Listrik “Kerakyatan”

Foto Ilustrasi

Penurunan Tarif Dasar Listrik (TDL) daya 900 VA, diberlakukan mulai Maret. Sambungan daya listrik terendah ini dimiliki rumah tangga berpenghasilan rendah. Terpasang pada rumah sederhana, meliputi konsumen terbesar, sebanyak 21 juta sambungan. Penurunan TDL sebagai respons instruksi presiden Jokowi terhadap PLN melaksanakan efisiensi jaringan. Serta perbaikan konsumsi bahan bakar pembangkit. Juga dampak penurunan harga minyak dunia.
TDL sambungan golongan R-1, semula Rp 1.352,- per-KWH, menjadi Rp 1.300,-. Pada perekonomian rumahtangga, penurunan TDL sebesar 3,84%tidak akan menjadi tabungan yang bisa disisihkan. Berdasar perhitungan penggunaan sambungan 900 VA, rata-rata pengeluaran biaya listrik sebesar Rp 200-an ribu per-bulan. Dengan penurunan TDL diperoleh penghematan hanya Rp 8 ribu per-bulan. Tetapi penghematan akan lebih terasa manakala digunakan sebagai sarana kerja.
Semakin terang, semakin makmur. Situasi penerangan menjadi simbol kemakmuran. Begitu pula besarnya voltase listrik menunjukkan tingkat “kelas” perekonomian, rumahtangga maupun perusahaan. Juga penggunaan daya listrik pada gedung kenegaraan (dan pemerintahan) menunjukkan vitalitas instalasi. Jika tidak ber-listrik, berarti jeblok secara perekonomian, jeblok secara sosial dan politik. Listrik telah menjadi kebutuhan strategis ketiga setelah pangan.
Efisiensi pada jajaran PLN, seyogianya juga untuk sambungan R-1, di berbagai kampung yang belum ber-listrik. Realitanya sampai kini, masih jutaan rumahtangga belum memiliki sambungan. Masih ribuan perkampungan tanpa sambungan listrik PLN. Ironisnya, kondisi itu terjadi di pulau Jawa! Termasuk ribuan kampung di Jawa Timur, khususnya di Madura, dan kawasan tapal kuda (Pasuruan sampai Banyuwangi).
Kampung “gelap” di Jawa Timur, antaralain di kecamatan Sukapura (Pasuruan), Gending (Probolinggo), serta di Kendit (Situbondo). Bahkan di kota satelit metropolitan sekelas Sidoarjo, masih terdapat kampung belum memiliki tiang listrik (PLN). Juga perkampungan di kabupaten Sumenep (Madura) kepulauan timur Madura. Terutama di Kangean.
Negara masih berhutang listrik pada rakyat. Masih banyak rumah rakyat yang tak diterangi lampu listrik. Walausebenarnya, Pemerintah Propinsi Jawa Timur memiliki beberapa program bantuan penyambungan listrik untuk masyarakat miskin. Melalui Dinas ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), beberapa kali diluncurkan subsidi penyambungan listrik. Sejak tahun 2015 direncanakan 300 rumah memperoleh sambungan listrik dengan nilai Rp 2,5 juta per-rumah.
Sambungan listrik, biasanya terkendala pemasangan tiang pengulur kabel. Sehingga patut dikembangkan program listrik PLTMH(tenaga micro-hydro) yang ramah lingkungansenilai Rp 2,250 milyar. Serta Pembangunan PLTS (tenaga surya), dengan sistem baterai sel. Tetapi upaya pemprop Jawa Timur bagai ber-adu sirkuit, kalah cepat dengan pertumbuhan kebutuhan listrik. Termasuk investasi (swasta) juga sangat lambat untuk sektor kelistrikan.
Ironisnya, Jawa Timur memiliki “pabrik” listrik sangat besar di Paiton (Probolinggo).Tetapi daerahterdekat Paiton masih gelap. Lagi-lagi, seperti sindiran pepatah, “bagai anak ayam mati di lumbung.”Selama ini kampung yang masih gelap harus menggunakan generator diesel. Juga terbatas selama 7 jam (malam saja). Beban biaya kelistrikan yang lebih besar, melebihi rekening listrik PLN.
Berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketanaga Listrikan, penyediaan listrik adalah kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah. Amanat tersebut tertulis pasal 4 ayat (3). Maka pemerintah dan pemda mestilah menyediakan anggaran. Pasal tersebut, memberi prioritas untuk 4 kategori. Yakni, masyarakat tidak mampu, kawasan belum berkembang, kawasan terpencil, serta pembangunan listrik pedesaan.
Kawasan tertinggal harus menanggung biaya listrik lebih besar. Daya penerangannya pun terbatas hanya untuk lampu. Serta menggunakan pembangkit disel yang tidak ramah lingkungan,dan biaya lebih mahal.

——— 000 ———

Rate this article!
Listrik “Kerakyatan”,5 / 5 ( 1votes )
Tags: