
foto ilustrasi
Lagu “Kolam Susu” oleh grup band Koes plus, kini terasa tidak sesuai dengan nasib nelayan. Syair lagu (dalam album “Nusantara”) itu sebenarnya berbentuk syair doa. Sebagai penguat spirit kerja nelayan. Karena dua pertiga wilayah Indonesia merupakan wilayah pantai. Semoga tiada badai, dan semoga banyak ikan dan menghampiri jala nelayan. Tetapi kini, tidak sembarang jala boleh ditebar.
Presiden Jokowi telah meng-instruksi-kan penundaan terhadap larangan penggunaan jala cantrang. Penundaan dilakukan sampai nelayan mampu melaksanakan. Namun keterlanjuran larangan (penerbitan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan), menyebabkan kegelisahan. Nelayan tidak berani jala cantrang, berimbas pada keterbatasan kinerja melaut. Konon, ketakutan nelayan menggunakan cantrang, menyebabkan kerugian sampai Rp 3,4 trilyun.
Hingga kini pemerintah belum memberi fasilitasi pengganti jala cantrang yang dilarang. Berdasar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 2 tahun 2015, jala cantrang (sejenis trawl) dilarang. Alasannya jala berukuran rongga rata-rata sekitar 3,75 sentimeter, itu bisa menyasar ikan yang masih kecil. Seharusnya mata jala cantrang berukuran 5,5 sentimeter. Ini untuk memberi kesempatan ikan yang masih kecil (berbobot kurang dari 300 gram) agar tumbuh dan berkembang.
Maksudnya, ikan yang masih kecil seharusnya dibiarkan hidup, bertelur dan beranak. Sekaligus sebagai sumber persediaan dan budidaya alamiah. Namun penggunaan cantrang sempit mulai dugunakan sejak menjelang tahun 2000, sebagai modifikasi jaring trawl. Khususnya masif di seantero pulau Jawa (mulai perairan Ujung Kulon di Banten, sampai Muncar di Banyuwangi, Jawa Timur). Alasan lainnya, di seluruh dunia jaring trawl juga telah dilarang.
Cantrang berbeda dengan trawl (luar negeri)? Kelompok nelayan memiliki reasoning memadai. Karena cantrang di pulau Jawa berbeda dengan trawl di Eropa maupun Amerika yang biasa digunakan untuk melaut di samudera luas. Sedangkan nelayan lokal, biasanya melaut pada area terbatas, tidak jauh dari kampung pantai. Sehingga luas area sapuan cantrang sangat terbatas dan tingkat pengadukan dan penggarukan dasar perairan relatif kecil.
Nelayan lokal melaut pada areal sekitar radius 20 kilometer dari kampung asal. Ini juga konsekuensi penggunaan BBM bersubsidi (solar untuk nelayan). Karena jangkauan nafkah yang sempit, menyebabkan jenis tangkapan sangat terbatas. Maka untuk menambah penghasilan, tiada cara lain, terpaksa digunakan jala cantrang sempit. Ikan yang masih kecil bisa turut terperangkap.
Tetapi ikan kecil (kurang dari 300 gram) merupakan kegemaran konsumsi lokal. Faktanya, masyarakat lebih menyukai ikan kecil yang utuh, dibanding potongan daging ikan. Kinerja nelayan Eropa (dan Amerika) memang beda, tangkapannya harus ikan besar, untuk kepentingan industri. Juga disesuaikan dengan kegemaran masyarakat-nya yang lebih suka daging potongan ikan.
Bukti (kebiasaan) lainnya, jaring “cantrang Jawa” tidak mempunyai kemampuan untuk bergerak saat tersangkut benda dasar berukuran besar (misalnya batuan karang). Dus cantrang sempit tidak mengganggu ekosistem dasar yang biasanya merupakan tempat pemijahan ikan. Maka larangan penggunaan cantrang sempit, niscaya mengurangi hasil tangkapan.
Lebih lagi, juga terdapat Permen KP Nomor 1 tahun 2015, yang melarang penangkapan lobster, kepiting dan rajungan yang sedang bertelur. Dan dilarang keras meng-ekspor! Padahal lobster, kepiting dan rajungan yang mengandung telur, sangat disukai masyarakat (konsumen dalam negeri maupun luar negeri). Harganya sangat mahal, menjadi andalan nelayan.
Penghasilan nelayan telah merosot tajam. Karena itu kelompok nelayan di pulau Jawa, mengadu kepada Komisi IV DPR. Sebelumnya, enam gubernur juga menerima pengaduan serupa. Nelayan bersikukuh tetap menggunakan cantrang sempit. Serta boleh menangkap komoditas laut bernilai mahal sebagai penunjang penghasilan.
——— 000 ———