Listrik Volatse Rendah Terbukti Bunuh Sel Kanker

Dr dr Sahudi Salim SpB mendapat ucapan selamat dari keluarga usai dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan pada program doktoral Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Senin (28/9). [adit hananta utama/bhirawa]

Dr dr Sahudi Salim SpB mendapat ucapan selamat dari keluarga usai dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan pada program doktoral Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Senin (28/9). [adit hananta utama/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Di Indonesia, dunia kedokteran bidang onkologi seringkali dibuat kewalahan dengan kasus kanker yang jenisnya bermacam-macam rupa. Kegagalan yang menyebabkan kematian penderita tidak bisa semata-mata menyalahkan dokter yang menanganinya. Sebab ini berhubungan erat dengan minimnya modalitas terapi kanker di Indonesia.
Fakta ini pun menarik perhatian Dr dr Sahudi Salim SpB yang baru saja menyelesaikan program doktoralnya di Universitas Airlangga (Unair). “Seperti pendekar, dokter kita sering kewalahan melawan kanker karena kehabisan senjata. Yang diandalkan hanya tiga terapi, operasi, radiologi dan kemoterapi,” ungkap dr Sahudi usai mengikuti ujian doktor terbuka di ruang sidang Fakultas Kedokteran Unair, Senin (28/9).
Baru-baru ini, Indonesia menemukan modalitas baru untuk mengatasi kanker melalui alat Electro Capacitive Cancer Treatment (ECCT). Sebuah terapi yang menggunakan pajanan medan listri dengan 20 voltase (volt) selama 24 jam untuk mematikan sel kanker itu. Namun sayang, penemuan ini justru menjadi kontroversi di dunia kedokteran lantaran belum terbukti secara ilmiah. Alat yang ditemukan oleh pakar tomografi lulusan Jepang, Warsito P Taruno ini sempat memunculkan kontroversi dalam dunia kedokteran.  Bahkan, beberapa peneliti dan dokter menolak terapi alternatif itu.
“Padahal pajanan medan listrik rendah voltase yang terdapat pada ECCT itu terbukti benar-benar dapat membunuh sel kanker dengan terapi yang dilakukan selama 24 jam,” tutur Sahudi yang juga aktif di Bulan Sabit Merah Indonesia itu. Kesimpulan itu dipaparkan dr Sahudi atas risetnya yang dilakukan selama kurang lebih dua tahun menggunakan tiga jenis sel kanker. Diantaranya sel hela (kanker rahim), sel kanker rongga mulut dan sel mesenkim sumsum tulang.
Penelitian itu dimulai dengan proses pengembangbiakan sel kanker. Proses inilah yang cukup memakan waktu. “Saya berkali- gagal karena banyak sel yang menua dan mati. Kalau sudah begitu harus diulangi lagi supaya usia pembiakannya sama dan jumlah sel kanker mencapai 500 ribuan,” tegasnya. Sahudi memang menarget 500 ribu sel kanker. Sebab, pada umumnya reaksi pada pasien akan terjadi jika sel kanker berjumlah diatas ratus ribuan.
Setelah itu, kumpulan atau kultur sel ini dibagi menjadi delapan kelompok dan langsung diberi perlakuan pajanan medan listrik dengan 20 volt selama 24 jam.”Kenapa harus 24 jam? Karena siklus mitosis atau pembelahan sel kanker itu terjadi selama 24 jam. 23 jamnya mempesiapkan diri untuk membelah dan satu jamnya sel mengalami pembelahan,” jelasnya.
Dari hasil penelitian ekpresi protein ini ternyata sel kanker mati secara signifikan. Sedangkan non kanker seperti sel sel kontrol lainnya (sel diluar sel kanker dan dibutuhkan tubuh) masih hidup. Selain bisa membuktikan kemampuan terapi alternatif medan listrik, Sahudi mengklaim penelitian ini sebenarnya bisa dijadikan sebagai awal mula penelitian kedokteran dalam prinsip biosifika. Sebab, selama ini dunia kedokteran hanya menggunakan prinsip biokimia untuk pengobatan medis.
“Ada sih yang menggunakan biofisika seperti rekam jantung. Tapi, cuma untuk diagnostik bukan pengobatan. Selama ini penelitian terkait bio fisika memang sangat jarang. Apalagi sampai disertasi,” tutur dia.
Dengan metode ini, Sahudi meyakini tidak akan ada efek samping bagi penderita. Berbeda dengan kemoterapy yang biayanya sangat mahal dan dapat beresiko menimbulkan zan anti kemo dan radiologi pada sel kanker yang masih tersisa sekitar seperdelapan. Sementara untuk radioterapi, selain harga yang mahal antriannya bisa sampai enam bahkan tujuh bulan. Sedangkan bedah operasi hanya efektif digunakan untuk kanker stadium satu dan dua.
“Lalu apakah ECCT lebih hebat dari tiga terapi itu? Tidak, kita harus punya banyak cara untuk melawan kanker. Kita berharap ilmuwan terus menemukan modalitas terapi kanker. Jangan malah dianggap abal-abal kalau ada penemuan baru,” tutur Sahudi yang berhasil meraih predikat sangat memuaskan itu. [tam]

Tags: