis muda yang mau berdiri secara independen, dengan berani menerapkan pola berkreasi dengan basis grup riset sebagaimana novel Pikiran Orang Indonesia. Kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi tak pelak seharusnya memaksa setiap penulis dan sastrawan agar berpijak pada kesadaran fusi intelektual, di samping kreatifitas imajinasi semata.

Program “Kampus Merdeka” di tingkat perguruan tinggi, akan membuka wacana baru yang mencerahkan bagi dunia kesusastraan Indonesia. Saya memandang pentingnya program ini, karena dibangun dari sandaran fakta bahwa sumber pengetahuan kini telah tersebar di beragam simpul aktivitas, tak terkecuali di dunia seni dan sastra.

Industri penerbitan, lembaga kebudayaan dan perpustakaan, kolom dan panggung kesenian, hingga lembaga riset dan penelitian, merupakan simpul yang menyimpan nilai keunggulan yang dapat memperkaya khazanah berpengetahuan. Di dunia kampus, pengalaman belajar yang berkeunggulan dibangun dari konsep fusi intelektual yang diikuti oleh pola berkarya dan berkreasi yang bersifat co-creations, lalu membuahkan apa yang disebut sebagai co-innovations. Pada gilirannya, akan melahirkan tautan antar pihak penyumbang keunggulan dalam satu ruang peran yang dinamis dan saling bersinambung.

Jadi, bukan hanya di lingkup partai politik yang memunculkan faksi-faksi pendukung yang bersinergi saling menunjang dan menguatkan, namun juga harus terjadi di dunia sastra dan kepenulisan. Sehingga, tidak menutup kemungkinan para pemain lama yang saklek dan obsolete akan terdisrupsi secara alamiah. Namun, tidak menutup kemungkinan muncul para pemula yang melahirkan karya-karya baru demi keabadian.

Opini di kompas.id (20 Maret 2022) yang bertajuk “Sastra, Takhayul, dan Kebuntuan Ideologis”, dapat membangun akal sehat dan nurani kita, betapa pentingnya kita melahirkan skema tindakan bersama yang lalu direkognisi sebagai bagian dari pembangunan peradaban manusia Indonesia. Namun konsekuensinya, akan terus kita hadapi bersama, terutama soal munculnya distorsi persepsi atas lompatan perubahan ini, terutama di kalangan seniman dan sastrawan yang hidup dalam kemapanan status quo, bahkan mereka yang “pongah” menganggap dunia seni hanya diperuntukkan untuk seni.

Kalangan sastrawan senior ini, dengan tidak mengurangi rasa hormat, harus siap menghadapi generasi milenial yang bicara apa adanya. Bahkan, mereka sudah pasang ancang-ancang untuk meneriakkan yel-yel, bahwa para sastrawan tua tak ubahnya dengan para budayawan yang menginduk pada perspektif tunggal penguasa Orde Baru, yang kini telah menjelma pujangga-pujangga yang mengalami mati rasa.

Adapun perihal “mati rasa” ini cukup tendensius, karena persoalannya bukan semata-mata “rasa” yang dikecap oleh lidah, terutama soal asin, manis dan kecut. Juga bukan rasa perih akibat mengalami lecet dan memar lantaran jatuh terpeleset. Namun, soal rasa yang menguasai hati insan yang terasa amat janggal bila diperiksa secara medis.

Kenapa rasa itu begitu janggal? Karena ketika diperiksa melalui stetoskop untuk detak jantung, juga termometer untuk suhu badan, tampaknya tidak ada kelainan secara fisik dan organik. Lalu, ada apa dengan kekuatan frase dan diksi-diksi mereka? Mengapa larik-larik syair dan puisi terasa hambar akhir-akhir ini? Barangkali jawabannya tak lain dan tak bukan: “Karena sudah tak ada lagi jiwa dalam bait-bait puisi itu!” Para pujangga yang hatinya telah “mati rasa” hanya mampu menuliskan deretan kata-kata yanag membosankan, seolah hanya menarik simpati pada dirinya sendiri.

Para penulis milenial kerap menyebutnya dengan sikap kelebihan wishfulthinking, atau perasaan seolah-olah yang berlebihan. Lalu, apakah cinta telah lama menjauhi para pujangga kita? Apakah rindu telah menghasut bulan dan bintang agar senantiasa bersembunyi dalam lembah kegelapan, sehingga mereka bangkit selaku pujangga-pujangga yang mengobarkan amarah dan dendam kesumat?

Lalu, adakah yang bisa menolong mereka yang telah mati rasa itu? Adakah sentuhan lembut bisa menyapa relung-relung batin mereka? Mungkinkah cinta membangkitkan hati nurani, agar rasa bahagia dapat terpancar pada goresan pena mereka? Mungkinkah respek dari pembaca akan terwujud, manakala publik tak memperoleh benefit dari pencapaian yang disajikan sang sastrawan?

Ketika maraknya penulis-penulis milenial yang membahas narasi Pikiran Orang Indonesia di berbagai media luring dan daring, termasuk opini yang genuine di kompas.id, alif.id, Jurnal Toddoppuli, Ahmad Tohari’s Web, NU Online dan banyak harian-harian daerah, kontan terjadi guncangan dan kegelisahan di sana-sini. Namun, penulis novel tersebut menyatakan dalam acara bedah bukunya (baca: kompas.id, “Memahami Skizofrenia dari Karya Sastra”) bahwa guncangan-guncangan itulah yang memang dibutuhkan untuk pencapaian perubahan yang dibutuhkan.

“Masih banyak kekurangan pada karya-karya saya, termasuk novel Pikiran Orang Indonesia,” ujar Hafis Azhari, “meskipun segala kritik dan saran, hingga makian sekalipun, justru akan membawa saya pada sikap introspeksi atau mawas diri yang memang diperlukan.”

Lompatan perubahan inilah yang kelak bisa membangun co-innovation agar memiliki posisi tawar kuat dalam eksosistem yang mumpuni di dunia kebudayaan, sehingga para sastrawan muda tak mau terjebak oleh interpretasi yang kelewat pragmatis. Fenomena munculnya karya-karya milenial (semisal Jenderal Tua dan Kucing Belang) yang sanggup tampil secara independen, seakan menghadirkan pengalaman baru yang tak biasa, menguatkan pemahaman tentang dunia sastra (prosa) tak ternilai, sampai pada waktunya melahirkan impak signifikan.

Saya melihat inilah pola yang sedang diinginkan negara. Semuanya berjalan secara serempak, baik di dunia ekonomi, bisnis, kebudayaan hingga relung-relung pendidikan di kampus-kampus perguruan tinggi. Dunia seni dan sastra diniscayakan bergerak secara serempak, dalam irama dan sinergi untuk menghasilkan impak yang signifikan juga. Tentu maraknya pembahasan opini, resensi hingga debat-debat di kampus maupun lembaga kebudayaan, khususnya mengenai novel Pikiran Orang Indonesia, bagi penulisnya sudah cukup klop ditempatkan dalam logika semacam itu.

Kalaupun kini muncul guncangan-guncangan, justru itulah yang kita butuhkan, sehingga banyak pihak yang merasa terusik untuk melakukan pencapaian-pencapaian baru, serta lompatan perubahan demi kemajuan budaya dan peradaban manusia Indonesia.

———— *** ————-

Tags: