Literasi Bukan Sekadar Membaca

Oleh :
Uzlifatul Rusydiana, SPd
Guru SDN Magersari 2 Kota Mojokerto

Gaung literasi tak pernah ada habisnya. Selalu menjadi sajian hangat untuk diperbincangkan. Apalagi di dunia pendidikan. Sekolah menjadi sentra dalam menumbuhkan kompetensi literasi siswa.
Gerakan literasi merupakan isu penting yang sebetulnya telah menjadi amanat dari banyak produk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Literasi sejatinya tidak hanya berkutat pada kompetensi siswa dalam hal membaca dan menulis. Lebih dari itu literasi juga menuntut siswa mengimplementasikan keterampilan dasar sehari-hari dalam berbagai hal, seperti literasi berhitung, literasi sains, literasi teknologi informasi dan komunikasi, literasi finansial, literasi budaya dan kewarganegaraan.
Dalam hal literasi membaca, bangsa Indonesia dianggap tidak memiliki budaya membaca. Menurut OECD budaya membaca masyarakat Indonesia menempati peringkat paling rendah di antara 52 negara di Asia Timur (Kompas, 18/06/2009). Hasil survey UNESCO tentang minat baca masyarakat Indonesia di tahun 2012 memperlihatkan angka 0,001% yang berarti bahwa dari 1.000 orang penduduk Indonesia, hanya satu orang yang memiliki minat membaca (Kompas, 28/08/2015).
Hal ini tampak kontradiktif, mengingat Indonesia termasuk sukses dalam mengentaskan masalah buta huruf. Indonesia termasuk dalam urutan ke-6 negara yang berhasil mengorganisir gerakan pemberantasan buta huruf (www.berdikarionline.com,17/05/2013). Tampaknya kemampuan baca-tulis tidak berbanding lurus dengan minat baca masyarakat. Kemampuan baca-tulis belum menjadi kebiasaan atau belum menjadi budaya. Kemampuan literasi dasar itu sekadar untuk memenuhi keperluan fungsional, yaitu menyelesaikan tugas dan pekerjaan.
Rendahnya minat baca dapat dikaitkan dengan sejumlah hal yang bersifat struktural, yaitu kebijakan dari pemerintah hingga sekolah, serta kelengkapan sarana yang memadai. Terkait dengan isu fasilitas, jumlah dan mutu perpustakaan, baik perpustakaan umum maupun sekolah, tidaklah memadai. Implementasi dari kebijakan budaya baca belum sepenuhnya dilakukan. Di tingkat pusat, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan belum sepenuhnya melakukan kontrol terhadap pelaksanaan aturan mengenai standar perpustakaan sekolah dan pengelola sekolah.
Kualitas perpustakaan sekolah belum memadai dan belum menyajikan berbagai bahan bacaan bergizi sehingga tidak dapat menarik minat siswa untuk berkunjung dan membaca. Selain itu, jumlah perpustakaan umum tidak sebanding dengan jumlah penduduk dan kebutuhan informasi masyarakat. Kualitas jasa dan layanan perpustakaan pun jauh dari kata memuaskan.  Sebagai contoh, dari 110 ribu sekolah yang ada di seluruh Indonesia, teridentifikasi tidak lebih dari 18% memiliki perpustakaan sekolah. Dari 200 ribu unit sekolah dasar di Indonesia hanya 20 rbu diantaranya memiliki perpustakaan standar. Demikian pula dengan SLTP yang hanya 36 % dari jumlah keseluruhan sekolah yang memiliki perpustakaan yang memadai. Untuk SMU, hanya 54 % yang memiliki perpustakaan berkualitas standar (www.katingankab.go.id, 2015).
Berbagai kebijakan di tingkat pusat yang berkaitan dengan penumbuhan budaya baca belum banyak diikuti oleh kebijakan di tingkat pemerintah daerah. Minimnya kebijakan penumbuhan budaya baca ini menunjukkan perhatian pemerintah daerah masih rendah dan belum menyeluruh.
Salah satu faktor penting dalam upaya penumbuhan budaya baca adalah pelibatan ekosistem pendidikan, di mana pemerintah daerah, dalam hal ini dinas pendidikan dan perpustakaan sebetulnya memiliki peran yang penting. Adanya kebijakan di tingkat pemerintah kota dan kabupaten akan memengaruhi kesiapan sekolah dalam menyelenggarakan program penumbuhan budaya baca. Selain itu, kebijakan ti tingkat pemerintah kota dan kabupaten dapat mempercepat dan memperluas gerakan budaya baca, tidak hanya pada satu atau dua sekolah saja, melainkan ke semua sekolah, baik swasta maupun negeri, di semua jenjang pependidikan dasar hingga menengah.
Sinergi antara dinas pendidikan dan perpustakaan menjadi urgen terkait sarana dan prasarana perpustakaan sekolah. Perpustakaan daerah juga dapat mendukung penambahan koleksi perpustakaan sekolah melalui bantuan buku dan program peminjaman buku bergilir. Sarana fisik perpustakaan sekolah didorong agar mengikuti standar nasional perpustakaan, sehingga kondisi bangunan, fasilitas, dan jumlah koleksinya memadai. Selain itu setiap kelas juga didorong agar memiliki sudut baca, untuk makin mendekatkan bacaan kepada siswa. Sudut baca juga berguna untuk mensukseskan program 15 menit membaca sebelum pelajaran dimulai. Dinas pendidikan juga semestinya mendorong sekolah agar setiap sekolah mewajibkan siswanya untuk berkunjung ke perpustakaan sekolah. Kunjungan wajib ke perpustakaan ini minimal diselenggarakan seminggu sekali, dan digilir bagi setiap kelas dan jenjang. Untuk memaksimalkan program ini, guru kelas dan pengelola perpustakaan menyusun program bersama.
Ide kreatif dari setiap sekolah menjadi sumbangsih positif terkait kesuksesan budaya baca. Sekolah dapat memberikan penghargaan kepada siswa yang berpartisipasi dalam upaya penumbuhan budaya baca (misalnya siswa paling sering berkunjung ke perpustakaan, paling banyak membaca buku, dan sebagainya), penyelenggaraan lomba-lomba terkait literasi (misalnya lomba pidato, story telling, atau madding kreatif), pembangunan ruang perpustakaan yang dibuat senyaman dan semenarik mungkin, dan program jurnal membaca.
Berdasarkan pengamatan penulis, program 15 menit membaca sebelum pelajaran dimulai yang sudah berlangsung di sekolah penulis, terkadang membuat beberapa siswa bosan. Mungkin terjadi di beberapa sekolah lain juga. Apalagi buku yang dibaca adalah full text, bukan big book yang kaya animasi sebagai representasi tulisan yang dibaca siswa. Belajar dari fakta tersebut, perlu diformulasikan langkah strategis sebagai upaya menghilangkan kejenuhan siswa, tentu tanpa mengurangi muatan pendidikan karakter di dalamnya.
Gerakan literasi sebagai salah satu alat sukses penguatan pendidikan karakter sejatinya tidak hanya sekadar membaca. Kompleksitas muatan literasi menuntut kreativitas guru untuk menumbuhkembangkan muatan kompetensi lain. Berbagai metode dapat diimplementasikan untuk mendorong gerakan literasi nasional yang digagas peme  rintah ini.  Beberapa muatan kompetensi yang juga penting disisipkan sebelum pembelajaran dimulai adalah berhitung, membaca Al-Quran/Alkitab, dan pembiasaan shalat sunnah berjamaah di pagi hari/shalat dluha bagi siswa muslim.
Pembiasaan-pembiasaan literasi berbasis pendidikan karakter tersebut dapat diimplementasikan secara bergantian dan kontinyu dalam satu minggu. Waktu yang digunakan pun tidak lagi 15 menit, namun 30 menit dikarenakan 15 menit adalah waktu yang cukup singkat untuk menyelesaikan muatan kompetensi yang ditargetkan pada hari itu.
Sukses gerakan literasi nasional tentu didukung semua pihak dari berbagai lapisan masyarakat. Pendidikan menjadi salah satu ujung tombak gerakan ini. Dengan aktif mendorong berbagai kegiatan literasi di sekolah, tentu menjadi poin penting dalam menyumbang keberhasilan gerakan ini.
————– *** —————-

Rate this article!
Tags: