Lingkungan di Tengah Tsunami Pandemi

Oleh:
Rachmad K Dwi Susilo, PhD
Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam pada Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Ketua Program Studi Sosiologi FISIP UMM dan Alumni Hosei University, Tokyo)

Peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia, 5 Juni 2021 ini masih menghadapkan kita pada pandemi dan krisis lingkungan. Persebaran covid 19 membuka mata dunia, sekalipun sebagai perubahan sosial, ia tidak dikehendaki (unintended social change), tetapi ia telah memaksa turunnya tingkat eksploitasi manusia pada lingkungan.

Proyek-proyek yang merusak lingkungan dipaksa berhenti. Bisnis yang lesu menyebabkab roda ekonomi bergerak melambat. Belum lagi, keberhasilan dan kegagalan mengatasi wabah menjadi indeks kinerja tiap negara yang akhirnya berimplikasi kerja sama ekonomi.

Pandemi menjadi momok yang memaksa manusia berfikir ulang untuk melakukan mobilitas sosial. Konsekuensi ekologis dari perubahan global ini, pencemaran udara menurun, udara kota kembali bersih dan keragaman hayati pulih. Singkatnya, lingkungan terkonservasi secara alamiah.

Data dari Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (2020) menunjukkan hal ini. Pandemi menyebabkan perbaikan kualitas air pada sungai-sungai di Indonesia. Kondisi yang sama seperti yang terjadi di beberapa sungai di Wuhan dan Venesia. Sementara itu, Pemantauan kualitas air sungai pada Stasiun Monitoring KLHK menunjukkan Konsentrasi Zat Pencemar Organik (BOD dan COD) mengalami penurunan di Sungai Brantas dan Konsentrasi Amoniak di Sungai Ciliwung.

Sekalipun demikian, laju kerusakan lingkungan tetap belum bisa dikendalikan. Forum Air Dunia II (World Water Forum) di Den Haag yang diselenggarakan Maret 2020 memprediksikan Indonesia sebagai salah satu negara yang akan mengalami krisis air di tahun 2025 (Statistik Lingkungan Hidup Indonesia Air dan Lingkungan 2020).

Persoalan sampah juga belum banyak ditangani. Februari 2019 KLHK merilis sedikitnya 64 juta ton timbunan sampah setiap tahunnya. Ironisnya, hanya sekitar 60 persen sampah diangkut dan ditimbun ke TP, sementara itu 10% sampah didaur ulang, sedangkan 30% lainnya tidak dikelola. Termasuk di dalamnya sampah masker dan perlengkapan medis yang meningkat sejak pandemi.

Selain itu, Greenpeace menyatakan bahwa 20-30 persen polusi udara yang ada di Jakarta adalah hasil sumbangan dari emisi yang dihasilkan PLTU berbahan bakar batu bara. Kesimpulannya, pencemaran udara masih menjadi persoalan lingkungan yang sekaligus menunjukkan gagalnya transisi energi yang menyebabkan konsumsi tinggi bahan bakar fosil.

Krisis lingkungan diperparah dengan maraknya bencana alam yang disebabkan krisis kesiapsiagaan saat menghadapi bencana hidrometerologis. Selain curah hujan tinggi dan banjir, ancaman tsunami akan menjadi potensi bencana yang harus dihadapi warga bumi. Seperti dinyatakan Kepala BMKG, Dwikorita (28 Mei 2021) tentang skenario terburuk gempa bumi M 8,7 hingga genangan akibat tsunami yang berpotensi baik di Jawa Barat dan di Jawa Timur.

Dominannya sahwat konsumsi, dominasi sistem kapitalisme dan industri budaya populer menguatkan eksploitasi manusia pada sumber daya alam dan membuat manusia abai pada bencana. Akibatnya, kita melihat berbagai macam krisis dan kerusakan lingkungan sebagai ancaman yang selalu ditanggapi dengan cara tidak maksimal.

Relasi Manusia dengan Lingkungan

Krisis lingkungan terjadi karena sumber daya alam dijadikan obyek konsumsi manusia. Keadaan ini diperparah jumlah penduduk yang tidak bisa dikendalikan. Neo-Malthusian menyatakan bahwa semakin banyak mulut manusia yang disuapi, semakin rentan kondisi lingkungan dan sumber daya alam.

Konsumsi didorong mental eksploitatif sebagai produk gagasan (the ideal) yang membimbing keputusan-keputusan individu/kelompok. Sebagai penentu, ia tidak berdiri sendiri dan berinteraksi dengan materi (the material) dan praktik (the practical) (Michael M. Bell, 2004).

Materi menunjuk berbagai sumber daya alam di sekitar kita. Bahan tambang, lahan, bukit, pantai dan sungai menjadi contoh material tersebut. Sedangkan, pembangunan berkelanjutan (sustainable development), tata kelola lingkungan, pelembagaan pengetahuan lokal dan konservasi berbasis budaya/agama sebagai contoh-contoh praktik.

Disahkannya UU Omnibus Law, misalnya, menunjukkan interaksi manusia dengan lingkungan kehutanan, minyak dan gas, pertanian perkebunan dan energi. Liberalisme bisnis sumber daya alam dengan kekuasaan besar pada para pemilik modal, kontrol lemah stakeholders lokal & masyarakat sipil ini berpotensi melahirkan krisis lingkungan.

Pertobatan Ekologis

Langkah paling bijak dalam menanggapi krisis lingkungan di tengah tsunami pandemi yaitu menata kembali relasi manusia dengan makhluk biotik/abiotik atau manusia dengan lingkungan/sumber daya alam itu. Kemunculan dan persebaran covid 19 seharusnya melahirkan pertobatan ekologis dan kesadaran. Virus berkembang mengikuti lingkungan yang tidak seimbang karena pandemi adalah bencana non alam produk kreativitas manusia pada teknologi yang diantarai perubahan iklim dan pemanasan global (global warming).

Sejatinya alam yang lestari akan berpihak pada manusia, pada saat ada virus atau bakteri yang masuk ke bumi, otomatis alam menghilangkan gangguan manusia tersebut. Berarti virus yang berbiak secara liar menunjukkan ada yang salah dalam relasi manusia lingkungan selama ini.

Kita harus mencari jawaban atas masalah ini. Goldblatt dalam Analisa Ekologi Kritis (2015) mungkin membantu menjawabnya. Ia katakan bahwa manusia telah memproduksi perubahan-perubahan yang melahirkan krisis ekologi. Perubahan tersebut meliputi populasi, distribusi geografis, tanah, bentuk-bentuk geologis, komposisi kimia atmosfer, sistem perairan, sistem biologis, meterologis, karbon, nitrogen, hidrologis, jaring-jaring makanan dan ekosistem.

Sekalipun kita membenci pandemi, tetapi diakui pandemi telah berhasil mengerem dan menghentikan perilaku merusak manusia pada alam. Selama ini manusia sudah banyak membuat skenario untuk mencegah dan mengontrol perilaku manusia, tetapi tidak membuahkan hasil. Disinilah pandemi menyadarkan hakikat lingkungan sebagai penggerak perubahan sosial dan manusia harus cerdas mengambil pelajaran dibaliknya.

Namun, pernyataan ini bukan berarti menyerahkan agen konservasi dan penyelamat lingkungan pada pandemi. Pandemi tidak memilih siapa yang merusak atau mengonservasi, kedua kelompok ini berpotensi pada kematian.

Justru yang kita butuhkan adalah etika lingkungan yang mengajarkan sikap bijaksana dan tidak semena-mena pada alam. Kearifan lokal yang selama ini dilupakan harus dihidupkan lagi untuk menghentikan persebaran virus, mengonservasi lingkungan hidup dan tentunya menghormati alam lestari.

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: