Literasi Politik Generasi Milenial

Penulis :
Nur M. Sholichuddin
Trainer of Koordinator Kecamatan JPPR Sidoarjo 

Term generasi Millennial hari ini menjadi topik perbincangan yang seksi. Berbagai pihak dan kalangan selalu mengaitkan bidang kajiannya dengan generasi milenneal. Lantas apa dan bagaimana generasi millennial itu? \
Millennials (juga dikenal sebagai Generasi Millenial atau Generasi Y) adalah kelompok demografis setelah Generasi X. Peneliti sosial sering mengelompokkan generasi yang lahir diantara tahun 1980 an sampai 2000-an sebagai generasi millennial. Jadi bisa dikatakan generasi millennial adalah generasi muda masa kini yang saat ini berusia di kisaran 15 – 34 tahun.
Merujuk data tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 255 juta jiwa, sebanyak 81 juta di antaranya masuk kategori generasi milenial. Daya serap milenial terhadap teknologi tak dapat dibantah. Melalui teknologi, generasi ini cepat tanggap terhadap situasi di sekitarnya. Kepemilikan informasi yang berlimpah tersebut dapat dimanfaatkan untuk merubah segala sektor menjadi lebih baik. Zaman dan tantangan-tantangan baru serta teknologi mengharuskan kita membuat pembaruan dalam segi politik.
Pada umumnya generasi milenial memiliki pemikiran berbeda dengan generasi sebelumnya. Ketika milenial melek politik, pandangan akan masalah yang terjadi disikapi dengan ide-ide kreatif, tidak lagi secara teoritis. Keberadaan politik untuk mengatur kemajuan negara. Sudah sepatutnya politik mengikuti arus zaman dan diisi oleh generasi milenial yang memiliki pola pikir kekinian. Singkatnya, dalam penguasaan media sosial, generasi milenial lebih mendominasi ketimbang generasi X. Karena lahir di era teknologi, generasi ini kurang peduli dengan keadaan sekitar termasuk politik.
Kehidupan politik generasi milenial mempunyai karakter : Pertama, mereka lebih melek teknologi tetapi cenderung apolitis terhadap politik. Mereka tidak loyal kepada partai, sulit tunduk dan patuh instruksi. Generasi milenial cenderung tidak mudah percaya pada elite politik, terutama yang terjerat korupsi dan mempermainkan isu negatif di media sosial.
Kedua, generasi milenial cenderung berubah-ubah dalam memberikan hak politiknya. Mereka cenderung lebih rasional, menyukai perubahan dan antikemapanan. Mereka cenderung menyalurkan hak politik kepada partai yang menyentuh kepentingan dan aspirasi mereka sebagai generasi muda.
Generasi milenial adalah satu-satunya generasi yang disebut “digital native”, lahir dan tumbuh berbarengan dengan berkembangnya teknologi. Generasi ini lebih berpendidikan, terbuka pada perubahan terutama pada perubahan iklim, hingga kebijakan pelayanan kesehatan. Mereka menggunakan media sosial dan internet untuk berkomunikasi yang selangkah lebih maju dari generasi sebelumnya.
Pemahaman akan politik , sikap politik dan ketrampilan politik yang cuek / apatis dan korban dari “asymetric information” karena rendahya literasi. Penyair Jerman , Bertolt Brecht (1898-1956) menyampaikan , Buta yang terburuk adalah buta politik.
” Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik.
Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, dll semua tergantung pada keputusan politik.
Orang yang buta politik begitu bodohnya sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik.
Si dungu ini tidak tahu bahwa akibat kebodohan politiknya lahirlah pelacur,anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi busuk,rusaknya perusahaan nasional dan multinasional. ”
Upaya melawan ” kebutaan politik ” , utamanya bagi generasi milenial dilakukan dalam strategi besar upaya literasi politik masyarakat. Literasi politik lebih luas dari hanya sekedar pengetahuan politik melainkan cara membuat diri menjadi efektif dalam kehidupan publik dan dorongan untuk menjadi aktif, partisipastif dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik dalam keadaan resmi maupun area publik yang sifatnya suka rela.
Literasi politik dalam konteks pemilu dipahami sebagai kemampuan masyarakat untuk mendefinisikan kebutuhan mereka akan substansi politik terutama perihal pemilu. Mengetahui strategi pencarian informasi apa, siapa, dan mengapa mereka harus memilih? Memiliki kemampuan untuk mengakses informasi seputar kandidat yang akan mewakili mereka nantinya. Mampu membandingkan dan mengevaluasi berbagai tawaran politik yang disodorkan kepada mereka. Terakhir, mampu mengorganisasikan, membuat sintesis, serta membentuk jejaring pemilih rasional dalam proses transaksional dengan pemimpin yang akan diberi mandat kekuasaan oleh mereka.
Peran Media Sosial
Media sosial salah satu alat untuk melakukan praktik literasi politik yang cukup efesien, dimana saat ini negara-negara dunia khususnya Indonesia semakin marak dalam melakukan kegiatan politik di internet. Media social adalah ruang publik baru (new public sphere) dalam proses penguatan demokrasi di dunia cyber. Internet termasuk komunitas virtual di dalamnya, dapat menjadi perantara terbentuknya strukutur masyarakat emansipatif dan bebas dari dominasi.
Generasi milenial bisa berekspresi meluangkan pengetahuan, sikap dan skill yang mereka punyai dengan sebebas-bebasnya tanpa ada rasa canggung dengan meliputi pemahaman terkait demokrasi partisipatif, dimana warga negara mengetahui bagaimana pemerintahan bekerja secara seharusnya, mengetahui dan berlaku kritis terkait isu-isu krusial kemasyarakatan.
Generasi milenial jangan sampai menjadi benalu bangsa. Mereka potensi membangun Indonesia masa depan. Bacaan kritis generasi milenial harus diberikan para akademisi secara serius. Menurut Prof Amin Abdullah (2017), kalau akademisi tidak serius melahirkan bacaan kritis bagi generasi milenial, masa depan mereka mengkhawatirkan.
Mereka harus tumbuh dalam secara kritis, agar mampu mencerna setiap persoalan secara komprehensif. Semua akademisi harus “turun gunung” secara kompak membangun arus baru yang menyegarkan generasi milenial.
Kaum akademisi juga harus melakukan literasi politik bagi generasi milenial untuk melahirkan kecerdasan kaum muda dalam memahami spektrum dunia politik, khususnya ideologi politik dan variannya. Dengan demikian, generasi milenial tidak antipolitik, namun tetap kritis dalam membaca setiap gejolak politik.
Literasi politik harus dikerjakan berbagai pihak, khususnya akademisi, tokoh agama/masyarakat, dan wakil rakyat. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan juga bertanggung jawab mendidik politik generasi milenial.

———- *** ———-

 

 

Rate this article!
Tags: